Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Kurasa aku harus ganti password pintu." Sania melepaskan blazer dan duduk di meja makan. Hatinya mendadak merasa hangat.
"Aku bisa memecahkannya dengan mudah." Max meletakkan dua piring steak beraroma campuran bawang putih dan butter yang lembut. Menatap Sania yang tampak lelah. "Makanlah!"
Sania mengambil pisau dan garpu untuk mencicipi steak buatan Max yang rasanya pasti sangat lezat. Satu suapan dan Sania langsung menyerbu tanpa basa basi.
"Ya ampun, Max ... ini enak sekali." Sania mengunyah sambil terus mengacungkan jempol ke arah Max yang sedang menuangkan wine.
Max hanya tersenyum ketika menggeser gelas ke arah Sania. "Makanlah perlahan."
Sania mengangguk. "Kau juga makanlah, jangan hanya lihat aku makan!"
Max duduk dan segera menyantap makan malam yang sedikit terjadi lebih awal dari kebanyakan orang di Arvenia.
Tak butuh waktu lama, kedua orang itu telah menghabiskan makan malam dan duduk bersebelahan di ruang tengah, menonton acara variety show. Keduanya masih memegang gelas berisi wine yang harum.
"Sudah lama sejak terakhir kita bertemu, kan?" Sania akhirnya berbicara, memicing karena merasa canggung. Sania tidak biasanya kaku begini di hadapan Max. Kemarin ia sempat kesal karena Max tidak datang saat Sania telah memesan makan malam di sebuah resto untuk mentraktir Max. Namun, kini ia merasa kekesalannya itu tak beralasan. Ia sudah tahu Max benar-benar tidak bisa dipegang janjinya, bukan karena dia pria yang buruk, tapi karena memenuhi tugas sebagai anggota polisi.
"Hari itu aku langsung mengusut keterlibatan Napoleon di kasus-kasus yang ditutup sepihak olehnya." Max melirik Sania. "Aku minta maaf untuk hari itu dan sekarang aku menebusnya."
Sania menghela napas. "Kalau kau terus begini, sampai mati pun aku tidak akan bisa mengucapkan terimakasih dengan benar, Max! Padahal aku terus merepotkan kamu, tanpa ada balasan dariku sama sekali."
Max tertawa mendengar suara Sania yang bernada marah.
"Aku pasti temanmu yang paling tidak tahu diuntung, kan?"
Max tertawa lagi. "Oke-oke, tidak usah marah begitu! Aku yang salah, lain kali aku akan datang tepat waktu dan membiarkan kamu membayarnya."
Max tahu, Sania sudah menyiapkan semuanya sebaik mungkin, tapi Max benar-benar tidak bisa hari itu. Lagipula Sania sedang ada hubungannya dengan kasus yang ia tangani, bertemu berdua dan makan malam agaknya menimbulkan kecurigaan. Max tidak ingin Sania dituduh yang tidak-tidak nantinya.
Max lebih suka pergi ke rumah Sania seperti ini. Lebih privasi dan mengurangi resiko yang diam-diam mengintai. Max merasa banyak orang yang mencari sisi lengahnya.
"Oh ya, kau sudah ke apartemen lama?" Max seperti ingat sesuatu.
Sania menggeleng, masih dengan suasana hati yang rumit. "Aku hanya datang ke kantor pengurus apartemen saja, mengurus asuransi dan mempercayakan renovasi pada mereka. Aku agak sibuk dengan pekerjaan sekarang."
"Kurasa, kau harus kesana sesekali." Max memandang Sania yang akhir-akhir ini tampak lebih kurus dari sebelumnya. "Mutiara akan tampak alami ketika berada di rumah Bibi Sula sementara ini."
Sania menoleh dan menatap Max penuh tanya. "Brooch mencari tau tentang aku lagi?"
Max mengangguk sambil tertawa, karena tebakan Sania benar. "Rob pasti sudah memberitahumu semuanya."
Sania mengangguk, seraya menghela napas, ia menatap Max. "Dan jawabanku tetap sama, apapun yang ada didepanku, akan aku singkirkan! Aku tidak akan pernah mau melarikan diri, Max."
Max tersenyum kecil. Semua yang ada di kepala Sania bisa ia baca dengan mudah dan jelas. Sania sekeras kepala itu memang dan kini rasanya ia tidak perlu takut pada apapun sebab ia punya segalanya. Posisi, karir, dan keberanian.
"Aku pastikan Brooch tidak akan bisa menyentuh seujung kuku pun baik diriku maupun Mutiara."
"Brooch pasti punya seribu cara untuk menjatuhkan incarannya, tapi kuharap kau tidak terlalu takut dan tetaplah hati-hati." Max memberi Sania sebuah rekaman di ponsel. "Mereka sudah bergerak, dan Lumivia adalah target berikutnya. Brooch tidak akan segan sekalipun ada Rob di belakangmu."
Sania menonton rekaman yang diambil dari sudut ruangan dimana Sania membelakanginya. Rob memberitahunya bahwa Sania akan meeting dengan orang-orang Brick, jadi meminta Max untuk memasangkan kamera pengintai di sana sebelum Sania datang.
"Kamera itu?!"
"Ya, aku berjaga-jaga dan benar saja, kamera ini merekam semuanya. Ternyata begitulah cara Brick bekerja selama ini." Max meletakkan gelas dan berjalan ke jendela yang menghadap ke Deliora Park.
Sania menggigit bibir karena khawatir Max terlalu jauh bertindak karenanya.
"Max, ini terlalu berbahaya. Kau bisa diberhentikan karena memakai kekuasaan untuk membantu warga sipil sepertiku." Sania tahu betul akan hal ini, dan dia tahu betul kenapa sampai sekarang ia menutup rapat perasaannya untuk Max. Max bukan orang yang bisa ia sentuh seperti orang biasa. Max adalah pria yang berharga bagi keadilan dan keamanan negara. Tentu ketika Sania mengungkapkan perasaannya itu akan membuat Max terlalu memikirkannya.
"Rob mengatur semuanya dibeli atas namanya untuk berjaga-jaga." Max memutar badan ke arah Sania.
"Rob?"
"Ya!" Max mengangguk. "Dia menemuiku beberapa waktu lalu dan mengatakan semuanya. Aku setuju melakukan apa yang dia minta karena memang yang kita hadapi bukan orang sembarangan ... ini juga ada hubungannya dengan tugas kepolisian. Tak ada alasan untuk menolak, bukan?"
Sania melipat bibirnya. Ia mengeluh dan merasa bahwa urusan sepele ini jadi kemana-mana.
"Max ... sebisa mungkin aku tidak akan menyebutkan rekaman ini ketika nanti aku menemukan iklan ini diklaim oleh mereka!"
Max hanya tersenyum. "Terimakasih, tapi tidak usah menjadi beban pikiranmu. Santai saja, toh saat ini kamu memang kreator iklan yang terbaik di Arvenia."
Entahlah, Sania sedang tidak ingin merasa bahagia atas pujian itu. Dia sedang cemas. Bagaimana caranya agar dialah orang yang pertama merilis iklan itu sebelum Brick. Bagaimana caranya agar Brick gantian yang kalang kabut?
...
Dalam tiga hari kemudian, Sania benar-benar dibuat lelah oleh maraton syuting iklan dan klien yang makin membludak.
Terutama iklan sabun mandi Pretty yang benar-benar ia geber pengerjaannya sampai dia sendiri kewalahan. Namun ketika hasil syuting dikirimkan, Sania tersenyum puas.
"Ini di luar kebiasaan kita, Bu." Rey menjatuhkan badannya di kursi usai menyelesaikan iklan yang hanya dibuat dan diedit dalam tiga hari. "Tapi beliau puas."
Sania tersenyum miring ketika melihat iklan yang ia buat sudah akan ditayangkan di banyak platform media juga videotron di jalan-jalan.
"Sabun mandi ini memang terkenal sangat jeli dan mewah dalam urusan iklan." Sania berkomentar. "Artisnya juga bukan artis biasa, lihat betapa cantiknya Miss Arvenia di sini."
Rey juga kembali bersemangat. "Kemarin aku sempatkan untuk foto Bu, dan dia bersedia bertemu denganku kapan-kapan jika ada waktu."
Sania kembali tertawa. "Itu hanya kata-kata penghiburan, Rey ... apa kau percaya dia benar-benar akan menemui kamu, atau aku? Kita ini hanya orang biasa, pekerja kasar! Dia ratu Arvenia loh."
Rey lemas. "Bu, bisakah anda memberi saya kata-kata yang menyenangkan? Aku tahu dia tidak akan mengajakku ke Venezio, tapi kumohon, hibur aku dengan mengatakan: kamu beruntung sekali, Rey ... bisa berteman dengan Angeline!"
Sania tertawa, kali ini terbahak-bahak karena Rey yang kesal.
"Hiburan kita akan terjadi besok, Rey ... bersabarlah!"
___
Geber yuk, biar cepet dapet cuan, hehe
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.