"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Langkah-langkah berat menggema di lorong rumah sakit. Sepatu bot hitam itu melangkah mantap, tapi di balik ketegasan, ada tatapan mata yang dingin dan penuh perhitungan. Moon Daehyun akhirnya tiba di pintu ruang rawat paling ujung, dijaga dua prajurit berseragam formal. Begitu melihatnya, mereka memberi hormat tanpa suara.
Daehyun tidak membalas. Tangannya mendorong pintu, dan aroma antiseptik langsung menyambutnya.
Di dalam ruangan, seorang pria paruh baya berambut hitam pekat tengah duduk di kursi, menatap sosok tua yang terbaring di ranjang dengan puluhan kabel medis terhubung ke tubuhnya. Moon Jinhwan—ayah Daehyun—mengangkat kepala saat mendengar pintu terbuka.
“Kau sudah pulang, nak?” suara Jinhwan berat, tapi ada nada lega yang tak bisa disembunyikan. “Syukurlah kau baik-baik saja.”
Daehyun hanya berdiri di ambang pintu beberapa detik, tatapannya tidak lepas dari wajah kakeknya yang pucat, Moon Seok Hyun—pahlawan perang Stellaris, pria yang namanya mengguncang generasi.
“Aku sudah mendengar semuanya dari manajerku,” ucap Daehyun datar, akhirnya melangkah masuk.
Jinhwan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Kakekmu terlalu memaksakan dirinya… melawan Nebula saat itu. Tapi akhirnya dia berhasil mengalahkannya, meski sempat terpojok.”
Daehyun mengerutkan alis. “Apakah dia sekuat itu?”
“Kau tidak mengerti…” Jinhwan menatap putranya serius. “Bahkan kakekmu, dan para petinggi Stellaris lainnya… bukan tandingan Nebula. Benda itu… seakan bukan makhluk biasa.”
Daehyun menyipitkan mata. “Kalau begitu… bagaimana kakek mengalahkan Nebula?”
Jinhwan menatap lantai, suaranya merendah. “Di saat-saat terakhir… Nebula entah kenapa berhenti bergerak. Diam. Seperti… bingung. Kakekmu memanfaatkan momen itu—dia membakar darahnya sendiri untuk melepaskan serangan terakhir. Ledakan itu… membuat Nebula terhempas, lalu… meledak di langit.”
Keheningan memenuhi ruangan. Mesin monitor jantung memancarkan bunyi beep teratur, seolah menjadi satu-satunya tanda kehidupan Seok Hyun.
Daehyun perlahan berkata, “Apakah kalian yakin… Nebula sudah kalah?”
Jinhwan terdiam. Bibirnya bergerak hendak menjawab, tapi tak ada kata yang keluar.
“Apakah ada mayatnya?” Daehyun menekan. “Atau loot yang jatuh darinya?”
“…Aku… juga tidak tahu.”
Daehyun memalingkan wajah, menatap kakeknya yang lemah. Tatapannya bukan sekadar prihatin, melainkan evaluasi—seperti seorang komandan yang menilai pasukan yang sudah kehilangan daya tempur.
“Kakek sudah… terlalu tua,” gumamnya pelan.
Jinhwan mengangkat kepala. “Apa yang kau katakan?”
“Bukan apa-apa.” Daehyun melangkah mundur. “Aku harus… melakukan sesuatu.”
Ia meninggalkan ruangan tanpa menunggu balasan.
Lorong rumah sakit.
Lampu putih menyinari lantai yang mengkilap. Di ujung lorong, dua sosok sedang berbicara dengan kepala pelayan keluarga Moon.
Begitu Daehyun mendekat, kepala pelayan itu menunduk hormat. “Ah, tuan muda, selamat datang kembali.”
Daehyun hanya mengangguk singkat. Matanya tertuju pada gadis muda berambut perak yang berdiri di sisi kepala pelayan. Wajahnya cantik, tapi aura yang dipancarkan… bukan kebahagiaan. Dia adalah Han Soojin.
Senyum kecil muncul di bibir Soojin. “Selamat atas keberhasilanmu… kakak.”
Kata “kakak” itu seakan memicu sesuatu. Tatapan Daehyun berubah dingin seperti ujung pedang yang baru diasah.
“Jangan panggil aku kakak.” Suaranya datar, tapi menusuk. “Dasar… anak haram.”
Soojinnya terdiam, bibirnya membeku di tengah kata.
Kepala pelayan langsung melangkah maju, mencoba menengahi. “Tuan muda—”
Namun Daehyun tidak berhenti. “Rambut perakmu itu… membuatku jijik. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku.”
Kata-kata itu seperti tamparan di tengah keramaian. Daehyun melangkah melewati mereka tanpa menoleh.
Soojin berdiri membeku, kepalanya tertunduk. Matanya mulai berair. Air mata pertama jatuh tanpa suara.
Kepala pelayan memegang bahunya. “Nona muda, jangan terlalu dipikirkan. Tuan muda… mungkin hanya lelah setelah menyelesaikan gerbang.”
Soojinnya menghapus air mata itu cepat-cepat, mencoba menegakkan punggungnya. “Lupakan saja. Aku… juga tidak peduli.” Suaranya bergetar, tapi tatapan matanya keras.
“Ayo,” katanya sambil melangkah. “Aku harus melihat kondisi kakek.”
