Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Baik Hati
Hari-hari pertama Novia mengajar di SMA Harapan Bangsa berlalu dengan lancar. Ia terkejut sekaligus lega merasakan perbedaan yang begitu kontras dibandingkan dengan sekolah lamanya. Di sini, para guru dan staf sangat profesional dan ramah. Mereka menyambut Novia dengan tangan terbuka, membantunya beradaptasi dengan lingkungan dan sistem baru. Tak ada lagi bisik-bisik, tatapan sinis, atau fitnah tak berdasar.
Novia merasa di lingkungan baru tempat ia mengajar diterima dengan baik. Rekan-rekan guru sangat suportif, dan para siswa, meskipun berasal dari keluarga elit, ternyata cukup sopan dan antusias dalam belajar. Novia menemukan kembali gairahnya dalam mengajar. Ia bisa fokus pada pekerjaannya, tanpa harus merasa waspada setiap saat.
Berbeda dengan dulu ketika masih mengajar di sekolah lama, Novia kini bisa bernapas lega. Ia tidak lagi dihantui rasa takut akan adanya serangan verbal atau drama tak terduga. Kehidupan barunya terasa seperti lembaran putih bersih yang siap ia isi dengan tinta kebaikan.
Suatu hari, saat jam istirahat tiba, Novia memutuskan untuk menuju kantin guru untuk membeli minum. Ia berjalan santai di koridor, menikmati suasana sekolah yang ramai namun tertib. Begitu ia sampai di depan kantin, matanya menangkap siluet familiar yang sedang berbicara dengan beberapa guru senior di area lounge kantin.
Novia terkejut bertemu Kenzi di tempat itu. Jantungnya berdegup kencang. Ia mengira Kenzi hanya akan memastikan dirinya baik-baik saja setelah kejadian di Pengadilan Agama, atau sesekali menjenguknya di kontrakan. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Kenzi di lingkungan sekolah ini.
Kenzi, yang menyadari kehadiran Novia, tersenyum dan menghampirinya. "Novia? Anda sudah selesai mengajar?" sapanya ramah.
Novia mengangguk cemas. "I-iya, Pak Kenzi. Saya... saya tidak tahu Anda ada di sini." Ia bingung, mengapa Kenzi bisa berada di sekolah elit ini, berbicara akrab dengan para guru senior.
Kenzi terkekeh pelan melihat ekspresi terkejut Novia. "Maaf, saya belum sempat memberitahu Anda." Ia melirik ke arah guru-guru senior yang kini tersenyum dan mengangguk hormat pada Kenzi. "Kebetulan saya sedang berkunjung hari ini."
Kenzi tersenyum tipis. "Begini, Novia. Sebenarnya, saya adalah pemilik yayasan sekolah ini."
Mata Novia langsung membelalak lebar. Ia terdiam sesaat, mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Pemilik yayasan? Jadi, selama ini Kenzi tidak hanya seorang pengusaha, tapi juga pemilik sekolah tempatnya mengajar? Rasa terkejut, malu, dan sedikit canggung bercampur menjadi satu. Ia kini mengerti mengapa Kenzi begitu mudah mendapatkan informasi tentang sekolah ini, dan mengapa ia begitu yakin Novia akan diterima.
Novia merasa seperti orang bodoh. Ia selama ini selalu merepotkan dan merasa tidak enak pada Kenzi, menganggapnya hanya sebagai orang asing yang terlalu baik. Padahal, Kenzi adalah sosok yang sangat berpengaruh, bahkan memiliki kuasa atas tempatnya bekerja sekarang.
Kenzi melihat ekspresi Novia dan tersenyum menenangkan. "Jangan terkejut begitu, Novia. Status saya di sini tidak mengubah apapun. Saya tetap Kenzi yang dulu Anda kenal. Saya senang Anda bisa nyaman mengajar di sini."
****
Suara bel tanda pulang sekolah baru saja berbunyi. Novia menghela napas lega setelah menyelesaikan jam mengajarnya. Ia berjalan santai menyusuri koridor yang mulai sepi, menuju ruang guru untuk membereskan berkas-berkasnya. Namun, langkahnya terhenti saat ia melewati ruang kepala sekolah. Pintu sedikit terbuka, dan ia mendengar suara Bu Mariam, Kepala Sekolah, sedang berbicara dengan seseorang.
Rupanya, saat itu Novia tak sengaja mendengar percakapan Bu Mariam dan Kenzi.
"Jadi, bagaimana performa Novia selama ini, Bu Mariam?" tanya Kenzi, suaranya terdengar jelas dari dalam ruangan.
Novia langsung terdiam, terpaku di tempatnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu mereka sedang membicarakannya. Rasa penasaran bercampur cemas menyelimutinya.
Bu Mariam menjawab dengan antusias. "Sangat bagus, Bapak Kenzi! Novia itu guru yang sangat profesional. Ia cepat beradaptasi, mengajar dengan metode yang inovatif, dan disukai oleh para siswa. Bahkan nilai-nilai siswa di kelasnya menunjukkan peningkatan yang signifikan."
"Syukurlah kalau begitu," sahut Kenzi, terdengar lega. "Saya memang yakin dia punya potensi."
