Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Siang hari di mansion Dragunov membawa keheningan yang tidak biasa. Para pelayan berjalan hati-hati, seolah seluruh bangunan sedang menahan napas. Penyebabnya jelas: Nenek Dragunov sedang turun tangan. Begitu tahu bahwa Apollo dan Lyora akhirnya pulang bersama semalam , meskipun pulang dengan atmosfer beku, wanita tua itu langsung menggerakkan rencananya.
Lyora baru saja selesai meletakkan gelas di dapur, masih agak gemetar setelah pagi tadi dibentak Apollo karena menumpahkan jus ke jasnya, bahkan tanpa sengaja. Sorot dingin pria itu menghantam lebih keras daripada suara bentakannya.
Saat Lyora membalikkan badan, Elira Dragunov sudah berdiri di ambang pintu dapur, tangan bertumpu pada tongkat kayu merah yang selalu dibawanya. “Kamu ikut aku,” katanya tanpa basa-basi.
Lyora kaget. “Nenek? Ada apa?”
“Gaun pertunanganmu. Kita mulai hari ini.”
Lyora membeku. Kata pertunangan menggema keras di kepalanya, kata yang Apollo sendiri belum pernah ucapkan di hadapannya, tidak dengan cara baik, dan tidak dengan kerelaan. Sesuatu di dada Lyora bergeser, antara takut, tidak siap, dan malu. “Nenek… Apollo belum—”
“Dia sudah diberi tahu,” potong Nenek Dragunov tajam. “Kalau dia tidak datang dari awal, dia bisa menyusul. Aku tidak perlu persetujuannya untuk memilih gaun calon istrinya.”
Eliot dan Johan sudah menunggu di lorong, mengenakan pakaian rapi seperti sedang mengawal seorang VIP. Eliot tersenyum tipis pada Lyora, senyum simpati yang justru membuat perempuan itu semakin gugup.
“Mobil sudah siap, Nona Lyora,” ucap Eliot lembut.
Lyora melirik naik ke arah tangga besar. Apollo tidak muncul. Tidak akan muncul. Pagi tadi cukup membuktikan: apa pun yang terjadi dalam hubungan mereka, atau apa pun bentuk hubungan itu, Apollo sedang menciptakan jarak mati-matian.
Dan Lyora tidak tahu apakah ia harus terluka atau menerima saja.Elira mengetuk lantai dengan tongkatnya. “Jangan berdiri di sana seperti patung. Ayo.”
Lyora akhirnya melangkah ke luar bersama Eliot dan Johan, masuk ke mobil hitam panjang dengan kaca gelap. Supir menutup pintu, dan dunia luar teredam. Mobil bergerak perlahan meninggalkan mansion.Di dalam mobil, Johan menatap Lyora dari kaca depan. “Jangan terlalu tegang, Nona. Ini hanya fitting gaun.”
Lyora menggenggam jemarinya yang dingin. “Kalau Apollo tidak suka?”
Eliot menahan napas sejenak lalu menjawab jujur, “Bukan soal suka. Masalahnya, Tuan Apollo tidak mau mengakui apa pun. Bahkan pada dirinya sendiri.”
Lyora menatap jendelanya, melihat bayangan dirinya memudar di pantulan. “Dan aku harus pura-pura tidak merasakan apa pun terhadap itu?”
Tidak ada yang menjawab. Hanya mesin mobil yang terdengar mengisi keheningan.
Saat mereka hendak memasuki distrik butik mewah di pusat kota, ponsel Eliot bergetar. Ia mengangkat, suaranya profesional.
“…Baik, Tuan Apollo. Kami sudah hampir tiba di butik.”
Lyora menoleh cepat.Eliot mengangguk ke ponsel, mendengarkan sebentar, lalu menutup telepon dengan wajah yang tidak bisa dibaca.Eliot menarik napas. “Tuan Apollo… berkata akan menyusul.”
Hanya itu. Tanpa penjelasan. Tanpa kepastian apakah ia benar-benar akan datang. Tapi meskipun sederhana, kata-kata itu menampar sekaligus melegakan,karena Apollo Dragunov, sekeras apa pun ia menghindar, tetap datang pada hal-hal yang tidak bisa ia tinggalkan.
Mobil berhenti tepat di depan butik terbesar di distrik itu. Pintu terbuka. Udara dingin menyambut. Lyora menarik napas panjang.
Jika tadi pagi ia tidak sengaja menumpahkan jus ke jas Apollo, kini rasanya dunia bersiap menumpahkan seluruh kekacauan ke hidup nya.Dan semua itu baru akan dimulai di balik pintu butik yang sedang menunggu di depan.
*****
Di sebuah Butik yang sunyi seperti katedral kaca. Lampu-lampu putih lembut memantul di permukaan etalase, membingkai deretan gaun pesta seakan mereka adalah artefak suci dari masa yang tak ingin diingat kembali.
Lyora berdiri di depan salah satu etalase. Diam. Bekunya tidak biasa. Pandangannya terpaku pada satu gaun, gaun biru satin dengan renda permata safir, menggantung anggun seolah sedang menunggu pemilik yang terluka. Gaun itu… cantik.
Tapi ada sesuatu yang menghantam dadanya begitu melihatnya lebih dekat.
