Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Damar memutuskan untuk merombak ruang tamu yang luas di lantai dua rumah mereka menjadi sebuah Perpustakaan Rumah. Ini bukan sekadar rak buku biasa. Damar merancangnya dengan detail
Sektor Fajar (Visual): Area dengan papan tulis besar, meja gambar anti-tumpah, dan rak khusus buku-buku seni serta fotografi.
Sektor Binar (Logika): Area dengan rak buku sains (anatomi, astronomi), puzzle logika, dan tablet khusus yang diisi program kalkulasi dasar dan ilmu pengetahuan.
Sektor Cahaya (Literasi): Area tempat duduk yang nyaman (bean bag warna-warni) dan rak yang penuh dengan buku-buku bilingual, ensiklopedia anak, dan karpet untuk sesi membaca bersama.
Proyek ini memakan waktu dua bulan dan Damar mengawasi setiap detailnya, memastikan ruangan itu terang, aman, dan memicu kreativitas.
Pada hari ulang tahun ketiga anak mereka yang ke-2, Damar dan Senja meresmikan Perpustakaan Rumah itu, menamakannya "Perpustakaan Tiga Cahaya Saputra."
Senja berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh rak-rak buku baru yang berbau kertas segar. Ia mengambil napas dalam-dalam. "Ini adalah ruangan paling ajaib yang pernah kau buat, Damar."
"Ini adalah investasi masa depan, Sayang. Kita sudah melindungi mereka dari kegelapan di luar. Sekarang, kita lindungi pikiran mereka dengan cahaya pengetahuan," jawab Damar.
Ia melihat ketiga anaknya yang langsung berpencar Fajar ke meja gambar, Binar ke rak anatomi, dan Cahaya segera mengambil buku dan duduk di bean bag. Mereka terlihat begitu bahagia dan bebas.
"Dulu aku takut. Aku merasa gagal menjadi anak, takut gagal menjadi istri, dan takut gagal menjadi ibu. Tapi sekarang, melihat tiga cahaya ini, aku tahu bahwa cinta Damar telah mengubah setiap traumaku menjadi kekuatan. Anak-anakku adalah bukti bahwa cahaya selalu menang." ucap Senja berbisik
Damar memeluk Senja, di tengah suara-suara kecil yang sedang belajar. Kehidupan mereka kini benar-benar utuh dan bersinar.
Memasuki tahun ketiga pernikahan, Damar Saputra menghadapi salah satu fase tersibuk dalam kariernya. Proyek pembangunan kompleks hunian ramah lingkungan adalah tender dengan margin kesalahan nol. Ia harus bekerja lembur hingga larut malam, sering kali melewatkan momen makan malam bersama Senja dan anak-anak. Kelelahan yang ia rasakan dulu saat mengurus bayi, kini digantikan kelelahan intelektual yang sama mencekiknya.
Suatu malam, Damar terpaksa mencetak spreadsheet setebal kamus, menyebar angka-angka perhitungan volume, biaya material, dan overhead di ruang kerjanya di rumah. Ia harus menemukan kekurangan dalam perhitungan biaya material untuk menghemat anggaran tanpa mengurangi kualitas. Matanya mulai berkunang-kunang karena kurang tidur.
Di kantor, celah kelelahan Damar ini menjadi sasaran empuk bagi Risa, junior manager di tim keuangan. Risa adalah wanita cerdas, ambisius, dan tidak takut mengambil jalan pintas, termasuk mendekati atasannya.
Pukul delapan malam, saat kantor mulai sepi, Risa masuk ke ruangan Damar, membawa dua cangkir keramik. "Pak Damar, ini kopi espresso double shot. Saya lihat Anda sudah hampir 48 jam tidak mendapatkan tidur berkualitas," ujar Risa, meletakkan cangkir itu terlalu dekat dengan Damar.
Damar mendongak, matanya lelah tapi waspada. "Terima kasih, Risa. Tapi saya sudah meminta tim HRD untuk tidak ada yang lembur melebihi jam tujuh, demi kesehatan karyawan."
"Tentu, Pak. Tapi sebagai asisten tak resmi Anda di proyek ini, saya merasa bertanggung jawab. Lagipula, saya tidak terburu-buru. Di rumah, saya hanya ditemani kucing. Lebih baik saya di sini membantu Anda." Risa sengaja berdiri di belakang kursi Damar, menyentuh sandaran kursi itu sejenak. Ini adalah usaha ringan Risa, menembus benteng Damar dengan dalih simpati.
Damar segera berdiri, memasukkan dokumen ke dalam tas kerjanya. "Saya menghargai loyalitasmu, Risa. Tapi saya harus membawa ini ke rumah. Ada beberapa perhitungan yang harus saya cek bersama istri saya, karena dia adalah akuntan yang sangat baik. Silakan kamu pulang, sebelum saya harus melaporkanmu karena melanggar jam kerja."
Damar menekankan bahwa ia tidak sendirian dan istrinya adalah rekan kerjanya sebuah penolakan halus namun tegas terhadap kedekatan Risa. Risa hanya tersenyum dingin dan mundur, menyadari Damar lebih protektif dari yang ia duga.
Malam itu, Damar kembali ke rumah. Setelah menyapa Senja dan mencium kening ketiga anaknya yang sedang bermain di ruang keluarga, ia kembali menekuni spreadsheet yang rumit itu di meja makan.
Binar Mentari, si ahli logika, sedang menyusun menara balok yang sangat tinggi dan stabil. Binar mengamati ayahnya yang terlihat mengacak-acak rambutnya sendiri.
Binar, yang memiliki kemampuan menghitung dan membaca yang luar biasa untuk balita, merangkak mendekat. "Papa, kenapa angka-angka Papa marah?" tanyanya, menunjuk ke spreadsheet.
"Angka-angka ini tidak mau seimbang, Nak. Jika tidak seimbang, kita tidak dapat pekerjaan," jawab Damar pasrah, sambil menghitung ulang persentase efisiensi material.
Binar, dengan mata fokusnya, menunjuk kolom perhitungan persentase biaya tak terduga (contingency). "Tapi Papa, contingency itu seharusnya half of half dari total, bukan one times one," ucap Binar, memegang pulpen ayahnya.
Damar, yang sudah mengulang perhitungan itu sepuluh kali, melihat kembali rumus yang Binar tunjuk. Ternyata ia salah memasukkan rumus formula persentase yang sangat mendasar akibat kelelahan. Rumus itu membuat biaya tak terduga melonjak hingga tiga kali lipat!
Damar tersentak. Kepalanya yang lelah tidak mampu mendeteksi kesalahan hitungan yang Binar deteksi dalam hitungan detik. Ia segera membenarkan rumus itu. Sempurna! Masalah biaya yang mengancam tender mereka terpecahkan.
Air mata Damar menetes. Ia bukan hanya bangga, ia merasa diselamatkan. "Nak, kamu benar-benar jenius. Papa berutang budi padamu. Kamu menyelamatkan pekerjaan Papa!" Ia memeluk Binar erat-erat, menyadari bahwa kejeniusan anaknya adalah berkah ganda yang tidak pernah ia sangka.