NovelToon NovelToon
DEWA SAHAM

DEWA SAHAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Genius
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JEJAK YANG MULAI JELAS

Suara ayam jantan belum sepenuhnya hilang saat sinar matahari pertama menyelinap di sela atap rumah sederhana itu. Udara pagi Desa Gumalar terasa segar, dingin, dan penuh aroma tanah basah. Di ruang tamu yang kini lebih luas dari dulu, seorang perempuan tengah menyiapkan sarapan.

Sari — nama yang kini melekat kuat di dirinya — menata piring dengan tangan cekatan. Dapur kecil itu kini sudah jauh lebih baik dari dulu, hasil dari gajinya sebagai guru tetap di SD Negeri 1 Gumalar. Ia tersenyum kecil melihat perubahan itu. Meja kayu, kursi rotan, dan rak buku di sudut ruangan adalah bukti dari kerja keras yang ia bangun sedikit demi sedikit.

“Lanang, bangun Nak. Hari ini hari pertama di sekolah baru!” serunya sambil menepuk perlahan pintu kamar.

Tak lama kemudian, suara langkah terburu-buru terdengar. Lanang keluar dengan rambut acak-acakan dan wajah setengah mengantuk, tapi mata yang tetap menyala penuh semangat.

“Udah, Bu. Aku siap!”

Sari tertawa pelan. “Siap tapi belum sisiran.”

“Aduh,” Lanang nyengir, mengambil sisir dari meja dan merapikan rambutnya cepat-cepat. Seragam putih abu-abunya masih tercium aroma baru.

“Kayaknya kebesaran dikit ya?” tanya Sari sambil memeriksa lipatan baju.

“Nanti juga pas, Bu. Aku kan tumbuh cepat.”

Mereka berdua tertawa. Setelah sarapan, Sari memandangi punggung anaknya yang mulai berjalan ke jalan besar dengan langkah yakin. Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan. Dulu, anak itu datang dalam keadaan luka dan kehilangan segalanya. Kini, ia melangkah menuju masa depan dengan kepala tegak.

Namun, di sela rasa bangga itu, selalu ada sesuatu yang mengganjal di dadanya — seperti bayangan samar yang muncul di tepi pikirannya, menunggu untuk dikenali.

SMA Negeri 3 Pemalang.

Sekolah itu terletak di tengah kota, dikelilingi gedung pemerintahan dan toko-toko besar. Hari pertama masuk, Lanang datang lebih awal, menuntun sepeda tuanya yang kini mulai karatan di pinggir halaman sekolah. Sementara siswa-siswa lain datang dengan motor baru dan mobil keluarga, ia hanya tersenyum, menatap gedung megah di depannya.

“Anak baru ya?” tanya seorang guru piket di depan gerbang.

“Iya, Pak. Saya Lanang Damar Panuluh.”

Guru itu membuka daftar dan tersenyum. “Oh, beasiswa dari Yayasan Kinasi, ya? Hebat. Nilaimu tertinggi se-kabupaten. Selamat datang.”

Lanang mengangguk sopan.

Kata “beasiswa” itu sudah menjadi bagian dari identitasnya. Tapi setiap kali mendengarnya, entah kenapa, hatinya terasa hangat — seolah ada tangan tak terlihat yang terus menuntunnya tanpa ia tahu siapa.

Hari-hari awal SMA tidak mudah. Pelajaran lebih sulit, teman-teman baru lebih beragam, dan persaingan akademik jauh lebih ketat. Tapi seperti biasa, Lanang cepat beradaptasi.

Dalam waktu tiga bulan, namanya sudah dikenal di seluruh sekolah. Ia sering membantu teman-temannya belajar, mengorganisir kegiatan kelas, dan memenangi lomba cerdas cermat antar-SMA.

“Hebat banget si Lanang tuh,” bisik beberapa siswi di koridor.

“Katanya tiap malam belajar sampai jam dua, lho.”

“Pasti pinter karena turunan. Orang tuanya pasti profesor.”

Lanang hanya tersenyum setiap kali mendengar itu. Ia tak pernah merasa perlu menjelaskan apa pun tentang asalnya. Ia tahu siapa dirinya: anak seorang guru desa yang selalu mengajarinya bahwa kecerdasan tanpa kebaikan hanya akan jadi kesombongan.

Sementara di sisi lain kehidupan — Jakarta.

Gedung-gedung menjulang dengan cahaya kaca memantulkan sinar sore. Di salah satu sudut elit kawasan SCBD, Dirgantara Capital mengadakan rapat direksi bulanan.

Arif Dirgantara duduk di ujung meja panjang, wajahnya tenang tapi matanya penuh kalkulasi. Di hadapannya, layar besar menampilkan grafik saham dan laporan investasi dari cabang-cabang luar negeri.

