Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Ke Tiga
Pintu mobil terbuka. ketika tiba di depan sebuah rumah. Kakinya turun dengan tergesa. Tak ada kata, tak ada jeda. Vania pergi meninggalkan Rayhan tanpa menoleh sedikit pun. Wajahnya semerah kepiting rebus, langkahnya berpacu dengan denyut dada yang menggebu.
Sementara itu, Rayhan bersandar pada jok kemudi. Merenungi sepanjang perjalanan yang begitu senyap, tak ada yang berani membuka suara. Terjebak dalam canggung yang ia buat sendiri. Momen itu terlintas kembali dalam kepalanya, saat ia terbuai dengan paras cantik Vania ditambah suasana yang begitu mendukung.
Hingga ia termakan egonya sendiri untuk segera mencicipi bibir mungil kemerahan milik Vania. Untungnya, saat jarak mereka tinggal sejengkal, sorot kendaraan yang mendekat membuat Rayhan mengurungkan niatnya. Sampai montir yang Rayhan hubungi datang.
“Lo udah gila, Ray,” gumamnya lirih. Telinganya bersemu, tengkuknya ikut terbakar. Entah apa ia sanggup berjumpa kembali dengan Vania esok.
***
Begitu pintu kamar tertutup. Vania melemparkan tubuhnya di atas kasur. Napasnya masih tersengal, dadanya masih bergemuruh ramai.
Ia menutup wajahnya dengan bantal, berteriak sekuat tenaga. Berharap meredam gejolak yang terus meloncat keluar.
“Astaga Vania ....” kakinya menendang udara dengan frustasi.
“Kenapa gue malah—Astaga! Harusnya lo menghindar, Vania! Dorong Rayhan kek, atau pura-pura pingsan kalo bisa!” gumamnya sambil meremas rambutnya.
Bayangan itu muncul lagi—tatapan Rayhan, jarak mereka yang nyaris habis, dan detik menegangkan saat matanya ikut memejam. Vania buru-buru bangkit, menepuk-nepuk pipinya.
“Gila, gila, gila. Gue udah gila. Nggak mungkin gue kayak gitu di depannya?” lirihnya, terus mencoba menyangkal.
Tangan kanannya terangkat, menyentuh pelan bibirnya tanpa sadar. Gerakan kecil itu membuat tubuhnya kaku. Seketika, ia memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya di sana, dengan kaki yang terus berguncang.
“Apa yang lo harap, Vania ....”
Sunyi kamar hanya diisi dengan irama jantung Vania yang belum stabil. Ia mengguling ke samping, memunggungi lampu kamar, berharap lelahnya bisa mengalihkan pikiran. Tapi semakin ia memejamkan mata, bayangan itu semakin menghantuinya.
***
Ke esokan harinya, dengan berbagai cara Vania berusaha menghindari Rayhan. Ia belum sanggup menatap mata yang sempat membuatnya terlena.
Tapi, mungkin semesta memang sedang mengejeknya, mereka terus berpapasan entah itu di lorong pemisah gedung, perpustakaan atau di area kantin.
“Lo berantem sama Rayhan?” tanya Okta yang sejak tadi ikut terseret saat Vania terus berbalik arah.
“Nggak kok,” balas Vania cepat tanpa menoleh, ia terus berjalan seolah ingin segera kabur dari pertanyaan Okta.
Okta menyipitkan mata penuh selidik. “Ngaku deh, lo pasti ada apa-apa kan sama si Rayhan?”
Vania terdiam. Bukan karena pertanyaan sahabatnya, melainkan papan nama kelas yang akan ia masuki. Kelas Statistik Dasar—Mata Kuliah Umum di mana Ia dan Rayhan akan bertemu tanpa bisa Vania hindari.
“Bener kan, terjadi sesuatu sama kalian berdua.” Desak Okta.
Vania masih mematung di depan pintu, terlihat enggan untuk melanjutkan langkahnya. Vania menoleh, menatap Okta dengan mata memelas.
“Okta, gue boleh bolos kelas aja, gak?.” Ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan.
“Kenapa?” dahi Okta berkerut. “Lo kan tau dosen kelas ini killer. Lo yakin mau bolos?”
Vania menggigit kuku jempolnya, sembari menimbang, lebih baik bertemu Rayhan dan menelan canggung yang terasa atau bolos kelas dengan semua nilai taruhannya.
