Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Disangka Hamil
Pagi itu terasa berbeda. Bu Aina terlihat lebih pendiam, tidak lagi cerewet dan mengomeli Raisha sejak menyiapkan sarapan. Raisha juga agak heran. Sebenarnya hal ini dia rasakan sejak sampai rumah dan makan tadi malam. Tetapi sekarang lebih terasa, gak ada teriakan itu lagi.
"Alhamdulillah, mungkin ibu sudah berubah lebih baik." Batinnya. Dia tersenyum dan bersyukur atas perubahan tersebut.
Rezky yang berkali-kali memuji nasi goreng udang buatan istrinya tak dihiraukannya. Dia tetap menikmati sarapannya dalam diam.
"Persiapan pernikahan Rizal sudah sampai mana, Bu?" Raisha membuka percakapan sambil mengoleskan selai strawberry pada roti tawar tanpa kulit kesukaannya.
"Ya sudah hampir rampung, tinggal berangkat aja."
"Alhamdulillah."
"Oya Mas, hari ini baju seragaman keluarga kita beres, nanti Icha ambil ke vendor. Biar kalau ada yang gak sreg bisa langsung diperbaiki. Sebenarnya dia nawarin untuk antar ke sini, tapi ya mending ke sana aja deh. Sekalian ada barang endorse yang salah kirim warna."
"Ok, mau jam berapa ke sananya?"
"Paling abis dzuhur aja. Nanti pulangnya jemput aja ya. Soalnya Icha agak lama, mereka nawarin pemotretan sekalian di sana."
"Ok, gak masalah."
"Masya Allah, ada yang lagi hamil ternyata. Mbak Icha, selamat ya, bibi ikut senang, akhirnya yang dinanti-nanti kan hadir juga dalam kehidupan pernikahan Mbak Icha dan Mas Rezky." Tetiba Bi Murni datang tergopoh-gopoh menghampiri Bu Aina dan keluarga yang lagi sarapan. Wajahnya sumringah, tanda ikut bahagia.
"Hah? Hamil? Icha gak lagi hamil Bi. Ini malah lagi haid." Raisha menatap Bi Murni bingung.
"Kamu ngomong apa sih Bi? Icha itu mandul, mana mungkin hamil?" Terdengar jawaban Bu Aina yang sangat menusuk hati Raisha.
"Ibu kok ngomongnyw gitu?" Rezky menatap ibunya tak suka.
"Ya apalagi kalau bukan mandul?" Bu Aina melanjutkan sarapannya. Raisha hanya bisa mengelus dada mendengar perkataan mertuanya tersebut.
"Bentar Bi, kok bisa Bibi menyimpulkan kalau Icha hamil?" Raisha menatap Bi Murni.
"Bibi menemukan tespek di keranjang sampah yang ada di kamar mandi ruang tamu. Saya kira itu punya Mbak Icha." Bi Murni menunduk.
"Icha sudah lama gak tes kehamilan, Bi. Jangan-jangan itu punya Bibi?"
"Ih mana ada orang setua bibi tes kehamilan."
"Jadi punya siapa dong? Kan sudah lama gak ada tamu ke rumah ini, kecuali Nadia." Raisha berkata pelan.
"Kamu menyangka calon istri Rizal yang hamil?" Bu Aina menatap Raisha gak suka.
"Emang Icha bilang gitu Bu? Icha kan hanya bilang sudah lama gak ada tamu ke rumah ini, kecuali Nadia."
"Tapi secara tidak langsung kamu sudah menuduhnya." Bu Aina berteriak. Bi Murni langsung pergi karena takut.
"Kalau memang tidak, kenapa ibu mesti marah? Kalaupun benar Icha menuduh, Icha punya alasan. Waktu hari Sabtu saya lewat toilet karena Nadia muntah-muntah, Icha mendengar Rizal bilang gini: "Sayang, jangan-jangan kamu hamil? Dan apa jawaban Nadia? Dia bilang gini: 'iya Sayang, saya sudah telat haid juga." Icha sampai merinding mendengarnya." Raisha berkata tegas, dia tak takut amarah mertuanya akan memuncak. Dia sudah sebal diteriaki.
Demi mendengar perkataan Raisha, Bu Aina terdiam. Tapi beberapa detik Kemudian dia ngomong lagi.
"Ngomong begitu, bukan berarti memang Nadia lagi hamil. Tapi kalaupun iya, ibu bersyukur mau nambah cucu, soalnya nungguin kamu, sampai lebaran monyet pun gak mungkin terwujud."
"Bu, jaga perkataannya." Rezky mengingatkan.
"Kenyataannya seperti itu, mau apa lagi?"
"Ibu itu mendahului Tuhan ya. Icha belum hamil karena memang belum dipercaya. Gak ada yang tahu apa yang akan menimpa kita semenit ke depan. Apalagi sampai beberapa tahun ke depan. Kalau Allah berkehendak bulan depan Icha hamil, bisa terjadi itu."
"Alah, buktinya kan apa? Sudah dua tahun lho pernikahan kalian. Kan sekarang belum terlihat tanda-tanda hamil. O ya, saya sudah ultimatum Rezky, kalau dalam 6 bulan kami belum hamil juga, kalian bercerailah. Atau kalau kamu bersedia dimadu, Rezky bisa cari istri lagi.*
"Apa? Apa semua itu benar, Mas?" Raisha menatap suaminya.
"Tapi aku gak bersedia, Cha. Aku tetap akan mempertahankan kamu jadi istriku."
"Kenapa Mas gak bicara tentang hal ini padaku?"
"Tepatnya belum, karena ibu baru bilang kamarin, dan aku belum mengiyakan."
*****
Lampu-lampu neon ungu dan biru berpendar di sepanjang dinding club malam itu, memantulkan kilau pada lantai kayu yang sedikit lengket oleh jejak malam panjang. Musik elektronik berdentum lembut—tidak terlalu keras karena ini awal malam—cukup untuk membuat pengunjung mengangguk pelan mengikuti irama. Di balik bar, aroma citrus dari potongan lemon bercampur dengan wangi alkohol dan mint segar.
Roy berdiri di sana, mengenakan apron hitam dan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya disinari pantulan lampu-lampu neon sehingga garis rahangnya terlihat makin tegas. Tangan Roy cekatan meracik minuman, mengguncang shaker sambil sesekali menoleh memberi senyum ramah kepada pelanggan.
Dan di bangku bar bagian kiri—seperti biasa—Allysa duduk dengan mantel musim semi tipis yang masih melekat di tubuhnya. Udara malam di luar dingin, tapi pipinya memerah bukan karena cuaca, melainkan karena laki-laki di depannya.
"Roy,” panggil Allysa pelan.
Roy menoleh dan tersenyum lebar, senyum yang selalu membuat dada Allysa menghangat sekaligus sakit. “Hey, Sa! Lu datang juga. Gue harus cerita sesuatu!”
Allysa mengangguk kecil. “Hmm? Cerita apa?”
Roy meletakkan shaker, tubuhnya condong sedikit lebih dekat. Matanya berbinar-binar, membuat jantung Allysa serasa diremas. Biasanya Roy begitu tenang, tapi malam ini dia tampak bahagia dan semangat. Seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang.
"Bulan depan gue balik ke Indonesia. Gue sudah dapat kerjaan yang menjanjikan.” Roy tersenyum semakin lebar.
Hati Allysa serasa runtuh seketika, tapi wajahnya tetap tampak manis. Dia sudah ahli menyembunyikan luka kecil seperti itu.
"Oh… begitu. Itu demi Nadia kan?” Suaranya berusaha tetap ringan.
"Siapa lagi?" Roy tak menyadari perubahan ekspresi Allysa. Dia terlalu tenggelam dalam ceritanya, terlalu bahagia dengan kerjaan yang dia dapat di negeri sendiri.
"Lu sudah bilang ke Nadia?"
"Nggak lah, gue mau buat kejutan, Sa. Lagian kan nomorku diblokir, Sa."
"Terus lu mau mengejar Nadia, sementara Nadia sendiri menolak lu? Memblokir lu berarti dia memang sudah melupakan lu, Roy."
"Astaga, Sa. Dia begitu, menghindari gue, karena dia mau tunangan sama Si Rizal. Dia takut juga kalau ketahuan Si Rizal gue suka happy-happy sama dia. Ah lu kayak gak tahu dia aja."
Allysa tersenyum, padahal jemarinya meremas ujung mantelnya di bawah meja bar agar tidak gemetar. "Lu terlihat bahagia banget, Roy.”
"Tentu, impian gue menikahi Nadia tinggal selangkah lagi."
"Seyakin itu Roy?"
"Iya lah, karena gue yakin kalau gue samperin, Nadia akan lebih memilih gue daripada Si Rizal itu."
Allysa menunduk sebentar, menenangkan napasnya. Musik club masih berdentum, lampu-lampu masih menari di sepanjang ruangan, tapi baginya malam terasa lebih sunyi.