Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 — Mimpi Laut Tanpa Dasar
Wuyan terbangun di tengah malam, tubuhnya basah oleh keringat, napasnya tersengal. Hujan kemarin masih terasa menempel di kulitnya, tapi ia sadar — ini bukan lagi Gunung Jingluo. Segera, dunia sekitarnya berubah, menyerapnya ke dalam ruang yang tidak nyata: laut perak yang tak berdasar, luas dan hening, seolah waktu dan gravitasi tidak berlaku. Air yang ia pijak tak memberikan rasa padat, setiap langkah membuat tubuhnya seperti melayang, tenggelam perlahan tapi tetap bergerak.
Kabut tipis menyelimuti laut, berputar seperti arus jiwa yang tidak terlihat. Dari kedalaman, wajah muncul satu per satu, ribuan wajah menatapnya tanpa kata. Ada wajah yang familiar, wajah asing, wajah yang penuh kesedihan, amarah, atau ketakutan. Wuyan tersentak, napasnya tercekat. Ia ingin menutup mata, tapi rasa ingin tahu lebih kuat daripada rasa takut.
Di tengah kekacauan dreamscape itu, ia melihat bayangan yang selalu menemaninya. Tidak bergerak terlalu dekat, hanya diam di tepi penglihatannya. Tatapannya tenang, mengamati, seolah menunggu Wuyan untuk menyadari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
“Di sini… semua bagian dirimu berkumpul,” bisik bayangan dalam batin Wuyan. “Semua yang kau sembunyikan, semua yang kau takutkan. Ini adalah Laut Tanpa Dasar.”
Wuyan menggeleng, mencoba memahami. Po-nya bergetar liar, Hun-nya menahan agar kesadarannya tidak tercerabut. Ia merasakan tekanan yang luar biasa — bukan hanya dari ketidakpastian ruang ini, tetapi dari ribuan wajah yang menatapnya. Setiap tatapan seolah menembus jiwanya, membuka luka lama dan baru.
Ia melangkah perlahan, mencoba menyeimbangkan aliran energi jiwa. Hun–Po Refinement yang ia kuasai masih bekerja, tetapi di sini, fragmentasi jiwa terasa tak terkendali. Po-nya ingin menyatu dengan semua wajah yang ia lihat, sementara Hun-nya berusaha menjaga batas antara dirinya dan dunia ini. Setiap kali ia menatap satu wajah, energi itu menyeretnya ke dalam perasaan yang intens: kesedihan, rasa bersalah, takut kehilangan kendali.
Tiba-tiba, di antara ribuan wajah, ia melihat satu yang familiar. Liang Yu. Wajah temannya muncul dari permukaan laut perak, mata yang dulu penuh semangat kini menatapnya dengan intens, seolah bisa menembus jiwanya. Wuyan terhenti, jantungnya berdetak lebih kencang.
“Liang Yu…” suaranya nyaris tak terdengar. Tapi bayangan itu tetap diam, hanya menunggu Wuyan untuk menghadapi kenyataan.
Wajah Liang Yu mendekat perlahan, senyum lembut tapi penuh misteri menghiasi wajahnya. Setiap detik yang Wuyan habiskan menatapnya terasa seperti tarikan pada kesadaran yang lebih dalam, menguji batasan Hun–Po-nya. Ia merasakan Po-nya tertarik pada jiwa Liang Yu, seolah sebagian dari dirinya ingin menyatu, sementara Hun-nya menahan, takut kehilangan identitasnya sendiri.
Ribuan wajah lain masih menatapnya. Wuyan merasakan gelombang emosi yang saling bertabrakan: duka karena kehilangan, rasa bersalah karena tidak bisa menolong, dan rasa takut fragmentasi jiwanya akan semakin parah. Ia berlutut di laut perak itu, airnya tidak menyentuh tubuhnya, tapi ia merasakan setiap energi yang mengalir ke dalamnya.
Bayangan itu mencondongkan kepala, menatap dengan tenang. “Setiap jiwa yang kau temui di sini adalah cerminan dari Hun dan Po-mu. Kau harus memilih: menyatu atau menolak. Tapi ingat, menolak berarti menahan fragmentasi, dan menyatu berarti… menerima bagian dari mereka dalam dirimu.”
Wuyan menutup mata, mencoba menenangkan diri. Ia menghirup energi mimpi itu, merasakan aliran Po yang menembus Hun-nya. Fragmen jiwa Liang Yu terasa berat, tapi hangat. Ia sadar, ini bukan sekadar mimpi atau ilusi. Ini adalah percobaan untuk memahami keterikatan, kehilangan, dan fragmentasi.
