NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:159
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Catatan

Di dalam rumah tua yang berdebu, hanya suara angin malam yang menemani. Dinding kayu berderit perlahan seolah bernafas.

Di tengah ruangan, Anzu berdiri memegang sebuah catatan kulit lusuh yang diberikan oleh pria tua misterius — sosok yang baru ia temui sore itu.

“Catatan itu dititipkan kepadaku oleh seseorang yang tak kukenal,” ujar sang pria tua dengan suara serak.

“Ia berpesan… ‘berikan ini pada sosok yang muncul di dalam mimpimu’. Dan kau, anak muda… adalah sosok itu.”

Anzu terdiam. Ia menatap catatan itu lama, seolah mencoba mencari alasan untuk mempercayai kata-kata aneh itu.

Namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia membuka halaman pertama perlahan.

Tulisan tangan tua menyambutnya — goresan tinta keperakan yang nyaris memancarkan cahaya sendiri.

Isinya berbicara tentang cara mengaktifkan dan mengendalikan aura, sama persis dengan yang pernah dijelaskan oleh Satan padanya.

Namun ketika Anzu membalik ke halaman kedua, matanya membesar — kaget oleh kata-kata yang ia baca.

𝘾𝘼𝙏𝘼𝙏𝘼𝙉 𝙆𝙀𝘿𝙐𝘼

Trinity Force of Existence

“Sebelum ada langit dan tanah, sebelum cahaya mengenal gelap — ada tiga napas yang melahirkan segalanya.”

— Fragmen kitab kuno “Originum Codex”

Dunia ini berdiri di atas tiga pilar kekuatan purba, dikenal sebagai Trinity Force of Existence.

Tiga energi yang menenun tubuh, jiwa, dan makna keberadaan itu sendiri: Mana, Aura, dan Essence.

Dari ketiganya lahirlah kehidupan, kehendak, dan takdir.

Konon, ketika dunia pertama kali berputar, bumi menghela napas pertamanya — dan dari napas itu, Mana tercipta.

Ia mengalir di udara, di antara dedaunan, di bawah tanah, dan di setiap kilatan petir di langit.

Para penyihir menyebutnya napas dunia, bahan mentah dari segala keajaiban. Namun setiap tarikan napas dunia menuntut harga yang sepadan.

Jika Mana adalah napas dunia, maka Aura adalah denyut jantung makhluk hidup.

Ia lahir dari jiwa, dari amarah, kasih, rasa takut, dan harapan.

Aura adalah bayangan hati — semakin kuat tekadnya, semakin gemuruh pula auranya.

Sedangkan Essence, adalah sesuatu yang lebih tua dari kehidupan.

Serpihan dari Origin Being, entitas pertama yang melahirkan realitas.

Ia tidak dapat dipelajari, hanya bisa terbangun — saat seseorang menembus batas hidup dan mati.

Mereka yang menyentuh Essence dapat menulis ulang hukum dunia… namun setiap kali Essence bangkit, dunia bergetar, seolah takut pada keberadaannya sendiri.

Ketiganya membentuk keseimbangan suci:

Mana memberi dunia napas,

Aura memberi makhluk kehendak,

Essence memberi eksistensi makna.

Namun, ketika ketiganya dipaksa bersatu, lahirlah kekuatan tanpa arah — Chaos Energy, energi murni kehancuran yang pernah menelan satu benua dalam sekejap.

Para Divine Keeper bersumpah menjaga keseimbangan itu.

Penyatuan ketiga kekuatan menjadi dosa tertinggi dalam sejarah dunia.

Namun legenda menyebut… ada satu sosok yang mampu menyeimbangkan ketiganya tanpa binasa.

“The Void Walker — Anzu.”

Sosok yang melangkah di antara hidup dan tiada,

pengembara yang membawa kehampaan,

dan satu-satunya yang bisa menatap Essence tanpa lenyap olehnya.

Anzu terpaku. Di bawah teks itu… tercantum satu nama — namanya sendiri.

Ia membeku. Matanya menatap kosong pada tulisan itu, seolah waktu berhenti.

“Mengapa… namaku ada di sini?” pikirnya.

Apakah ini kebetulan? Atau... sudah ditakdirkan sejak awal?

Tak ada jawaban. Hanya sunyi dan desir angin yang membelai halaman catatan itu.

Namun Anzu menyingkirkan kegelisahannya, menelan rasa aneh yang mengguncang dadanya. Ia membuka halaman terakhir.

𝘾𝘼𝙏𝘼𝙏𝘼𝙉 𝙆𝙀𝙏𝙄𝙂𝘼

“Kekuatan sejati bukan berasal dari tubuh, melainkan dari jiwa yang berani menatap dirinya sendiri.”

— Guru Tua Zephra, Penjaga Resonansi Pertama

Di dunia ini, setiap makhluk hidup menyimpan getaran batin yang menghubungkan jiwa dengan keberadaannya — getaran itu disebut Aura.