"Tentu saja, Bapak. Kami sangat beruntung mendapatkan guru seperti Novia," tambah Bu Mariam. "Dia adalah aset berharga bagi sekolah kita."
Novia menunggu sampai Kenzi selesai bicara dengan Bu Mariam. Ia melihat Kenzi keluar dari ruangan kepala sekolah, tersenyum dan mengangguk sopan pada Bu Mariam. Kenzi kemudian berjalan di koridor, hendak meninggalkan area itu.
Novia memberanikan diri. "Pak Kenzi!" panggilnya.
Kenzi menoleh, senyumnya langsung mengembang saat melihat Novia. "Novia? Sudah selesai mengajar?"
Novia berjalan mendekat, tatapan matanya menunjukkan rasa penasaran dan sedikit keraguan. Ia menatap Kenzi lekat-lekat.
"Tadi... saya tidak sengaja mendengar percakapan Anda dengan Bu Mariam," ucap Novia, suaranya pelan namun tegas. "Anda menanyakan tentang performa saya."
Kenzi sedikit terkejut, namun tetap tenang. "Oh, iya. Saya memang ingin tahu bagaimana adaptasi Anda di sini."
Novia memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan yang selama ini menghantuinya. "Pak Kenzi... apakah Anda yang membantu saya diterima di sekolah ini?"
****
Kenzi menatap Novia, senyum tipis masih tersungging di bibirnya. Ia tahu Novia layak mendapatkan kebenaran. "Ya, Novia," jawab Kenzi, suaranya lembut namun tegas. "Memang benar, saya yang membantu Anda diterima di sekolah ini."
Novia terdiam, mencerna pengakuan itu. Rasa haru dan bersalah bercampur jadi satu. "Tapi... kenapa? Anda tidak perlu melakukan sejauh itu untuk saya," ucap Novia, suaranya tercekat. Ia merasa tidak enak pada Kenzi, merasa dirinya terlalu banyak merepotkan pria itu.
Kenzi melangkah lebih dekat. "Novia, setelah semua yang Anda alami, saya melihat potensi besar dalam diri Anda. Saya tahu Anda seorang guru yang hebat, dan sangat mencintai profesi ini. Saya tidak bisa diam saja melihat bakat Anda terbuang hanya karena fitnah dan perlakuan tidak adil." Ia menatap Novia dalam-dalam. "Saya ingin Anda memiliki kesempatan kedua, sebuah awal yang baru."
Air mata Novia kembali menetes. Bukan karena sedih, melainkan karena rasa syukur yang meluap. "Saya tidak tahu harus berterima kasih bagaimana lagi, Kenzi. Anda sudah sangat banyak menolong saya. Dari masalah di pengadilan, di rumah, hingga sekarang saya bisa kembali mengajar..."
Air mata Novia kembali menetes. Bukan karena sedih, melainkan karena rasa syukur yang meluap. "Saya tidak tahu harus berterima kasih bagaimana lagi, Kenzi. Anda sudah sangat banyak menolong saya. Dari masalah di pengadilan, di rumah, hingga sekarang saya bisa kembali mengajar..."
"Anda tidak perlu membalas apapun," potong Kenzi, tersenyum tulus. "Melihat Anda tersenyum dan kembali bersemangat sudah cukup bagi saya." Ia menepuk bahu Novia pelan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan Anda. Buktikan pada diri sendiri dan pada mereka yang meremehkan Anda, bahwa Anda mampu bangkit."
****
Tepat saat mereka berada di depan gerbang sekolah, sebuah mobil sedan hitam melintas dan tiba-tiba berhenti mendadak. Jendela mobil terbuka, dan dari dalamnya, wajah Bu Desi muncul dengan sorot mata penuh kebencian. Rupanya ia baru saja pulang dari suatu tempat dan kebetulan melintas di sana.
Melihat Novia dan Kenzi berdiri berdekatan, bahkan terlihat akrab, amarah Bu Desi langsung meledak. Ia tak bisa menahan diri.
"Novia! Dasar perempuan tidak tahu malu!" teriak Bu Desi, suaranya melengking tinggi, membuat situasi kacau dan gaduh. Ia bahkan tak turun dari mobil, hanya menjulurkan kepalanya dari jendela.
Bu Desi menyoraki Novia dengan hinaan bertubi-tubi. "Baru juga resmi jadi janda, sudah berani berduaan dengan laki-laki lain di depan sekolah! Kamu itu memang murahan! Pantas saja hidupmu hancur! Pelakor! Wanita amoral!"
Teriakan Bu Desi menarik perhatian beberapa siswa dan orang tua yang kebetulan lewat. Mereka menoleh, bisik-bisik mulai terdengar. Wajah Novia langsung memucat, rasa malu dan sakit hati kembali menyergapnya. Ia menunduk, tak berani menatap orang-orang di sekitarnya.
Kenzi mengerutkan kening. Amarah terlihat jelas di matanya. Ia melangkah maju, menghalangi pandangan Bu Desi ke arah Novia. "Jaga mulut Anda, Bu! Jangan lagi menghina Novia!" bentak Kenzi.