Di depan matanya, permukaan laut beriak, dan wajah Liang Yu menatapnya lebih dekat, senyum itu kini jelas berbicara tanpa kata: “Kau sekarang adalah aku juga.”
Wuyan terhentak, napasnya tersengal. Ia ingin menarik diri, tetapi tubuhnya tidak sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Po-nya ingin mendekat, Hun-nya ingin menahan. Sensasi itu luar biasa, membuatnya merasakan kehadiran temannya seakan masuk ke dalam jiwanya.
Ia menunduk, menatap air perak, dan ribuan wajah lainnya mulai berubah, sebagian menghilang, sebagian menyatu dengan bayangan Liang Yu. Rasa kehilangan yang ia rasakan tidak lagi hanya tentang kematian teman, tetapi tentang konsekuensi dari aliran energi jiwa yang tak terkendali, tentang fragmentasi yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Bayangan itu tetap di sisinya, tidak berbicara, hanya menjadi saksi. Wuyan menyadari satu hal: setiap mimpi, setiap wajah, setiap energi yang ia rasakan adalah bagian dari pelajaran Hun–Po yang lebih dalam, yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia harus menghadapi semua itu sendirian, meski bayangan itu selalu ada sebagai pengamat tersembunyi.
Wuyan menunduk, menatap air perak yang beriak lembut. Wajah Liang Yu semakin jelas, setiap gerakan bibirnya seakan menyalurkan pesan yang tidak bisa diucapkan. Suasana di Laut Tanpa Dasar semakin intens. Kabut di sekelilingnya menebal, membungkusnya seperti selubung ketidakpastian, sementara ribuan wajah lain di permukaan laut perlahan menyusut menjadi bayangan samar.
Ia merasakan tarikan Po yang semakin kuat. Jiwa naluriah itu ingin menyatu, ingin merasakan kembali kehangatan yang hilang bersama kematian Liang Yu. Hun-nya menahan, menegaskan batas antara identitasnya sendiri dan keberadaan teman yang kini tinggal sebagai fragmen energi. Gelombang internal itu membuat Wuyan terhuyung, hampir jatuh ke permukaan laut yang tak berbatas.
Bayangan yang selama ini menjadi pengamat di sisinya mencondongkan tubuh, tatapannya tetap tenang, namun aura misteriusnya semakin terasa. Seolah memberi petunjuk: “Kau tidak sendiri, tetapi kau harus menghadapi ini dengan dirimu sendiri.”
Wuyan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menutup mata, menyadari bahwa Laut Tanpa Dasar bukan sekadar mimpi atau ilusi, tetapi refleksi dari fragmentasi jiwanya sendiri. Hun–Po yang ia pelajari selama ini sekarang diuji: apakah ia mampu mengendalikan Po yang liar dan tetap mempertahankan Hun sebagai jangkar kesadaran?
Wajah Liang Yu mendekat, senyumnya tetap lembut namun penuh intensitas. “Kau sekarang adalah aku juga,” bisik bayangan itu di dalam kesadaran Wuyan. Kali ini, kata-kata itu tidak hanya membingungkan, tetapi juga menantang batas identitasnya. Wuyan menunduk, merasakan percampuran energi antara dirinya dan temannya. Setiap detik, Po-nya bergetar liar, Hun-nya menahan agar kesadarannya tidak tercerabut.
Ia mencoba mengatur napas, merasakan aliran energi jiwa yang tertarik pada fragmen Liang Yu. Sebagian kecil dari dirinya ingin menolak, ingin menarik diri dari percampuran itu. Tapi suara bayangan di sisinya menenangkan: “Fragmentasi bukan akhir. Ini awal dari pemahaman, dari kekuatan yang lebih besar.”
Wuyan perlahan mengangkat kepala, menatap laut perak di hadapannya. Ribuan wajah yang semula menatap tajam kini mulai menyatu menjadi satu formasi yang lebih tenang. Hanya Liang Yu yang tetap hadir sebagai titik fokus, senyumnya menenangkan meski tetap membawa rasa kehilangan. Wuyan merasakan campuran duka dan hangat yang sulit dijelaskan, seolah dirinya kini membawa bagian jiwa temannya.
Ia memejamkan mata, mencoba merasakan aliran energi dengan lebih dalam. Hun dan Po bekerja bersamaan, saling menyeimbangkan. Ia merasakan Po-nya mulai menenangkan, aliran energi dari fragmentasi mulai membaur dengan kesadarannya sendiri. Sensasi ini aneh: kesadaran diri bertambah, tetapi sebagian dari dirinya kini terhubung dengan keberadaan lain, keberadaan yang hilang namun tetap hidup di dalam fragmentasi.
