Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH SATU : TERAMAT BODOH
Mandala dan Wira saling pandang. Sorot mata keduanya menyiratkan ada sesuatu, yang belum terselesaikan di antara mereka.
“Pergi sekarang, Gita?” tanya Wira, seraya berjalan menghampiri.
Gita yang awalnya berdiri membelakangi, langsung berbalik. Raut wajahnya pun berubah ceria.
“Iya, Mas,” sahut Gita, seraya berjalan menghampiri. Tak dipedulikannya Mandala, yang berdiri sambil menatap aneh. Gita langsung menyambut uluran tangan Wira, membiarkan pria itu menuntunnya menuju ke dekat mobil.
“Gita … jangan!” cegah Mandala tidak terlalu nyaring, berhubung Wira dan Gita belum terlalu jauh.
“Kami sudah membuat janji,” ujar Wira tenang, seraya menoleh sekilas. Dia membukakan pintu untuk Gita, mempersilakan gadis itu masuk.
“Jangan lupa pasang sabuk pengaman,” ucap Wira pelan dan langsung berbalas anggukan dari Gita.
Setelah menutup pintu, Wira berjalan memutar ke pintu sopir. Sebelum masuk, dia sempat menatap Mandala, lalu tersenyum sinis. Pengusaha tampan itu tak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya ingin secepatnya membawa Gita pergi dari sana.
Sedan mewah yang dikendarai Wira melaju tenang, melintas ke depan Mandala yang terpaku dengan tatapan tak dapat diartikan.
Menjengkelkan. Mandala merasa jadi seseorang yang sangat bodoh. Dia tak bisa berbuat apa-apa, selain membiarkan Gita dibawa pergi oleh seseorang yang merupakan bagian dari masa lalunya. Pria yang sangat dikenal, dan tak sepantasnya mendekati gadis itu.
“Kurang ajar!” Mandala mengepalkan tangan, mengumpulkan seluruh amarah di sana. Namun, dia tak tahu harus melampiaskan dengan cara seperti apa.
Selagi Mandala sibuk dengan perasaannya yang tak menentu, Gita dan Wira sudah berada di jalan raya menuju ke suatu tempat.
Awalnya, tak ada percakapan di antara mereka. Wira bisa melihat jelas raut masam Gita, yang lebih sering menatap ke luar jendela.
“Apa dia mengganggumu?” tanya Wira, memecah kebisuan yang bertahta beberapa saat.
Gita yang tengah termenung, langsung menoleh. “Siapa?”
“Pria yang tadi,” sahut Wira tanpa menoleh. Dia tengah fokus pada lalu lintas yang cukup ramai.
Gita terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Tidak," jawabnya.
“Apakah kalian ada hubungan khusus?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Wira. Sempat disesali karena membuatnya merasa konyol. Namun, apa yang sudah terucap tak dapat ditarik kembali.
“Tidak ada,” jawab Gita pelan. “Dia hanya pelanggan di warung nasi. Mas Maman bekerja di proyek pembangunan apartemen milik Mas Wira.”
“Maman?” ulang Wira, seraya menautkan alis.
“Ya. Mas Maman.”
Wira yang awalnya memasang raut serius, berusaha menahan senyum mendengar Gita menyebutkan nama itu. Namun, dia tak berkomentar apa-apa karena dirasa tidak begitu penting.
Beberapa saat kemudian, Wira mengarahkan mobilnya ke apartemen mewah pinggiran kota. Suasana di sana tidak begitu ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan bermotor.
“Kenapa kita kemari?” tanya Gita, setelah Wira mengajaknya keluar dari mobil.
“Nanti juga kamu tahu,” jawab Wira santai, diiringi senyum kalem. Diraihnya tangan Gita, lalu dituntun masuk.
Wira membawa Gita menuju lantai paling atas. Setelah tiba di sana, mereka memasuki salah satu unit bertuliskan Jasmine Tea-03.
“Silakan masuk,” ucap Wira, setelah membukakan pintu.
Awalnya, Gita sempat ragu. Namun, dia tetap masuk dan mencoba terlihat biasa di depan Wira.
Setelah berada di dalam, Gita terpaku beberapa saat mendapati suasana yang sangat berbeda, meski dirinya sudah tak asing lagi dengan ruangan mewah khas hotel bintang lima dan sebagainya. Namun, ruangan apartemen itu terasa lain bagi dara cantik 23 tahun tersebut.
