Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DINGIN DI UJUNG MALAM
Dua hari sudah berlalu sejak pertengkaran itu.
Dan selama dua hari pula, rumah dinas mereka seperti kuburan dengan listrik hidup.
Sera tetap berangkat kerja, tetap posting endorse, tetap senyum di depan kamera—tapi matanya kayak kaca yang nggak sempat dibersihkan.
Setiap kali pulang, yang dia temukan cuma piring kosong, kursi kosong, dan suara kulkas yang berdengung seperti ejekan.
“Lucu ya,” batinnya. “Katanya pria pendiam itu romantis dalam diam. Tapi yang satu ini, diamnya bisa bikin orang gila.”
Dia duduk di ruang tamu, melamun sambil menggulir ponsel.
Notifikasi dari Bian muncul bertubi-tubi.
Bian:
"Cintaku, aku udah masak ini. Apa mau aku kirim ke rumah ? Tapi rasanya gak aku jamin sih, kayaknya lebih mirip penyesalan daripada makanan.
Sera mengetik balasan pelan.
"Bian, kamu tuh masak pake hati apa pakai trauma ?"
Sera mengetik balasan pelan.
"Dua-duanya. Soalnya yang ku masak kan cinta yang gagal tumbuh 😭
Sera geleng-geleng, senyum kecil terbit juga di wajahnya.
"Dasar anak norak," gumamnya.
Tapi di balik senyum itu, dadanya terasa sesak.
Karena sejak dua malam lalu, Kalle tak bicara sepatah kata pun.
Dia cuma berangkat pagi, pulang malam, bahkan makan malam pun terpisah—Sera di meja dapur, Kalle di ruang kerja.
**********************************
Kalle duduk di ruang dokter di rumah sakit, mata fokus ke berkas pasien, tapi pikirannya ke rumah.
Satu-satunya suara yang menemaninya hanyalah klik pena dan detak jam di dinding.
Sosok pria dengan jas putihnya masuk.
“Dok, katanya bulan depan bakal datang dokter baru dari Jakarta bantu program Sukabumi, ya?”
Kalle menoleh sedikit.
"Iya, saya dengar juga begitu.”
“Namanya... apa ya? Alina, kalau nggak salah?”
Seketika tangannya berhenti menulis.
Senyum tipis muncul sekilas, tapi cepat padam.
“Oh,” jawabnya pendek.
Sisa kalimatnya tertelan di tenggorokan.
Nama itu seperti lembar lama yang tiba-tiba diselipkan lagi ke novel hidupnya—padahal dia sudah menutup babnya rapat-rapat.
Dia membuka ponsel, menulis di catatan kecilnya:
"Aku cuma pingin kamu tenang, bukan merasa kalah."
Tapi catatan itu tidak dikirim ke siapa pun.
Mungkin hanya untuk dirinya sendiri—atau untuk seseorang yang sudah terlalu jauh tapi masih di hati.
Sore menjelang.
Bian tiba-tiba muncul di rumah, masih pakai kaus polos dan celana training, bawa kantong plastik isi makanan.
Dia sempat melongo melihat Kalle yang duduk di meja makan.
“Waduh, kirain gak ada bapak Dokter. jarang-jarang aku lihat dokter satu ini udah di rumah” seloroh Bian."Assalamualaikum, pak Dokter."
Kalle cuma menatap datar.
“Kirain gak bakalan datang Lo, Bi. Jakarta - Sukabumi bawa makanan apaan ? Itu, makananmu aman dikonsumsi manusia, Bi?”
"Kalau Mbak Sera yang makan, bisa langsung sembuh dari bete, dok. Tapi kalau dokter yang makan, mungkin malah butuh cuci darah.”
Kalle diam. Tapi matanya tak lepas menatap Bian yang sibuk menata makanan bersama Sera.
"Ini ibu ratu yang titip makanan ke gue." ucapnya.
Bian tertawa sendiri, duduk di kursi sambil nyengir.
"Kamu tahu nggak, dok? Di dunia fashion, diem itu nggak seksi. Di pernikahan juga enggak, lho.”
Kalle akhirnya menatapnya, senyum samar muncul.
"Terima kasih atas konsultasi yang tidak diminta.”
“Sama-sama,” jawab Bian cepat, “tapi serius, Sera tuh bukan marah. Dia cuma nunggu kamu buka pintu duluan. Soalnya kalau dua-duanya gengsi, rumah ini bisa jadi museum.”
Kalle menatap meja makan lama-lama. Lalu sekilas beralih pada Sera yang pura-pura terlihat sibuk.
"Kadang luka itu nggak dari kata-kata, dok. Tapi dari yang nggak pernah diucapin.”
