"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan di Kabut
Langkah-langkah mereka bergaung di tanah lembap, tapi gema itu terasa aneh—seolah ada langkah lain yang mengikuti, mengintai dari setiap arah. Kabut di sekitar mulai bergerak seperti sesuatu yang hidup, membentuk siluet-siluet samar dari orang-orang yang pernah dikenal Bell.
Salah satunya adalah wajah raja Evenard, ayahnya, menatap dengan kekecewaan yang membeku di mata.
“Putraku… mengapa kau tidak ada di sini saat kami binasa?”
Eryndra menoleh, melihat ekspresi Bell yang nyaris tak berubah. Namun, ia tahu betul—mata itu sedang melawan badai kenangan. “Jangan dengarkan mereka,” katanya tegas, lalu menebas udara di depannya. Dari bilah pedangnya, cahaya perak memancar, memotong kabut seperti kain yang disobek.
Tebasan itu mengungkap sekilas sosok penjaga bertopeng, bergerak cepat seperti bayangan yang melompat dari satu titik ke titik lain. Bell mengangkat tangan, dan dari tanah, rangka-rangka pohon mati terpelintir menjadi tombak tulang yang melesat ke arah target.
TRANG!
Salah satunya berhasil menghantam topeng sang penjaga, meninggalkan retakan halus.
Sosok itu berhenti, menatap Bell dan Eryndra. “Menarik… jarang ada yang bisa membuatku kehilangan bentuk.” Suaranya seperti dua gema yang berbicara sekaligus.
Eryndra melangkah maju, berdiri sejajar dengan Bell. “Kau bicara terlalu banyak.” Ia mengangkat pedang lagi, kali ini dengan aura sihir yang membuat udara bergetar.
Bell tersenyum tipis, menyadari rencananya mulai terbentuk. “Eryndra, potong jalur kabutnya. Aku akan memaku dia di satu titik.”
Seketika, Eryndra melesat dengan kecepatan kilat, tebasannya mengoyak kabut menjadi celah lebar, memaksa penjaga itu keluar dari persembunyian. Dalam celah itu, Bell memanggil fragmen kekuatan kutukannya—bayangan hitam pekat yang berbentuk seperti rantai raksasa.
Rantai itu melesat dan membelit tubuh sang penjaga. Retakan di topengnya semakin lebar.
Namun, sebelum mereka sempat memberikan pukulan akhir, kabut meledak seperti gelombang pasang, menelan segalanya dalam cahaya putih yang menyilaukan.
Ketika penglihatan kembali, Bell dan Eryndra berdiri di tempat yang berbeda—penuh reruntuhan kuno, dan sosok penjaga itu sudah tidak terlihat.
“Aku rasa… kita baru saja dipindahkan,” ujar Bell datar.
Eryndra menoleh cepat. “Kalau begitu, ini belum selesai.”
Reruntuhan tempat mereka berdiri diselimuti cahaya pucat yang seolah tidak berasal dari matahari maupun bulan. Udara di sini terasa berat, seperti dipenuhi bisikan tak kasat mata.
Eryndra menggerakkan pandangannya ke sekeliling. Batu-batu runtuh yang dipenuhi ukiran kuno membentuk lingkaran besar, dan di tengahnya berdiri pohon raksasa—batangnya retak, namun dari celah-celahnya mengalir cahaya kehijauan yang samar.
“Ini… bukan bagian dari peta mana pun yang kukenal,” gumam Eryndra sambil meletakkan tangan di gagang pedangnya.
Bell menatap lebih lama pada pohon itu. Dalam cahaya yang merayap di batangnya, ia melihat siluet wajah-wajah yang pernah dikenalnya—prajurit Evenard, rakyatnya, bahkan adiknya yang telah lama hilang.
Ilusi? Atau kenangan yang terperangkap di sini… pikirnya.
Dari balik pepohonan, suara langkah ringan terdengar. Lythienne muncul dari kabut, meski napasnya sedikit terengah.
“Bell… Eryndra… tempat ini disebut Hutan Tanpa Pulang. Mereka bilang, siapa pun yang masuk, akan mendengar panggilan dari masa lalunya sampai kehilangan akal.”
Eryndra mendengus singkat. “Kedengarannya seperti trik sihir murahan.”
“Tapi tidak ada yang pernah kembali,” balas Lythienne datar.
Bell berjongkok, menyentuh tanah. Rasa dingin yang menusuk merambat ke tangannya. Ia mengangkat sedikit debu tanah itu—terlihat butiran kristal hitam di dalamnya. “Ini bukan sekadar hutan… ini makam raksasa.”
Tiba-tiba, pohon raksasa itu bergetar, dan cahaya kehijauan menyebar ke seluruh lingkaran batu. Dari antara akar yang retak, muncul sesosok makhluk berbalut jubah robek, kepalanya ditutupi mahkota dari ranting patah. Suaranya bergema di udara:
> “Pewaris darah terkutuk… kau akhirnya datang.”
Bell memandang lurus, matanya menyipit. “Kau tahu siapa aku?”
“Aku tahu… dan aku tahu apa yang kau cari. Tapi setiap langkahmu akan memanggil bayangan yang bahkan kutukanmu tak sanggup kendalikan.”
Eryndra melangkah maju, pedang siap terhunus. “Kalau begitu, bawa kami padanya.”
Makhluk itu tertawa lirih, suaranya seperti kayu terbakar. “Kalian boleh mencoba… tapi hati-hati. Di Hutan Tanpa Pulang, waktu tidak berjalan lurus. Kau bisa saja melawan musuh yang sudah mati… atau yang belum lahir.”
Kabut mulai menutup lingkaran itu lagi, kali ini lebih tebal, membuat dunia di sekeliling mereka seperti terpisah dari kenyataan. Bell merasakan sesuatu di dadanya—getaran halus dari fragmen yang ia bawa, seolah menanggapi keberadaan sesuatu yang jauh lebih tua dari dirinya.