“Oh, jangan bilang karena ada si Rayhan?” tebak Okta cepat.
Dan sesuai dugaannya, Vania mengangguk pelan. Namun sebelum sempat Vania memberi penjelasan lebih lanjut, Okta melihat Pak Deni—dosen Statistik Dasar sudah berjalan di lorong menuju kelas. Tanpa pikir panjang, Okta menarik lengan Vania untuk cepat-cepat masuk, tak ada pilihan lain selain masuk sebelum mereka kena semprotan ceramah dari beliau.
Vania duduk di bangku pojok belakang bersama Okta. Riuh kelas yang tadi seperti pasar kecil mendadak senyap ketika Pak Deni memasuki kelas. Vania pura-pura sibuk merapikan beberapa buku, sedangkan matanya sejak tadi terus melirik ambang pintu, berharap sekaligus takut sosok itu muncul.
Dan benar saja, Rayhan dan beberapa mahasiswa termasuk Pandu dan Ali memasuki kelas begitu Pak Deni akan memulai kelasnya.
“Ayo cepetan, duduk rapih dan kita mulai kelas hari ini.” Ujar Pak Deni, suaranya tegas dan penuh penekanan.
Rayhan berjalan santai dan duduk tak jauh dari bangku Vania. Mata legam itu sempat bertabrakan dengannya, cukup sepersekian detik untuk membuat mereka berdua buru-buru mengalihkan pandang. Di sisi lain, panas merembet dari leher hingga ke telinga Rayhan, membuat Pandu yang di sebelahnya melirik heran.
“Kenapa, Ray? Sakit lo?” tanya Pandu dengan alis yang terangkat sebelah.
“Nggak, gerah aja.” Balasnya sambil mengibaskan tangan. Pandu pun mengangguk paham, tak ingin bertanya lagi sebab kelas Pak Deni sudah dimulai.
Siang itu, Pak Deni menjelaskan deretan angka dan simbol di layar proyektor. Sebagian mahasiswa mulai sibuk mencorat-coret buku, sebagian lagi sudah setengah menyerah dan memainkan ponsel di bawah meja.
“Baik, untuk minggu depan saya ingin kalian mengerjakan tugas kelompok. Analisis data sederhana, hitung rata-rata, median, standar deviasi lalu buat grafiknya. Saya tentukan kelompoknya supaya lebih merata.”
Riuh langsung terdengar, ada yang berubah muram, ada juga yang bersikap biasa.
Nama demi nama mulai di sebut, hingga ...
“Kelompok sepuluh Ali, Rayhan dan Vania.”
Rayhan dan Vania refleks menoleh, mereka kembali beradu tatap. Vania buru-buru menunduk, menggigit pulpennya dengan gemas. Sementara itu Rayhan tersenyum tipis, ia sadar sejak pagi tadi Vania terus menjauhinya. Tapi ternyata, kali ini Tuhan berada dipihaknya. Ia punya alasan untuk mendekat tanpa membuat Vania risih.
“Besok ngerjain tugas kelompoknya di rumah lo aja, Ray. Atau di tempat lain aja. Di rumah gue ada Cessie, ribet nanti kalo dia tau lo dateng.” Seru Ali dengan nada pelan.
Sontak, senyum Rayhan sirna. Ia lupa ada satu nama lagi di kelompok mereka. Aliando anak dari Pak Bambang yang dengan ajaibnya selalu ada di setiap rencananya yang berujung gagal. Rayhan menatap Ali tajam, entah hal apa lagi yang akan terjadi antara dirinya dan Vania, dengan kehadiran Ali di tengah-tengah mereka.
“Kenapa lo?”
“Semoga lo gak bikin ulah lagi, Li?”
“Hah?” Ali tak paham dengan pertanyaan Rayhan.
“Sekian pertemuan kali ini, silakan kalian menentukan bagian masing-masing anggota. Saya tunggu presentasi hebat kalian di pertemuan yang akan datang.” Pak Deni mengakhiri kelasnya dan meninggalkan kelas yang seketika kembali riuh.
“Gue ngumpul sama kelompok gue dulu ya, Van.” Pamit Okta yang di balas anggukan singkat dari Vania.