Di bagian ujung lengan yang menjuntai, garis permak halus tampak berusaha menutupi sejarah yang tidak pernah sepenuhnya bisa disembunyikan. Meski hampir tak terlihat, Lyora mengenal pola koyakan itu. Bekas hangus yang pernah melahap kain aslinya… seolah menyisakan bisikan lama yang masih mengejar.
Seakan gaun itu memikul masa lalu yang sama pahitnya dengan napas Lyora sendiri.Tanpa sadar, sebutir air mata jatuh dari pelupuk matanya, jatuh begitu tenang, begitu pelan, tanpa suara. Ia tak mengerti kenapa bayangan gaun itu seperti menekan sesuatu yang telah ia hindari bertahun-tahun.
Tapi sebelum ia sempat menyeka air itu, keheningan di belakangnya pecah oleh suara langkah berat yang sangat ia kenali. Lalu, sebelum ia bisa bergerak, hembusan napas hangat menyapu pelan sisi lehernya. Tidak lembut, lebih seperti ancaman yang dibungkus keakraban.
“Jadi,” suara itu rendah, dingin, namun dekat sekali. “kau pasti senang, kan, Nenek mempercepat semuanya?”
Lyora menegang. Napasnya membeku, ujung jarinya bergetar kecil. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Apollo berdiri tepat di belakangnya. Dekat. Terlalu dekat untuk segala perasaan yang tengah ia tahan.
Nada Apollo bukan sekadar tudingan. Ada racun tersembunyi di balik tenang suaranya , racun dari seseorang yang sedang menyangkal sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mau namai.Lyora menelan kosong. Air mata yang tersisa cepat-cepat ia hapus, berharap Apollo tidak melihatnya.
Tapi tentu saja ia melihat. Apollo selalu melihat.“Kenapa berhenti di sini?” suaranya menurun setengah oktaf, dingin seperti permukaan marmer. “Gaun itu yang kau pilih?”
Lyora menggeleng. “Aku hanya… melihat.”
“Melihat, atau mengenang?” Apollo memotong, tanpa memberi ruang bernapas.
Ia melangkah lebih dekat, sampai jarak mereka tak lagi sopan untuk dua orang yang katanya akan bertunangan tanpa cinta.
Lyora memejamkan mata sejenak.Ia benci bahwa tubuhnya mengingat napas itu. Ia benci bahwa suaranya bergetar saat menjawab.“Tolong… jangan bicara seperti itu.”
Apollo tersenyum tipis, bukan senyum. Lebih seperti garis luka.“Sejak kapan aku harus memfilter kata-kataku di depanmu?”Lyora tertunduk.
Gaun biru itu memantulkan sosok mereka berdua, perempuan yang terlihat rapuh dan pria yang berdiri seperti bayangan panjang yang tak pernah memberi cahaya. Dan di antara mereka, ada sesuatu yang semakin retak, semakin keras, semakin tak terhindar kan.
Apollo menahan napas sejenak, menatap refleksi Lyora. Ada sesuatu yang hampir muncul di matanya,tapi ia membunuhnya sebelum sempat hidup.
“Cepat pilih gaunnya,” katanya akhirnya. “Aku tidak akan menghabiskan waktu lebih lama dari yang diperlukan.”
Lyora menunduk dalam-dalam,menggenggam ujung jarinya sendiri seolah itu satu-satunya tempat ia bisa menyembunyikan guncangan yang masih membekas. Nada Apollo masih menggema di kepalanya, dingin dan menyakit kan dalam cara yang tak seharusnya begitu mempengaruhinya.
Tanpa sepatah kata, Apollo akhirnya berbalik dan melangkah pergi. Sepatunya beradu dengan lantai marmer butik, ritmenya tegas, teratur, menjauh, tapi entah mengapa kepergiannya justru membuat udara terasa semakin sesak.
Aroma parfum yang masih tertinggal di belakangnya seperti garis tak kasat mata yang menahan Lyora untuk benar-benar bernapas.Saat langkah Apollo lenyap melewati pintu butik, Lyora mengangkat wajahnya.
Dan dunia seketika berhenti.Di balik kaca butik… seseorang berdiri di trotoar.Bukan pelanggan. Bukan kebetulan.Seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di situ.
Sosok pria bertopeng rubah perak berdiri tegak, tubuhnya kaku namun anggun seperti bayangan yang belum memilih bentuk.Cahaya matahari memantul di permukaan topeng peraknya, membuat wajahnya tak terbaca dan justru semakin mengerikan. Tangan kirinya memegang sesuatu.
Sebuah gantungan kunci perahu mungil
,benda kecil, remeh… tapi cukup untuk membuat jantung Lyora berdebar Jas hitam pria itu berkibar ringan tertiup angin, gerakan nya pelan tapi penuh kendali. Seolah ia sudah berdiri di sana cukup lama, menunggu Lyora menoleh.
Tatapan Lyora berubah seketika.Kesenduan nya padam.Rasa rapuh itu hilang seperti ditelan angin dingin.
Mata itu, mata yang sebelumnya berair, kini mengeras. Sorotnya tajam, penuh ketegangan yang sudah lama ia kubur dalam tubuhnya.
Ia tahu apa artinya gantungan kunci itu.
Ia tahu siapa yang mengirimnya.
Dalam satu kedipan, Lyora bukan lagi gadis yang berdiri di butik untuk memilih gaun pertunangan. Ia kembali menjadi seseorang yang datang ke kediaman Dragunov bukan untuk cinta… tapi dengan tujuan yang jauh lebih dalam.
eh ko gue apal ya 😭