Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 16.
Pukul sebelas siang, udara Jakarta terasa lembab. Langit setengah mendung tapi matahari tetap berusaha menembus awan, membuat bayangan pepohonan di depan sekolah taman kanak-kanak bergoyang perlahan.
Alana berdiri di pinggir pagar, menunggu jam pulang sekolah Alima. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok selutut berwarna krem. Rambutnya diikat separuh, wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya masih diselimuti sisa perasaan campur aduk sejak kejadian kemarin.
Kata-kata Adrian semalam masih terngiang.
"Kamu salah, kamu istriku."
Kalimat sederhana itu terasa seperti perlindungan yang sudah lama ia tunggu.
Pintu pagar sekolah terbuka, dan suara anak-anak kecil membahana seperti burung-burung keluar dari sangkar. Alima adalah salah satu yang paling semangat berlari. Rambutnya diikat dua, tas bergambar kelinci menggantung di punggung mungilnya.
“Bunda!” teriaknya senang.
Alana menunduk, membentangkan tangan, dan anak itu langsung memeluk pinggangnya. Aroma bedak bayi dan keringat manis anak-anak bercampur, membuat dada Alana terasa hangat.
“Main apa tadi?” tanyanya lembut sambil mengeluvs kepala Alima.
“Lomba mewarnai, Bunda! Lihat ini!” Alima mengeluarkan kertas bergambar rumah dengan langit biru dan taman di sekelilingnya. Meski warnanya belum rapi, Alana tersenyum seolah itu karya paling indah di dunia.
“Cantik sekali. Nanti Bunda bingkai ya.”
“Janji?”
“Janji.”
Mereka berjalan menuju area parkir, saat sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari sana. Langkah Alana berhenti, saat ia mengenali mobil itu bahkan sebelum jendela terbuka.
Adrian turun dari mobil, mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku. Wajahnya masih serius, tapi tidak dingin. Matanya langsung tertuju pada Alima, lalu pada Alana.
“Mas?” suara Alana agak terkejut. “Kenapa ke sini?”
Adrian berjalan mendekat, menatap Alana dengan ekspresi tenang. “Kamu belum makan, kan?”
Alana mengerjap, sedikit bingung. “Belum sih, tapi—”
“Aku juga belum,” potong Adrian singkat. “Kita makan bareng aja.”
Alima langsung bersorak, “Makan bareng Bunda dan Papa! Yeay!”
Alana tersenyum kecil dan mengikuti langkah Adrian yang menggendong Alima menuju mobil.
Restoran yang mereka tuju sederhana, tidak jauh dari sekolah. Tempat itu sering dipakai keluarga kecil untuk makan siang. Tidak ada yang istimewa dari tempatnya, hanya suara alat makan berdenting, dan aroma ayam goreng yang menggoda. Tapi entah kenapa, suasananya terasa... nyaman.
“Mas mau pesan apa?” tanya Alana hati-hati.
“Apa yang kamu pesan aja, aku ikut.”
“Mas serius? Takutnya nggak cocok sama lidah Mas.”
Adrian tersenyum samar. “Lidahku bisa menyesuaikan.”
Ada jeda pendek, tapi kalimat itu membuat pipi Alana memanas tanpa alasan jelas. Ia lalu memanggil pelayan dan memesan ayam goreng mentega, sayur capcay, serta sop jagung kesukaan Alima.
Saat pelayan pergi, suasana hening sebentar. Hanya suara pengunjung lain dan musik lembut di latar.
Tak lama pelayan datang membawa makanan, aroma hangat memenuhi meja. Alima langsung berseru senang melihat ayam goreng.
Adrian memperhatikan Alana yang dengan cekatan memotongkan ayam untuk Alima, meniup sup jagung agar tidak panas. Gerakan kecil, tapi penuh kasih. Adrian mendadak menyadari betapa sering ia lupa memperhatikan hal-hal semacam itu.
“Mas nggak makan?” tanya Alana tanpa sadar ia sedang diperhatikan.
Adrian tersenyum samar. “Lagi liat kamu.”
Wajah Alana menegang seketika. “L-liat saya?”
Adrian mengalihkan pandang. “Maksudku... kamu kelihatan terbiasa banget sama anak kecil.”