Aura bukan sekadar kekuatan untuk bertarung.

Ia adalah cermin diri; refleksi dari emosi, luka, dan kehendak yang membentuk jati dirimu.

Semakin murni jiwamu, semakin jernih auramu.

Namun semakin kelam hatimu, semakin beracun pula energi yang kau pancarkan.

Jenis-jenis Aura:

Aura Vital — kekuatan dasar yang memperkuat tubuh dan mempercepat pemulihan.

Aura Roh — lahir dari emosi dan kenangan; menciptakan tekanan spiritual yang dapat memengaruhi jiwa lain.

Aura Dosa — energi terlarang, lahir dari kegelapan dan penderitaan; kuat, tapi memakan jiwamu perlahan.

Meningkatkan aura bukan soal otot atau kekuatan — tapi tentang menaklukkan batin sendiri.

Banyak yang gagal bukan karena lemah… tapi karena kalah melawan dirinya sendiri.

Langkah Pertama: Mendengarkan Diri Sendiri

Duduklah dalam keheningan.

Rasakan detak jantungmu, lalu biarkan kesadaranmu tenggelam di dalamnya.

Jika dilakukan dengan benar, kau akan mendengar denyut yang bukan dari tubuhmu, melainkan dari jiwamu sendiri.

“Dengarkan bukan dengan telinga, tapi dengan jiwa. Itulah denyut pertamamu.”

Emosi adalah bahan bakar aura.

Tak perlu menyingkirkannya — tatap, rasakan, dan kendalikan.

Yang gagal akan pecah jiwanya.

Yang berhasil… akan menyalakan cahaya baru di dalam dirinya.

“Aura terkuat lahir bukan dari kekuatan, tapi dari luka yang telah kau terima tanpa lari.”

Langkah Kedua: Pembentukan Inti Jiwa

Setiap makhluk memiliki inti — Core, tempat di mana tubuh dan jiwa bertemu.

Untuk memperkuatnya, biarkan auramu mengalir melalui setiap luka dan rasa sakit.

Pertempuran, penderitaan, bahkan kehilangan… semua adalah jalan menuju penguatan inti.

“Biarkan darahmu mengalir, dan auramu menari di dalamnya.”

Ketika auramu mencapai stabilitas, ia akan terlihat oleh mata dunia.

Sebagian tampak seperti kabut, sebagian seperti api, sebagian seperti cahaya yang menari.

Merah tua → amarah, keberanian, kekuatan dominan.

Biru → ketenangan, kendali, kebijaksanaan.

Hitam → kehampaan, kehancuran, kekuatan di luar batas hidup.

Putih keemasan → keilahian, kemurnian, dan pencerahan.

“Saat auramu terlihat, berarti kau telah menatap dirimu sendiri tanpa topeng.”

Awakening — dapat merasakan arus aura dalam tubuh.

Resonator — mampu memancarkan aura, tekanan spiritual mulai terasa.

Manipulator — bisa membentuk aura menjadi serangan atau pelindung.

Ascendant — auranya mengubah lingkungan, bumi bergetar di sekitarnya.

Overlord — aura dapat menghancurkan atau menekan tanpa sentuhan.

Primordial (Sin Class) — auranya menolak hukum dunia; menciptakan realitasnya sendiri.

“Mereka yang mencapai tingkat terakhir bukan lagi manusia — mereka adalah kehendak yang berjalan.”

Aura bukan tentang menjadi kuat.

Ia tentang menjadi utuh — berdamai dengan luka, berdiri di atas penderitaan, dan berjalan sebagai dirimu sendiri.

Anzu menutup catatan itu perlahan. Napasnya berat, matanya kosong menatap lantai kayu.

Kata-kata itu… seolah berbicara langsung padanya.

Pria tua itu tersenyum tipis.

“Bagaimana, anak muda? Sekarang kau percaya pada perkataanku?”

Anzu diam sesaat, lalu menjawab dengan suara dingin namun dalam,

“Aku belum tahu apakah ini kebenaran… atau sekadar kebetulan. Tapi… aku akan mempercayaimu — untuk saat ini.”

“Hohoho… bagus, bagus.” pria tua itu tertawa pelan. “Tinggallah di sini beberapa waktu. Tempat ini tersembunyi, aman, dan tenang.

Latihlah auramu… hingga kau bisa mendengar jiwamu sendiri.”

Anzu menoleh pada Alfred.

“Bagaimana?” tanyanya datar.

Alfred mengangguk pelan. “Aku ikut keputusanmu.”

Anzu kembali menatap pria tua itu. “Kami akan tinggal di sini.”

Pria tua itu tersenyum hangat.

“Hohoho… anggap saja rumah ini milikmu sendiri, anak muda.”

Malam itu, angin berhenti bertiup.

Dan di rumah tua di tengah hutan sunyi itu —

Anzu dan Alfred memulai bab baru dalam perjalanan mereka,

melatih kekuatan jiwa yang akan menentukan nasib dunia.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!