Kepala pelayan mengikutinya. Tapi di balik langkah tenang itu, hatinya remuk. Nona muda baru genap lima tahun… tapi kenapa… banyak sekali tekanan yang memaksanya tumbuh dewasa secepat ini? Itu… menyakitkan.
Mobil taktis hitam melaju tanpa suara menuju Hutan Kota Seoul—kini tak lebih dari hamparan pohon gosong, tanah retak, dan aroma logam darah yang menempel di udara.
Moon Daehyun duduk di kursi depan bersama Keenan, tangan kanannya sekaligus wakil ketua Astral Vanguard. Wanita berperawakan tinggi tegap, berambut merah dengan bekas luka di pelipisnya itu menatap ke arah luar jendela yang dipenuhi kabut tipis.
“Kita benar-benar akan mencari jejak Nebula di sini?” tanya Keenan pelan. “Tempat ini… masih menyimpan sisa energinya.”
“Itulah yang kita butuhkan,” jawab Daehyun singkat. Tatapannya lurus ke depan, seperti menembus kabut.
Beberapa menit kemudian, tujuh anggota inti Astral Vanguard berkumpul di tepi hutan:
Keenan – Wakil ketua, ahli senjata jarak dekat.
Liora – Hunter penyembuh dan sensor energi, rambut biru pucat.
Graves – Penembak jitu dengan Star Soul berbentuk Serigala Bayangan.
Raviel – Ahli sihir api, nyentrik, selalu tersenyum sinis.
Shin Daeho – Petarung tangan kosong, tubuh penuh tato.
Ayla – Pengintai cepat dengan busur starlight.
Varric – Tanker raksasa dengan perisai raksasa berbahan starsteel.
Daehyun berdiri di depan mereka. “Cari petunjuk. Apapun yang tersisa dari pertempuran ini—jejak energi, pecahan senjata, bahkan aroma darah—aku ingin tahu semuanya.”
Mereka segera menyebar. Langkah-langkah hati-hati menginjak tanah hitam hangus.
Graves berlutut, mengusap tanah dengan ujung jarinya. “Masih ada bekas tekanan gravitasi di sini… luar biasa, ini… seperti ada planet yang hampir runtuh.”
Liora menutup mata, tangannya memancarkan cahaya lembut. “Energinya… liar… tapi ada satu denyut yang aneh. Seperti… pencarian.”
Keenan melangkah di dekat Daehyun. “Ini gila. Energi sisa dari pertempuran petinggi Stellaris melawan Nebula saja… cukup untuk membuat Hunter Rank S terbakar dari dalam.”
Daehyun tak menjawab. Dia menatap ke kejauhan, ke sebuah pohon yang tinggal setengah batangnya—terbakar, retak, tapi… di sana, seseorang bersandar.
Pria itu mengenakan topeng badut putih dengan senyum lebar yang dicat merah. Mantelnya compang-camping, namun berdiri dengan santai seakan medan perang ini adalah taman bermain.
“Astaga…” Raviel berbisik. “Apa itu…?”
Pria bertopeng itu mengangkat kepalanya sedikit. Suaranya ringan, seperti mengajak bicara anak kecil.
“Makhluk yang kalian sebut Nebula… katanya mencari sesuatu… atau seseorang yang ia sebut… Raja.”
Sekejap, semua anggota Astral Vanguard berhenti bergerak dan langsung membentuk formasi pelindung di sekitar Daehyun.
“Master Guild! Orang ini… sangat berbahaya!” Keenan memegang gagang pedangnya erat-erat.
Daehyun mengangkat tangannya sedikit. “Tenang.” Tatapannya tajam ke arah si badut. “Apa maksudmu?”
Badut itu tertawa pelan. “Sudah kubilang, dia mencari sosok ‘rajanya’. Dan… aku tidak berbahaya.” Ia menundukkan kepala sedikit, topengnya memantulkan cahaya remang. “Badut mana… yang membahayakan penontonnya?”
Tiba-tiba—
“ARGHHHHHH!!” Teriakan memecah udara.
Semua menoleh—Keenan jatuh berlutut, darah memancar deras dari bahu kirinya. Tangan kirinya hilang.
“Keenan!!” Liora langsung berlari menghampiri, cahaya penyembuhan memancar dari tangannya.
Semua aura mematikan dari anggota Astral Vanguard meledak serentak. Varric mengangkat perisainya, Graves sudah mengarahkan senapan, Raviel siap memanggil api.
Daehyun menatap tajam, matanya sedikit membesar. Sejak kapan dia menyerang…?
Badut itu berdiri sambil… memegang tangan Keenan seperti sedang mengagumi sebuah mainan. “Jangan khawatir… jika aku berniat jahat, kepala kalian semua sudah hilang sejak tadi. Tangan ini… hanya kompensasi karena menuduh sembarangan.”
Keenan menggertakkan giginya, menahan sakit. Liora bekerja cepat menghentikan pendarahan, wajahnya pucat.
Daehyun melangkah maju. “Siapa kau sebenarnya?”
Badut itu melemparkan tangan kiri Keenan, "Nih kukembalikan tangan rapuhmu." lalu membungkukkan badan, gerakannya teatrikal seperti di panggung sirkus.
“Panggil aku… Clown, wahai penerus Moon Seok Hyun. Tuan muda… Moon Daehyun.”