NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:569
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 - Kegelisahan

Sedangkan Desa Osca siang itu diselimuti udara sejuk, angin dari utara berhembus lembut melewati ladang-ladang hijau. Namun kesejukan itu tak terasa di dalam kediaman keluarga Elowen. Dinding batu yang kokoh justru menahan hawa gelisah yang membara di hati penghuninya.

Tuan Edric Elowen duduk di kursi kayu panjang, jemarinya saling meremas hingga sendi-sendi tangannya memutih. Suaranya parau saat akhirnya keluar.

“Aku tidak mengerti… kenapa putriku bisa menjadi tawanan Panglima Zevh. Bahkan sampai dibawa ke perbatasan barat dan timur…”

Di sampingnya, istrinya mendekat, menyentuh bahunya. Pada punggung tangannya berkilau samar—tanda cahaya simbol Elara yang menandakan sang putri masih selamat.

“Mungkin… identitasnya sudah diketahui. Itu sebabnya dia dikirim ke sana,” ucap istrinya lirih.

Edric tersentak, menoleh cepat. Ia segera menggenggam tangan istrinya, wajahnya memucat.

“Tidak… dia tidak boleh tahu,” sahut Edric dengan nada penuh kecemasan.

Namun sang istri menggeleng perlahan, suaranya bergetar pasrah.

“Dia tahu, suamiku. Oxair… telah terbangun. Seseorang telah membangkitkannya.”

Air matanya jatuh, mengingat kilasan sungai raksasa itu yang membanjiri ladang dan desa dalam mimpi-mimpi buruknya.

Edric memeluknya erat, berusaha menegakkan hatinya sendiri.

“Jangan bersedih. Aku yakin Elara akan menemukan jalan untuk pulang. Dia gadis pemberani… dan aku tidak akan diam jika ada dari keempat wilayah itu menyakitinya.”

Istrinya merebahkan kepala di bahunya, menutup mata menahan rasa takut. Edric melanjutkan dengan suara tegas, meski pelan.

“Kau tahu… Pangeran Veron dan Pangeran Zark mengawasi Osca, juga kediaman ini. Jangan bicara banyak dengan mereka. Keselamatan Elara ada dalam genggaman Zevh. Jika kita salah langkah… semua akan hancur.”

Istrinya mengangguk, wajahnya serius.

“Maafkan aku…” desah Edric tiba-tiba, seolah berbicara pada masa lalu. “Aku berjanji… tidak akan lagi memaksa putri kita dalam perjodohan dengan Arons.”

Kenangan itu kembali menghantam hatinya. Malam ketika Elara menolak keras, dengan tatapan penuh api.

“Menikahi Pangeran Arons sama saja menyerahkan Osca ke tangannya. Dia hanya ingin tanah kita. Aku tidak akan menjadi alat politik siapa pun, ayah.”

Kata-kata putrinya bergema di dalam benaknya, membuat dadanya sesak.

“Siapa yang membangkitkan Oxair…?” gumam Edric, lebih pada dirinya sendiri. “Aku harus bicara dengan putriku…” Jemarinya mengusap lembut punggung tangan istrinya. “Tapi bagaimana caranya aku bisa menemuinya… bahkan Heln, pelayan kita, belum kembali. Dia pasti masih dihukum di tahanan Zevh…”

Ia menutup mata sejenak, menahan perasaan yang hampir meledak.

Akhirnya ia menatap istrinya lagi dengan lembut.

“Istriku, istirahatlah. Jemarimu sudah lelah menjahit baju untuk menyambut Elara. Jika dia kembali… aku tidak mau dia melihatmu hancur oleh kelelahan. Biarlah ia melihatmu tersenyum, bukan bersedih.”

Sang istri terisak pelan, lalu mengangguk. Beberapa pelayan masuk dan dengan lembut membawanya ke kamar untuk beristirahat.