“Inget ya, lo hutang penjelasan sama gue!” ujar Okta memberi peringatan, sebelum meninggalkan Vania yang tersenyum masam. Ia sendiri tak tahu harus mulai dari mana menjelaskan perasaan yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami.
Ketukan meja mengalihkan lamunannya, Rayhan berdiri dengan tersenyum manis membuat debaran itu datang lagi. Lalu Rayhan duduk di hadapannya, menatap Vania begitu lekat. Tatapan yang berbahaya bagi jantungnya!
“Ali pulang duluan katanya, gak papa kan kalo kita berdua yang nentuin tugas masing-masing?” Rayhan bertanya dengan suara beratnya yang terdengar begitu lembut.
Vania berdehem pelan, menepis gugup yang tiba-tiba datang. “Iya gak papa, yang penting dia gak protes kalo udah dikasih bagiannya.”
Rayhan mengangguk setuju, dan mereka pun mulai berdiskusi tentang pembagian tugas kelompok. Dan di sepanjang obrolan mereka, rasa gugup Vania seakan menipis tergantikan takjub. Karena untuk pertama kalinya ia melihat sisi Rayhan yang serius dan dewasa. Di depan angka-angka yang menurutnya seperti sebuah bahasa asing, namun tidak bagi Rayhan. Ia bisa dengan lancar menjelaskannya pada Vania seolah itu sudah menjadi makanannya sehari-hari.
“Jadi gue dan Ali yang akan menganalisis data dan presentasi, lo yang nulis laporannya. Gimana?”
“Oke.”
“Sekarang, ayo kita pulang.” Ajak Rayhan yang sudah menyampirkan ranselnya ke pundak.
“Gue pulang sendiri aja, Ray. Makasih.” Tolak Vania halus.
“Kali ini gue bawa motor kok, mobilnya lagi di service biar gak mogok lagi,” jawab Rayhan. Tapi justru ucapannya itu berhasil menarik momen yang sempat ingin Vania lupakan.
Semburat merah memenuhi pipinya, buru-buru ia merapikan buku, hendak keluar, dan tanpa Vania sadari kelas sudah sepi, hanya tinggal mereka berdua.
Tak ingin kejadian semalam kembali terjadi, Vania melangkah tergesa menuju pintu. Rayhan segera menyusul, yang dengan mudah menyamai langkah Vania.
“Van, kita pulang bareng kan?”
“Kenapa harus?”
“Karena malam ini Oma mau ngerayain ulang tahun di rumah gue, dan lo diundang secara khusus untuk dateng. Lo mau kan?” perkataan Rayhan membuat langkahnya terhenti. Vania menoleh dengan raut penuh tanya.
“Kenapa gue?” kini Alis Vania mengerut.
Rayhan mengangkat bahunya. “Mungkin lo udah dianggap kayak cucu sendiri?”
“Kalo gue nolak?”
Rayhan tersenyum miring. “Mungkin Oma sendiri yang akan jemput lo secara langsung. Rumah kita kan deket.”
Vania terdiam, ia menggigit bibirnya dengan resah. Jujur ia tak ingin menghadiri pesta seperti itu, namun Oma Ida selalu mengingatkannya pada neneknya yang telah lama tiada. Dengan segala pertimbangan akhirnya Vania mengangguk setuju.
Senyum Rayhan kembali berseri, namun saat langkah mereka sudah di luar gedung. Seperti deja vu, beberapa meter suara riang memecah udara.
“Kak Rayhan!”
Seorang gadis berlari kecil menghampiri—Cassie, dengan wajah cerah seakan kedatangannya sudah menjadi hal biasa. Rayhan menoleh, dan refleks menggenggam tangan Vania. Hal itu sontak membuat Vania membulatkan mata. Napasnya tercekat, Kaget bercampur bingung memenuhi pikirannya.
Rayhan menahan napas, jelas-jelas tidak senang dengan kedatangan Cassie. Ia merogoh ponsel, menekan nomor Ali dengan gerakan tegas.
“Ali, lo di mana? Cepet jemput sepupu lo. Sekarang!” suaranya datar tapi penuh ketidaksabaran. Sementara Cassie sudah berdiri di hadapan mereka, tersenyum tanpa menyadari bara kecil di mata Rayhan.
Namun, disepanjang momen itu, satu hal yang tak berubah: genggaman hangat Rayhan yang tak kunjung lepas
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih