Arlena dan Dominus telah menikah lebih dari enam tahun. Tahun-tahun penuh kerja keras dan perjuangan untuk membangun usaha yang dirintis bersama. Ketika sudah berada di puncak kesuksesan dan memiliki segalanya, mereka menyadari ada yang belum dimiliki, yaitu seorang anak.
Walau anak bukan prioritas dan tidak mengurangi kadar cinta, mereka mulai merencanakan punya anak untuk melengkapi kebahagian. Mereka mulai memeriksakan kesehatan tubuh dan alat reproduksi ke dokter ahli yang terkenal. Berbagai cara medis ditempuh, hingga proses bayi tabung.
Namun ketika proses berhasil positif, Dominus berubah pikiran atas kesepakatan mereka. Dia menolak dan tidak menerima calon bayi yang dikandung Arlena.
》Apa yang terjadi dengan Arlena dan calon bayinya?
》Ikuti kisahnya di Novel ini: "Kualitas Mantan."
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Kualitas Mantan (K M)
...~°Happy Reading°~...
Dominus terkejut sambil melihat ponselnya yang sudah mati. Dia hampir melempar ponselnya ke tembok ruang kerja, saat mengetahui pengacaranya sudah mematikan telpon tanpa pamit.
Sambil emosi, Dominus mengirim pesan kepada Amarta. "Saya tunggu di kantor sekarang juga." Dia makin penasaran mendapati sikap pengacaranya yang mengabaikan dia. Padahal dia ingin tahu apa yang terjadi setelah mentransfer uang kepada Arlena.
Amarta yang sudah di jalan hanya membalas chat Dominus dengan emoticon "👍🏻" sambil berpikir. 'Apa yang dia khawatirkan lagi? Surat cerai sudah ditanda tangan sesuai keinginannya. Apa ada yang tidak beres dengannya?' Sambil menyetir, Amarta membatin. Rasa penasaran membuatnya menambah kecepatan mobil, agar bisa bertemu Dominus.
Setelah tiba di kantor, Amarta menemui security yang sedang berjaga. "Saya mau bertemu boss." Ucapnya sambil menunjukan kartu nama.
"Baik, Pak. Mari saya antar." Security mengenal Amarta, karena sudah beberapa kali datang ke kantor. Jadi tidak menanyakan lagi tujuannya atau menghubungi Dominus.
"Terima kasih. Nanti tunggu saya di sana. Saya tidak lama bertemu boss." Amarta berbicara dengan security setelah berada dalam lift.
"Siap, Pak." Security bersikap sigap.
Kantor sudah mulai sepi, hanya ada beberapa karyawan yang masih bekerja. Sebagian karyawan di lantai dasar sedang berbenah dan ada yang sudah pulang. Begitu juga dengan lantai 3 (tiga) mulai sepi. Hanya ada beberapa staf yang masih lembur.
Amarta mengetuk pintu ruang kerja Direktur, lalu masuk, setelah mendengar suara Dominus mempersilahkan masuk. Sedangkan security menunggu tidak jauh dari ruang kerja Dominus.
"Selamat sore, Pak." Sapa Amarta setelah berada dalam ruang kerja Dominus.
"Apa yang kau lakukan tadi? Saya belum selesai bicara, kau sudah matikan telpon." Dominus langsung protes, tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Saya harus segera keluar dari gerbang rumah yang sudah dibuka, Pak. Apa lagi mobil pengacara Bu Arlen sedang menunggu di belakang saya." Amarta menjelaskan, agar protes Dominus tidak berkepanjangan.
"Dia langsung pulang?" Dominus jadi berubah mendengar pengacara Arlena disebut.
"Iya, Pak. Bu Arlen lagi kurang sehat, jadi beliau dibiarkan istirahat. Untuk apa beliau tinggal, kalau Bu Arlen hanya berdiam diri." Amarta ingat Arlena tidak menunggu hingga mereka meninggalkan halaman rumah atau menahan Samuel, pengacaranya saat hendak pamit.
"Dan juga saya mau ke sini untuk menyerahkan hasil pertemuan. Jadi untuk apa terlalu lama bicara di telpon. Sekarang Pak Domi bisa tanya sepuasnya." Amarta berkata sambil duduk di sofa, lalu membuka tas kerja untuk mengeluarkan dokumen.
Dominus jadi terdiam melihat gerakan dan cara bicara pengacara Amarta yang tidak seperti biasanya. Sehingga dia menurunkan tensi emosi, agar bisa peroleh informasi yang dia inginkan.
"Arlen sedang sakit?" Dominus baru ingat, sudah lama tidak bicara dengan Arlena dan orang rumah tidak mengatakan sedang sakit.
"Kalau secara fisik, saya hanya tahu tangan beliau yang masih diperban. Tapi kalau psikis, tidak ada yang tahu. Beliau lebih banyak diam setelah tanda tangan surat cerai." Amarta meletakan dokumen perceraian di depan Dominus yang sudah ikut duduk di sofa. Dia agak emosi mendengar pertanyaan Dominus.
'Kalau hati Bu Arlen baik-baik saja setelah terima gugatan cerai dari suami, berarti memang ada yang salah dengannya. Tapi kalau istri baik-baik digugat cerai suami, pasti terguncang.' Amarta membatin.
"Dia tidsk protes dengan uang yang ditransfer?"
"Tidak. Setelah beliau dapat info dari bank, langsung tunjukan ke pengacaranya. Saya juga berikan dokumen ke pengacaranya untuk periksa, lalu ditanda tangani Bu Arlen."
"Secepat itu?"
"Iya. Secepat itu. Bu Arlen seperti biasa, kalau sudah sesuai dengan yang dikatakan, langsung lakukan tanpa bertanya kedua kali." Amarta mengatakan tanpa melihat wajah Dominus yang berubah mendengar laporannya.
"Bukannya itu yang diharapkan Pak Domi? Diselesaikan secepatnya. Bu Arlen kan, MANTAN istri Pak Domi, jadi sudah mengenal bapak dengan baik." Ucap Amarta tanpa bermaksud menyindir, tapi mengingatkan bahwa Arlena sudah jadi mantan istrinya.
"Tidak usah diingatkan...!" Bentak Dominus, karena merasa disindir dengan menyebut mantan dengan tekanan.
"Tidak usah ingat yang saya katakan tadi, Pak. Tapi yang ini, tugas saya sebagai pengacara untuk mengingatkan." Pengacara Amarta tegas dan serius.
"Ini lembaran syarat yang diajukan Bu Arlen. Pak Domi baca baik-baik. Jangan sampai langgar syarat yang sudah saya tanda tangan ini."
"Di sini sudah dicantumkan secara jelas oleh pengacara Bu Arlen. Kalau langgar salah satu saja, akan bertemu di pengadilan dan tanda tangan surat cerai batal demi hukum." Pengacara Amarta menunjuk lembaran bermetrai kepada Dominus.
"Kalau sudah seperti itu, Pak Domi akan seperti di pompa besin. 'Mulai dari nol ya, Pak.' Uang yang sudah ditransfer tidak dihitung."
"Mengapa tadi kau bilang itu?" Bentak Dominus.
"Jadi Pak Domi berniat langgar?"
"Tidak." Jawab Dominus cepat.
"Kalau begitu, tidak akan ada masalah." Pengacara Amarta hanya bisa geleng kepala dengar ucapan Dominus.
Mendengar keseriusan pengacaranya, Dominus jadi serius membaca syarat yang diajukan. "Mengapa tidak kau koreksi?" Dominus kesal.
"Apa yang mau Pak Domi koreksi? Semuanya sesuai yang saya jelaskan di telpon. Atau Pak Domi mau berubah pikiran pada bagian mana?"
"Sudahlah... Biarkan saja." Dominus mengibaskan tangan sebagai tanda tidak mau membahas lagi. Hal itu membuat pengacara Amarta mengeryit, heran. 'Seperti remaja puber yang labil.' Amarta hanya bisa membatin dan geleng kepala.
'Tadi penasaran hingga emosi. Sekarang malah tidak tahu yang mau dibahas.' Amarta heran melihat Dominus kebingunan sendiri.
~*
Di luar ruangan; terjadi kejadian yang tidak diduga oleh Selina. "Kau bikin apa di situ?" Selina yang keluar dari ruang kerja dan hendak ke ruang kerja Dominus jadi terkejut melihat security sedang berjaga tidak jauh dari ruang kerjanya.
"Saya sedang tunggu tamu Pak boss, Bu." Jawab security sambil menunjuk ke arah ruang kerja Direktur dengan jempolnya.
"Sanaaa... Sudah pergi. Tidak usah dijaga." Selina menggerakan tangan, menyuruh pergi.
"Maaf, Bu. Saya harus berjaga sesuai perintah." Security berkeras, tetap berjaga.
"Kau melawan saya?"
"Siap."
"Tunggu saja."
"Siap." Security bersikap sigap. Namun sikap security membuat Selina berang, lalu kembali masuk ke ruang kerja.
Beberapa staf yang hendak pulang kerja, jadi menahan tawa melihat sikap security yang menjawab Selina begitu saja, tanpa takut.
"Mantap...!" Para staf yang melihat kejadian mengangkat jempol kepada security sambil senyum tertahan dan juga ada yang menautkan tangan dengan security.
"Memang ada apa, Pak, Bu?" Security tidak mengerti apa yang dilakukan para staf.
"Sering-sering aja bikin pyuusiiing." Ucap salah satu staf, lalu mereka berlalu bersama.
"Dia belum tahu, ya."
"Tahu, apa?"
"Yang dilawan mau jadi bu boss."
"Masih, sih..."
"Security lagi ajarin calon bu boss."
"Ajarin apa?"
"Profesional dalam bekerja."
"Waka wakaa waaoo..."
"Semoga security aman di tempat."
"Iya, yaa..."
"Ada yang uda ngga sabar nunjukin kuasanya."
"Bukan ngga sabar, tapi kebelettt..."
...~*~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
Selina" dah nikmati dlu yang sekarang NNT kalau udah ada karma nyesel kau
gemes aku up Thor 😭
nggak sabar baca epsd selanjutnya up lagi kak