“Proyek di London mulai bergerak positif, Pak,” lapor seorang staf.

“Bagus. Tapi fokus di pasar Asia tetap prioritas,” jawab Arif datar.

Namun di sela pembahasan angka, pikirannya tak sepenuhnya di ruang itu. Ia masih menyimpan berkas kecil di laci bawah mejanya — data tentang seorang guru bernama Sari Retnowati dan anaknya, Lanang Damar Panuluh.

Tiga tahun terakhir, ia tidak lagi mengirim orang untuk memata-matai, tapi laporan berkala tetap datang ke mejanya.

Ia sudah tahu perkembangan anak itu: nilai tertinggi di kabupaten, aktif di organisasi sekolah, dan kini masuk SMA unggulan.

“Dia cepat sekali berkembang…” gumam Arif tanpa sadar.

“Maaf, Pak?” tanya direktur muda di sebelahnya.

“Tidak apa-apa. Lanjutkan presentasinya.”

Setelah rapat usai, Arif berdiri di balkon lantai 40, menatap langit senja Jakarta yang berwarna oranye kemerahan. Di tengah kejayaan dan kekuasaannya, ada ruang hampa di dalam hatinya — ruang yang dulu hanya bisa diisi oleh dua hal: Retno dan anak yang tak sempat ia lihat tumbuh.

Kini keduanya mungkin masih ada, tapi dalam dunia yang tak lagi mengenalnya.

Kembali ke Gumalar.

Sore itu, setelah pulang sekolah, Lanang duduk di depan rumah sambil membuka surat. Amplop putih dengan logo Yayasan Kinasi di pojok kiri atas.

“Kami senang melihat perkembangan akademik Anda. Yayasan akan memperpanjang dukungan dan memberikan tambahan fasilitas untuk menunjang pendidikan.

Tetaplah rendah hati dan berprestasi.”

Ia menatap surat itu lama. Nama yayasan itu terasa begitu dekat, tapi asing. Ia sering ingin tahu siapa pendirinya, tapi setiap kali ia tanya ke pengurus cabang, jawabannya selalu sama: ‘Yayasan besar dari Jakarta. Pendiri sudah lama tak aktif di lapangan.’

Sari datang membawa teh hangat. “Surat dari yayasan lagi?”

“Iya, Bu. Mereka bantu terus.”

Sari tersenyum. “Berarti kamu harus semakin rajin. Jangan sia-siakan kebaikan orang.”

“Iya, Bu.”

Namun, di balik tatapan lembutnya, Sari merasa sesuatu bergetar di dalam dirinya setiap kali melihat logo yayasan itu. Bentuk bunga kinasih di dalam lingkaran emas terasa begitu akrab. Ia sering melihatnya dalam mimpi, di sebuah tempat besar dengan gedung tinggi dan seseorang yang memegang tangannya sambil tersenyum.

Tapi seperti biasa, kenangan itu tak pernah lengkap. Hanya potongan. Bayangan.

Dan setiap kali ia mencoba mengingat lebih jauh, kepalanya terasa berat.

Di SMA, kehidupan Lanang semakin sibuk. Ia tak hanya unggul di pelajaran, tapi juga terlibat dalam organisasi siswa. Ia dipercaya menjadi Ketua OSIS di tahun keduanya — sesuatu yang jarang terjadi untuk anak beasiswa.

Ia belajar berbicara di depan ratusan siswa, bernegosiasi dengan guru, hingga mengelola acara besar sekolah. Setiap keputusan yang ia ambil selalu menimbang kepentingan bersama, bukan hanya dirinya.

Guru-guru mulai memperhatikan.

“Anak ini beda,” ujar Pak Dimas, guru sejarah, suatu hari di ruang guru. “Karakternya kuat, tapi tidak sombong.”

“Benar,” sahut Bu Sinta. “Saya rasa dia bisa jadi pemimpin besar suatu hari nanti.”

Dan benar saja, ketika kelulusan tiba, Lanang bukan hanya menjadi siswa terbaik di sekolahnya, tapi juga lulusan terbaik tingkat provinsi. Berita tentang prestasinya masuk koran lokal, dan namanya mulai diperhatikan berbagai universitas besar.

Jakarta, malam yang sama.

Arif duduk di ruang kerjanya, membaca artikel daring tentang "Remaja dari Desa Gumalar Raih Nilai Tertinggi Provinsi Jawa Tengah".

Ia menatap foto itu lama — anak laki-laki dengan senyum percaya diri, memakai seragam putih abu-abu, berdiri di panggung sambil membawa piagam.

Rasanya seperti melihat cermin masa lalu.

Bentuk wajahnya… garis rahang… mata itu… terlalu mirip.

Tangannya gemetar. Ia menutup laptop, menatap ke langit-langit ruangan, berusaha menahan gejolak yang tiba-tiba menyeruak.