“Jangan takut,” bisik bayangan di sisinya. “Fragmentasi hanyalah cermin. Kau melihat semua kemungkinan, semua wajah, semua perasaan. Dan dari sini, kau bisa memilih.”
Wuyan mengangguk perlahan, merasakan ketegangan batin berkurang sedikit demi sedikit. Ia mulai memahami bahwa Laut Tanpa Dasar adalah ujian, bukan hukuman. Setiap fragmen yang muncul, setiap wajah yang menatapnya, adalah bagian dari proses memahami hubungan antara Hun dan Po, antara dirinya dan mereka yang hilang.
Di tengah laut perak itu, Liang Yu tersenyum dan perlahan menghilang dalam cahaya lembut, meninggalkan jejak energi yang hangat. Wuyan berdiri, merasakan energi itu masih menyatu dalam jiwanya. Bayangan di sisinya mencondongkan kepala, senyum samar muncul, seolah mengatakan bahwa ujian belum selesai, tetapi pelajaran sudah dimulai.
Wuyan memandang permukaan laut yang kini tenang. Ribuan wajah lain masih ada, tetapi tidak lagi menatap dengan intens. Sebaliknya, mereka menjadi bayangan samar, mengingatkannya akan fragmen yang bisa ia pelajari dan pahami. Ia sadar bahwa dirinya kini berbeda: Po-nya lebih terkendali, Hun-nya lebih tegas, dan jiwanya mulai menerima fragmentasi sebagai bagian dari pertumbuhan.
Angin halus muncul dari arah laut perak, membawa suara bisikan samar: kenangan, rasa bersalah, kehilangan, dan kedamaian. Wuyan menarik napas panjang, membiarkan energi itu menyelimuti dirinya, menyadari bahwa ini adalah bagian dari proses Hun–Po Refinement yang paling sulit: menghadapi sisi gelap diri, menghadapi fragmentasi, dan menemukan keseimbangan.
Mata Wuyan terbuka, dan ia melihat bayangan dirinya tersenyum. Kali ini, bukan senyum aneh yang mengganggu, tetapi senyum pengakuan, senyum yang mengakui bahwa Wuyan telah melewati tahap pertama memahami Laut Tanpa Dasar. Sebuah ketegangan halus tetap ada, tetapi kini ia tahu jalannya: menerima fragmen, memahami jiwa, dan belajar menyeimbangkan Hun dan Po.
Dalam keheningan yang hampir abadi itu, suara terakhir terdengar dalam batinnya, nyaris seperti gema:
“Kau sekarang adalah aku juga.”
Wuyan menunduk, menatap ke permukaan laut yang perlahan menipis, kabut menghilang, dan dreamscape mulai memudar. Ia merasakan tubuhnya kembali ke Gunung Jingluo, udara malam yang dingin menyelimuti kulitnya, hujan yang baru reda masih menetes di pepohonan. Sensasi Laut Tanpa Dasar tetap ada, bergaung lembut di dalam jiwanya.
Ia berdiri di batu tempatnya tertidur, napas masih tersengal, tubuh gemetar karena intensitas pengalaman. Bayangan di sisinya tetap hadir, menatapnya tanpa kata. Chemistry antara mereka semakin terasa: bukan lagi sekadar pengamat, tetapi saksi dari pertumbuhan dan fragmentasi yang baru saja dialami.
Wuyan menutup mata, menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan kedamaian yang aneh. Laut Tanpa Dasar tidak lagi menakutkan; ia adalah bagian dari dirinya, misteri yang harus ia pelajari dan pahami.
Malam itu, ia kembali ke ruang meditasi, duduk di batu datar, memusatkan energi jiwa dengan perasaan berbeda. Hun–Po Refinement kini terasa lebih dalam, lebih kompleks, namun lebih nyata. Ia menyadari bahwa perjalanan baru saja dimulai: menghadapi sisi gelap diri, fragmentasi jiwa, dan misteri bayangan yang selalu menemaninya.
Dengan satu tarikan napas terakhir, Wuyan menatap bulan yang samar di balik kabut, dan bayangan di sisinya tersenyum samar. Ia tahu, ini adalah awal dari tahap baru, tahap di mana dirinya dan bayangannya kini terikat lebih dalam, dengan misteri dan ketegangan yang baru saja dimulai.
Dan di dalam kesadaran Wuyan, gema terakhir terdengar lembut:
“Kau sekarang adalah aku juga.”