“Karena dulu saya sempat kerja di rumah panti asuhan sebelum bekerja pada kalian,” jawab Alana. “Saya suka anak-anak.”
Adrian mengangguk pelan. “Pantes aja Alima langsung lengket.”
Mereka makan dalam diam yang tak canggung. Beberapa kali Alima menyodorkan suapan ke ayahnya, membuat Alana tertawa kecil. Tawa ringan yang tulus bukan dibuat-buat, dan merasa dada Adrian menghangat.
Di tengah makan, Alana menatapnya ragu. “Mas... soal ibunya Mas, apa beliau marah besar?”
Adrian menaruh sendoknya, lalu menatap langsung ke matanya. “Mama belum bisa nerima, tapi biarin waktu yang bicara. Aku nggak mau kamu merasa harus ninggalin rumah, cuma karena ibuku.”
Alana menunduk. “Saya nggak mau Mas kehilangan keluarga karena saya.”
“Dan aku nggak mau kehilangan kamu cuma karena omongan keluarga,” balas Adrian cepat.
Keduanya sama-sama terdiam, jantung seakan berdetak lebih cepat dari biasanya. Adrian akhirnya berdehem, menatap piringnya lagi, mencoba memecah ketegangan yang tiba-tiba muncul.
Sementara Alima bersuara riang. “Papa, Bunda, boleh pesan es krim?”
Adrian tersenyum tipis. “Boleh, asal makanannya habis.”
Setelah selsai makan, mereka berjalan pelan menuju mobil. Alima menggandeng tangan keduanya, wajahnya berbinar. “Alima sayang Papa sama Bunda!” katanya nyaring.
Alana tersenyum, Adrian menatap anak itu dan mengeluvs kepala putrinya. “Papa juga sayang Alima.”
“Papa sayang Bunda juga nggak?" celetuk anak itu dengan wajah polos.
Adrian terkejut, tapi dia tersenyum tipis. “Sayang...“
Ucapan itu berhasil membuat pipi Alana merona.
Dalam perjalanan pulang, suasana di mobil tenang. Lagu lembut mengalun, sementara Alima tertidur di kursi belakang dengan boneka kelincinya, kepala anak kecil itu diatas pangkuan Alana.
Adrian melirik ke arah Alana beberapa kali. Wanita itu menatap keluar jendela, angin sore menggerakkan anak rambut di pelipisnya.
“Kamu suka makan di tempat tadi?” tanya Adrian tanpa menoleh.
Alana tersenyum. “Suka, suasananya enak. Mungkin karena Mas juga... nggak dingin sama saya.”
Adrian terkekeh kecil. “Berarti aku harus sering kayak tadi?“
“Kalau bisa, iya...” jawab Alana cepat, membuat Adrian tertawa pelan untuk pertama kalinya sejak lama.
Mobil berhenti di lampu merah, Adrian menatap sekilas wajah Alana yang tertimpa cahaya matahari sore. Ada sesuatu di sana, ketulusan, kesabaran, mungkin juga kehangatan yang selama ini hilang dari hidupnya.
Kini cara Alana menyebut “Mas” dengan ragu tapi lembut. Semuanya terasa... menyegarkan.
Lampu berganti hijau, mobil kembali melaju pelan. Dan entah kenapa, jalan pulang kali ini terasa lebih pendek dari biasanya.
Sesampainya di rumah, Alana menggendong Alima yang masih tertidur. Adrian membuka pintu dan mengangkat tas kecil anak itu. Saat Alana hendak melangkah ke kamar, Adrian memanggil pelan.
“Lana.”
Alana menoleh.
Adrian menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Terima kasih sudah kembali, waktu ibuku menyuruhmu pergi.”
Tatapan Alana melembut. “Alima dan Mas... yang membuat saya kembali.”
Mereka sama-sama terdiam sesaat. Tidak ada kata cinta di antara mereka, tapi ada kejujuran yang perlahan-lahan tumbuh.
Di luar, matahari mulai tenggelam di balik pepohonan. Di dalam rumah itu, tiga hati yang pernah kehilangan mulai belajar membangun rumah baru dari serpihan masa lalu.
Sebuah awal kecil... tapi nyata.