Edric tetap di ruang tengah. Ia duduk sendiri, meraih cangkir teh yang kini dingin, menyesap sedikit dengan wajah muram. Dari jendela besar ia bisa melihat halaman kediamannya: para pengawal khusus berjaga ketat, perintah langsung dari Zevh.

Mereka bagaikan bayangan gelap yang terus mengintai, memastikan keluarga Elowen tetap terkekang, meski dalam rumahnya sendiri.

Edric menaruh cangkir, menatap kosong ke arah pintu pagar. Hatinya bergetar oleh pertanyaan yang tak terjawab: Apakah Elara masih bisa kembali… sebelum Oxair benar-benar menelan dunia.

Dan diluar sana siang hari itu...

Padang rumput di perbatasan barat bergetar oleh derap kuda yang saling bersahut. Aroma tanah lembap bercampur angin dingin membawa wibawa yang menggetarkan dada setiap orang yang hadir di sana.

“Pangeran Zevh tiba!” seru pengawal terdepan, suaranya lantang bagai petir menyambar, membuat rombongan pengiring Liora refleks menundukkan kepala.

Dari arah berlawanan, Zevh Obscura muncul—tegak di atas kudanya, jubah merahnya melambai keras dihembus angin, seolah menjadi bendera peringatan bagi siapa pun yang berani menantangnya. Cahaya mata Elysight miliknya berkilau, membuat beberapa prajurit menunduk lebih dalam, menghindari tatapan yang bisa menembus sampai ke jiwa.

Liora, dari balik kereta, pelan-pelan membuka tirai. Hatinya terhenti sejenak. Suamiku… bisiknya lirih. Bayangan sosok itu mendominasi seluruh pandangan—perkasa, tak tergoyahkan, namun dingin seperti batu karang yang tak tersentuh ombak.

Ia cepat-cepat melepaskan tirai itu, kembali duduk tegak dengan anggun, seolah-olah bukan perasaan rindu atau kecewa yang mengaduk dadanya. Jemarinya meremas lipatan gaun, menyembunyikan kegelisahan yang hanya dia sendiri tahu.

Zevh turun dari kudanya. Sepatu botnya menghentak tanah berbatu, membawa aura kepemilikan yang mutlak. Langkahnya mendekati kereta, berhenti tepat di hadapan pintu, namun tak ada senyum yang singgah.

“Liora. Selamat datang di wilayah perbatasan barat,” ucapnya datar, nada suaranya lebih terdengar seperti perintah militer ketimbang sambutan seorang suami.

Hening beberapa detik, hanya bunyi kain tirai yang bergetar karena angin.

“Masuklah, suamiku,” balas Liora, lembut namun bergetar halus.

Zevh menoleh sekilas ke arah ajudannya. “Kita akan melanjutkan perjalanan. Aku ingin menunjukkan wilayah kekuasaanku.” Tanpa menunggu balasan istrinya, ia berbalik, menaiki kudanya kembali.

Para pengawal saling pandang, bingung oleh dinginnya sikap sang panglima. Namun tak ada yang berani berkomentar. Ajudan segera mengangkat suara, “Semua bersiap! Ikuti laju Pangeran!”

Kereta pun mulai berguncang, roda besinya berderit melewati kerikil-kerikil jalanan. Liora menggenggam tirai lagi, menatap punggung Zevh yang menjauh namun tetap dalam jarak pandang. Jubah merah itu berkibar, bagai api yang tak bisa ia dekati.

“Dia menolak aku… atau justru ingin menunjukkan padaku cara lain untuk memahami dirinya?” Liora menggigit bibir, kesal. Aku tidak ingin begini, Zevh. Aku ingin berjalan di sisimu, bukan tersembunyi di balik tirai. Aku ingin dunia melihat kita bersama.

Namun, tatkala ia merapatkan kembali tirai itu, sebuah senyum tipis terukir di wajahnya. “Baiklah… jika kau tidak mau mendekat, aku yang akan mendekat dengan caraku sendiri.”