“Jadi benar, kamu…”

Kata-katanya terhenti. Ia tak sanggup melanjutkan.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang dingin dan teratur, Arif menangis tanpa suara.

Beberapa bulan kemudian, Lanang resmi diterima di Universitas Gadjah Mada, jurusan Ekonomi dan Bisnis. Ia diterima dengan beasiswa penuh, lagi-lagi dari Yayasan Kinasi.

Saat membaca surat itu, Sari menatapnya dengan mata berbinar.

“Jogja, Nak! Kamu akan ke Jogja!”

“Iya, Bu. Aku janji nggak akan sia-siakan kesempatan ini.”

Malam itu, setelah Lanang tertidur, Sari duduk sendiri di teras rumah. Angin membawa aroma padi muda. Ia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip, mencoba menenangkan hatinya. Tapi entah kenapa, ia merasa seperti sedang kehilangan sesuatu — meski anaknya baru akan pergi besok.

Di tempat lain, di Jakarta, Arif juga duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan halaman pendaftaran mahasiswa baru UGM terbuka. Di kolom nama, tertulis:

Lanang Damar Panuluh – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Beasiswa Kinasi Foundation.

Ia tersenyum tipis. “Jogja, ya…”

Sebuah kota yang dulu juga menjadi saksi perjalanan cintanya dengan Retno.

Takdir sedang menggambar lingkaran lain — perlahan, tapi pasti.

Pagi keberangkatan tiba.

Terminal Pemalang ramai, dan udara terasa hangat. Sari memeluk anaknya lama sekali.

“Hati-hati di sana, Nak.”

“Iya, Bu. Jangan khawatir. Aku pasti sering telepon.”

“Jangan lupa makan, jangan lupa shalat.”

Lanang tertawa kecil. “Iya, Bu. Aku bukan anak kecil lagi.”

Namun, di matanya sendiri, air bening sudah menumpuk. Ia memeluk ibunya sekali lagi sebelum naik ke bus. Dari jendela, ia melihat Sari melambaikan tangan dengan senyum yang tak sepenuhnya bahagia.

Bus perlahan bergerak meninggalkan terminal. Lanang menatap jalan panjang di depannya — jalan menuju masa depan, tapi juga menuju masa lalu yang belum dikenalnya.

Sore itu, Sari pulang ke rumah yang kini terasa sepi. Ia duduk di ruang tamu, membuka album foto lama. Di halaman terakhir, ada selembar foto yang agak buram: dirinya bersama anak kecil di depan sekolah, dan di pojok bawah foto itu, samar-samar terlihat bayangan seseorang yang sedang memotret.

Sari menatap foto itu lama.

Tiba-tiba, kepalanya terasa berat. Potongan bayangan muncul — wajah pria berjas hitam, senyum lembut, genggaman tangan, lalu cahaya putih menyilaukan, suara rem mobil, dan tubuhnya terlempar.

Ia terbangun dengan keringat dingin.

“Arif…” bisiknya lirih.

Nama itu terasa semakin jelas, seperti pintu yang mulai terbuka.

Dan di tempat lain, Arif berdiri di balkon apartemennya menatap langit barat.

“Jogja,” gumamnya pelan. “Mungkin sudah waktunya aku ke sana.”

Langit sore Jakarta memerah seperti darah — pertanda bahwa babak baru sudah dimulai.

Dan untuk pertama kalinya sejak belasan tahun lalu, langkah-langkah masa lalu mulai mengarah ke tempat yang sama.

1
Retno indriyawati
trus nanti bakalan ktemu dimana.. apa si arif bakalan nusulin dan mncari informasi
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ biat selalu semangat dalam berkarya💪💪💪
Retno indriyawati
wahh mantapp nih. . sudah aroma2 wangiiiii
Retno indriyawati
😍😍😍😍😍
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
☕ untuk tetqp semangat 💪💪💪💪💪
𝕲𝖔𝖊𝖘 𝕼𝖚𝖒𝖎𝖊𝖟
tetap semangat dalam berkarya
Retno indriyawati
wah. kapan nih bisa ktemuunya. 😍😍😍
Retno indriyawati
wah seru bgt. lanjut thor
Retno indriyawati
aku suka2
Retno indriyawati
makin sukses thor ..
Retno indriyawati
tambah seru aja nih
Rendy Budiyanto
semangat min
menarik
Rendy Budiyanto
💪💪💪
Junot Slengean Scd: terimakasih
total 1 replies
Retno indriyawati
lanjut
Junot Slengean Scd: siap👍
total 1 replies
Retno indriyawati
keren si ini
Retno indriyawati
🤣🤣🤣🤣
Junot Slengean Scd: dukung terus
total 1 replies
Kevin Leonardus
up lagi thor ga sabar💪💪
Junot Slengean Scd: wkwkwkwkkwkw💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!