Ruangan itu begitu luas. Lantai marmer berwarna krem muda, memantulkan cahaya hangat dari lampu gantung kristal yang menyala tidak terlalu terang. Teduh dan memberikan kesan damai.
Begitu juga dengan jendela kaca panoramik yang berdiri dari lantai sampai ke langit-langit, bagai televisi layar lebar yang memperlihatkan tontonan pemandangan indah di luar sana. Malam pekat berhiaskan titik-titik kecil cahaya lampu, yang entah berasal dari bangunan apa dan milik siapa.
Di bagian tengah ruangan, terdapat sofa mewah yang dibungkus oleh kulit premium berwarna abu-abu gelap. Ia terlihat sangat arogan, seakan menantang untuk melakukan pergulatan besar di sana. Berbanding sebaliknya dengan bantal-bantal empuk yang tersusun rapi. Mereka justru tampak sangat lembut dan nyaman, seakan jadi peredam dari keangkuhan sofa yang jadi tempatnya berada.
Satu hal yang membuat Gita merasa begitu tenang ialah bau yang menguar dari lilin aromaterapi dan entah wewangian apa lagi. Sungguh menyenangkan bisa berada di ruangan itu.
“Kenapa hanya berdiri di sini?” tanya Wira, seraya memeluk Gita dari belakang.
Gita sempat terkejut, tapi langsung menguasai diri. Gadis itu tertawa pelan.
“Kenapa? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Wira lagi. Suaranya teramat jelas di telinga sebelah kiri Gita.
“Tidak ada. Aku hanya …. Apakah ini apartemen Mas Wira?” Satu pertanyaan bodoh terlontar dari bibir Gita, seolah tak ada bahan obrolan yang lebih penting. Gita segera menyadarinya. “Ah, ya. Tentu saja. Ini pasti milik Mas Wira.”
“Kata siapa?”
Mendengar tanggapan Wira, membuat Gita langsung menoleh dengan sorot aneh.
“Apartemen ini bukan milik saya,” ujar Wira, seraya melepaskan pelukannya. Dia menuntun Gita duduk di sofa.
“Saya sudah membelinya atas namamu,” ucap Wira tenang, diiringi senyum kalem yang membuat kharismanya kian terlihat jelas.
“Apa?” Gita terbelalak tak percaya.
Wira mengangguk yakin. “Hadiah pertama untukmu,” ucapnya.
“Tapi, ini terlalu berlebihan. Aku bahkan tidak melakukan apa pun untukmu, Mas … maksudku … kita … kita bahkan belum pernah bercinta atau ...."
“Tidak masalah. Saya senang bisa bertemu dan ditemani seperti ini. Untuk urusan ranjang bisa menyusul. Lagi pula, kamu sedang datang bulan, kan?”
Gita jadi agak kikuk. Pasalnya, kemarin malam dia puas bercinta dengan Mandala, yang tak membayar sepeser pun. Jika mengatasnamakan profesionalisme, pantaskah dirinya mengabaikan Wira yang telah memberi banyak?
Namun, Gita sedang tidak ingin bercinta dengan pria manapun. Dia hanya memikirkan Mandala, bahkan setelah membuat pria itu kecewa.
Ya. Meskipun telah mengetahui seperti apa pekerjaan Gita yang sebenarnya, Mandala tetap merasakan sesuatu yang tak nyaman dalam dada. Melihat Gita dibawa pria lain, telah membuat hatinya tersentil begitu keras. Sialnya, Mandala tak bisa melakukan apa-apa dan hanya duduk termenung di tepian trotoar.
Tak ubahnya dengan Gita, yang juga lebih banyak diam. Minuman yang disajikan Wira pun belum disentuh dan hanya dipandangi.
“Saya sudah memesan makanan. Petugas akan mengantarkan sebentar lagi,” ucap Wira, seraya duduk di sebelah Gita.
Gita menoleh, lalu tersenyum manis. Rayuan kecil yang membuat Wira tak kuasa menahan diri untuk menciumnya.
“Ah!” Gita meringis pelan menahan sakit.
“Kenapa?” tanya Wira khawatir, melihat Gita memegangi bibirnya.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua