Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB: Bandara dan perpisahan
Bandara pagi itu ramai. Suara pengumuman terdengar bersahut-sahutan, orang-orang lalu-lalang membawa koper, beberapa keluarga tampak melepas kepergian orang terkasih dengan senyum dan air mata bercampur menjadi satu.
Pak Arman dan Stefany berjalan berdampingan. Sopir mereka sudah kembali ke mobil setelah membantu menurunkan koper. Kini hanya ayah dan anak itu yang melangkah menuju pintu keberangkatan.
Stefany menarik napas panjang. “Ayah… rasanya jantung Stefany mau copot,” katanya lirih, berusaha tersenyum tapi gagal.
Pak Arman meliriknya sebentar. “Wajar. Ini pertama kalinya kamu pergi sejauh ini. Tapi kamu akan baik-baik saja.”
Mereka berhenti sejenak di dekat bangku ruang tunggu. Pak Arman menyuruh Stefany duduk.
“Masih ada waktu sebelum boarding. Duduklah sebentar,” ujar Pak Arman.
Stefany menurut. Ia memandangi koper-koper di sampingnya, lalu memandang wajah ayahnya yang terlihat tenang. Bagaimana Ayah bisa setenang itu? batinnya. Padahal di dalam hatinya sendiri, Stefany merasa seperti ada badai besar.
“Yah…” Stefany memulai, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk bandara. “Stefany boleh jujur?”
Pak Arman menatap putrinya. “Tentu saja.”
Stefany menunduk. “Stefany tidak ingin pergi. Stefany ingin tetap di sini. Tapi… mungkin kalau Stefany bilang begitu, Ayah akan kecewa.”
Pak Arman menghela napas panjang, lalu memegang tangan putrinya. “Nak… Ayah tidak pernah memaksamu. Ayah hanya ingin yang terbaik. Kalau kamu benar-benar tidak mau pergi, katakan sekarang. Kita bisa pulang.”
Stefany terkejut mendengar itu. “Tapi bukankah semua sudah disiapkan? Tiket, sekolah di sana, semuanya?”
“Semua itu bisa dibatalkan, Stefany. Ayah hanya ingin kamu bahagia.”
Stefany terdiam lama sekali. Matanya mulai berkaca-kaca. “Ayah… kalau saja Stefanus masih hidup, mungkin Stefany tidak akan merasa sesendiri ini. Dia pasti akan bilang kalau semua akan baik-baik saja.”
Pak Arman mengeratkan genggaman tangannya. “Ayah tahu kamu masih menyimpan luka itu. Ayah pun begitu, Stefany. Tapi hidup harus terus berjalan. Di sana, mungkin kamu akan menemukan alasan baru untuk tersenyum lagi.”
Stefany akhirnya mengangguk pelan. “Stefany akan pergi, Yah. Tapi bukan karena ingin melupakan… hanya karena mungkin benar kata Ayah. Mungkin ini cara Stefany belajar hidup tanpa dia.”
Pak Arman tersenyum tipis, tapi matanya terlihat basah. “Itu anak Ayah. Kuat, meski hatinya hancur.”
Suara pengumuman terdengar memanggil penerbangan Stefany. Waktu benar-benar sudah habis.
Mereka berdiri. Stefany memeluk ayahnya erat-erat, seolah tidak ingin melepaskannya.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak,” ucap Pak Arman pelan.
“Stefany janji akan pulang suatu hari nanti,” jawab Stefany, suaranya bergetar.
Pelukan itu berlangsung lama sebelum akhirnya Stefany melangkah menuju pintu keberangkatan. Sesekali ia menoleh, melihat ayahnya yang tetap berdiri di sana, melambaikan tangan.
Hingga akhirnya, Stefany menghilang di balik pintu.
Pak Arman masih berdiri mematung di tempat yang sama. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa rumah akan begitu sepi tanpanya.
Stefany duduk di dekat jendela pesawat. Di sebelahnya ada seorang ibu paruh baya yang tampak ramah, tapi Stefany tidak berniat banyak bicara. Ia hanya memandangi landasan pacu di luar sana. Hatinya terasa berat.
Begitu pesawat mulai bergerak, Stefany merasakan getaran di bawah kakinya. Perasaannya bercampur aduk antara takut, sedih, dan rindu. Ia ingin sekali memutar balik waktu, kembali ke rumah, duduk di meja makan bersama ayahnya seperti biasanya.