Bian berdiri, berdehem pelan.
“Sudah ah, aku makan dulu, lapar. Takut kebanyakan nasihat, nanti dikira aku motivator gagal.”
Lalu pergi sambil ngibrit ke pintu.
Kalle hanya tersenyum tipis, tapi sorot matanya pelan-pelan melembut.
"Bukan aku yang ngajarin dia ya, kamu jangan salah paham." Sera mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
********************************
Langit Sukabumi mendung.
Hujan turun perlahan, kayak nahan-nahan perasaan yang nggak jadi jatuh dari tadi.
Sera berdiri di jendela kamarnya, pakai cardigan tebal, matanya nyalang ke arah luar.
Rumah itu hening. Dari atas, dia bisa lihat lampu ruang tamu masih menyala. Kalle duduk sendirian, kepalanya tertunduk, seolah mikir sesuatu yang nggak akan selesai malam ini.
Sera menarik napas pelan, lalu menggumam pelan,
"Kita ini pasangan yang aneh, ya…”
Dia melangkah ke meja rias. Di sana masih ada bingkisan kecil dari brand parfum ternama yang baru dikirim.
Satu botol parfum, dengan kartu bertuliskan tangan Madison:
"We're preparing Milan 2026. Your name's on the list, Seraphina Luna."
Ia menatap tulisan itu lama.
Hatinya berdebar pelan, tapi bukan karena bahagia—karena ia sadar, semua pencapaian itu kosong kalau tidak ada seseorang untuk dirayakan bersama.
Sementara di bawah, Kalle memutar cangkir di tangannya.
Kopi sudah dingin, tapi dia belum minum setetes pun.
Matanya melirik ke arah tangga, berharap ada langkah kaki yang turun.
Tapi yang terdengar cuma suara hujan menabrak atap.
Dia membuka catatan di ponselnya — tulisan yang sama dari tadi:
"Aku cuma pingin kamu tenang bukan merasa kalah."
Kalle mengetik tambahan pelan:
"Tapi kalau diamku bikin kamu sedih, mungkin aku yang kalah."
Jari-jarinya berhenti. Ia menatap layar lama-lama, lalu menghapus semuanya.
Satu kalimat tersisa:
"Aku minta maaf."
Tapi seperti sebelumnya — pesan itu tidak dikirim.
Pukul sepuluh malam.
Sera akhirnya turun pelan-pelan, niatnya cuma buat ambil air.
Tapi langkahnya berhenti di ujung tangga.
Kalle masih di sana, tertidur di sofa dengan posisi setengah duduk, kacamata masih tergantung di hidung, berkas pasien berantakan di meja.
Wajahnya tenang—anehnya, justru bikin hati Sera berantakan.
Dia mendekat perlahan.
Menatap lelaki itu lama-lama, sampai jemarinya tanpa sadar mengusap ujung rambut Kalle yang menutupi dahinya.
xKenapa sih kamu nggak pernah marah balik, Kalle…” bisiknya lirih.
“Aku capek ngelawan orang yang nggak mau berantem.”
Kalle bergumam pelan, setengah sadar:
"Karena aku nggak pengin kamu ngerasa sendirian…”
Sera refleks menarik tangannya cepat-cepat.
Hatinya berdebar, wajahnya panas.
Dia melangkah mundur, tapi matanya tetap menatap Kalle yang tertidur itu—diam, tapi untuk pertama kalinya malam itu, Sera merasa bukan sendirian.
Kamera imajiner menyorot lampu ruang tamu yang perlahan padam.
Hujan masih turun, tapi kali ini, bukan hujan yang terdengar—melainkan napas dua orang yang masih mencoba menemukan cara untuk bicara.
“Kadang, cinta nggak butuh kata-kata. Tapi tetap butuh seseorang yang berani membuka percakapan pertama.”
*********************************
Dua pria berjalan pelan di lorong rumah sakit. Satu pria muda berjalan lebih dulu sementara pria paruh baya di belakangnya mengekor.
"Sudah kamu pastikan aman ?"
"Aman pak, hanya ada anggota keluarganya saja yang mengawasi."
Langkah kaki mereka terhenti di salah satu pintu kamar. Tepat di mana ada dua orang sedang memandang ke arah jendela kamar pasien. Salah satu dari mereka menoleh menatap cukup lama pada kedatangan dua orang asing.
"Selamat sore, Pak. Saya restu rekan sejawat Della. Dan ini kepala rumah sakit tempat di mana Della bekerja."
Pria paruh baya yang ada di belakang Restu pun kini maju mendekat. Senyum tipisnya terukir
"Selamat malam, Saya Adipati."