Hatinya bergejolak di antara rasa sakit dan strategi. Penasaran, cemburu, dan keanggunan seorang putri mahkota bercampur jadi satu.

Liora melirik kursi kosong di sampingnya, lalu mengusapnya pelan dengan jemari halus. “Cepat atau lambat, kursi ini tidak akan kosong lagi. Aku akan memastikan kau duduk di sini, Zevh.”

Kereta terus melaju, meninggalkan padang rumput yang diguncang oleh derap kuda. Di balik tatapan dingin suaminya, Liora Endless mulai menenun rencana kecilnya sendiri—rencana yang akan membuat dirinya berjalan di samping sang panglima kejam, di hadapan seluruh mata kerajaan.

Dan di langit biru yang membentang, seekor burung gagak melintas rendah, seakan menjadi saksi bisu bahwa apa yang tersembunyi di hati keduanya bukan sekadar permainan pasangan, melainkan awal dari tarik-menarik kekuasaan yang jauh lebih dalam.

---

Dan Elara…

Ruangan tahanan kecil itu kosong, siang menjelang sore tak lagi mengurungnya. Gadis Osca itu kini berada jauh di dalam sebuah terowongan tua, tempat dindingnya dipenuhi lumut basah dan hawa pengap menusuk dada.

Obor di tangannya bergoyang, cahaya kuningnya memantulkan bayangan rapuh di dinding batu yang bergetar tiap langkahnya. Nafasnya berat, namun pikirannya masih menggaung dengan suara yang terus memburu:

“Jalur selatan, terowongan gudang gandum yang lama. Dari sana, menuju pelabuhan kecil di sungai. Arus Oxair akan membawa kita ke perbatasan Utara sebelum malam tiba.”

Itulah bisikan Jenderal Ozh—pengkhianat Zevh, tapi sekaligus jalan tipis menuju kebebasan.

“Baiklah… aku harus cepat.” Elara bergumam lirih, matanya menyipit menatap ujung lorong yang tak pernah berakhir.

Langkahnya terhuyung, kerikil tajam menusuk telapak kaki tanpa belas kasih. Darah menodai kulit pucatnya, namun ia tak berhenti. Setiap luka adalah harga kecil untuk kebebasan.

Obor di genggamannya terus menyala, api menari liar seakan menjawab doa lirihnya.

“Menyalalah… sampai aku keluar dari sini. Jangan padam sebelum aku melihat langit bebas…” suaranya bergetar, antara putus asa dan tekad.

Namun, di sela desau angin bawah tanah, samar-samar terdengar suara lain. Bisikan halus, seolah berasal dari jauh di kedalaman sungai:

“Oxair… Oxair terbangun… kau bagian darinya, Elara…”

Elara terperanjat, menoleh ke segala arah. Tak ada siapa pun selain dirinya, hanya suara arus air menetes dari celah batu. Tapi dadanya bergetar. Apakah itu gema mimpinya dulu? Atau suara nyata yang berakar dari sungai Oxair?

Obor kembali bergoyang. Nafasnya semakin cepat. Elara menggenggam erat gagang kayu, menahan rasa takut yang mulai merayap.

Langkahnya semakin tergesa. Setiap dentuman kakinya bergema panjang, seolah dunia bawah tanah itu sedang menunggu.

Di kejauhan, samar-samar terlihat cahaya remang biru—bukan cahaya obor, melainkan kilatan dari air yang mengalir.

Elara berhenti sejenak. Jantungnya berdegup keras. “Itu… sungai Oxair…” bisiknya, mata melebar.

Dan dalam sekejap, hembusan angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma air yang tak biasa—aroma purba yang seakan berbisik:

“Jika kau memilih keluar, kau memilih takdir…”

Elara menggigil. Namun ia melangkah lagi, menuju cahaya, menuju sungai, menuju sesuatu yang belum pernah ia mengerti—tapi ia tahu, sejak mimpi-mimpi itu, bahwa Oxair menunggunya.

Api obor menyala semakin liar, seolah hendak merobek kegelapan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!