“Pertama kali naik pesawat?” tanya ibu di sebelahnya dengan senyum hangat.
Stefany tersentak sedikit, lalu mengangguk pelan. “Iya, Bu. Pertama kali… dan jauh sekali.”
Ibu itu tersenyum lagi. “Tak perlu khawatir. Setelah beberapa menit di udara, rasa takutmu akan hilang.”
Stefany memaksa tersenyum. “Terima kasih, Bu.”
Begitu pesawat lepas landas, Stefany merasakan tubuhnya sedikit terhempas ke kursi. Ia memejamkan mata erat-erat, lalu menarik napas panjang. Semua kenangan tiba-tiba berkelebat Stefanus, ayahnya, rumah mereka, bahkan jalanan kampus yang biasa ia lalui. Semuanya terasa seperti potongan film yang diputar mundur dalam kepalanya.
Setelah pesawat stabil di udara, pramugari mulai berkeliling menawarkan makanan ringan. Stefany hanya mengambil segelas jus. Ia tak punya selera makan.
Ia mengeluarkan ponselnya. Ada pesan dari ayahnya.
> “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Ayah selalu mendoakanmu.”
Stefany menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia membalas singkat:
> “Stefany janji akan baik-baik saja, Yah.”
Lalu ponselnya ia matikan.
Perjalanan panjang itu terasa seperti seribu tahun. Setiap kali menutup mata, wajah Stefanus muncul. Ia teringat hari-hari ketika Stefanus mengajaknya belajar bersama di kampus, cara Stefanus tertawa, bahkan cara pemuda itu memandangnya seolah dunia hanya milik mereka berdua. Semua itu kini hanya kenangan yang tak mungkin kembali.
“Semoga di sana ada hal baru yang membuatku bisa tersenyum lagi,” bisiknya pelan pada dirinya sendiri.
Setelah belasan jam, pesawat akhirnya mendarat di negara tujuan. Stefany melihat pemandangan kota asing dari jendela—gedung-gedung tinggi, jalanan yang berbeda, bahasa di papan-papan penunjuk yang asing baginya.
Di bandara, ia mengikuti arus penumpang menuju imigrasi. Hatinya semakin berdebar. Ia benar-benar jauh dari rumah sekarang.
Seorang staf universitas yang sudah ditugaskan untuk menjemputnya memegang papan nama bertuliskan “Stefany Arman.”
“Selamat datang. Anda pasti Stefany, ya?” tanya pria itu dengan ramah.
“Iya, saya Stefany,” jawabnya pelan.
Mereka berjalan menuju mobil yang akan membawanya ke asrama kampus. Di sepanjang perjalanan, Stefany hanya diam. Ia memandangi kota baru itu dari jendela mobil—lampu-lampu jalan, kendaraan asing, dan orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang belum terlalu ia pahami.
Hatinya kembali berbisik, Apakah ini awal dari sesuatu yang baru? Atau hanya tempat lain untuk merasa kesepian?
Mobil akhirnya berhenti di depan asrama universitas. Bangunan modern itu tampak megah, tapi bagi Stefany, semuanya terasa dingin dan asing.
Sebelum masuk, ia menatap langit malam yang bertabur bintang.
“Stefanus… kalau saja kau masih ada, mungkin semua ini tidak akan terasa sesunyi ini,” ucapnya pelan.
Lalu, dengan langkah berat, Stefany masuk ke asrama barunya. Hidup baru akan segera dimulai, meski hatinya masih tertinggal di rumah bersama ayahnya dan di kenangan tentang Stefanus.
Petugas asrama menyambutnya dengan ramah. Selamat datang di asrama mahasiswa. Namamu Stefany, ya?”
“Iya, benar,” jawab Stefany pelan, suaranya sedikit bergetar karena lelah.
Mereka memberinya kunci kamar di lantai dua. Kamarnya sederhana: ranjang kecil, meja belajar, lemari, dan jendela menghadap halaman. Stefany menaruh kopernya, lalu duduk di tepi ranjang.
Di sana, kesunyian menyergap.
Stefany mengeluarkan foto kecil dari dompetnya foto dirinya dan Stefanus.Stefanus di sampingnya, tersenyum lebar.
Air mata Stefany menetes.
“Aku di sini, Stefanus… tapi kenapa tanpa kamu?”Ia memeluk foto itu lama sekali.