Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murka
"pak, tolong dengarkan kami pak. Kami tidak bercanda dalam hal ini." ucap Galuh, sebisa mungkin kami harus bisa menyelamatkan bapak nya Bowo ini dari siluman itu. Entah apa yang terjadi jika dia sampai menjadi tumbal.
"aku sudah hidup dua puluh tahun lebih bersama istriku, suka duka telah kami lalui bersama, tidak mungkin dia mau menumbalkan aku. Kalian ini terlalu berprasangka buruk." ucapnya datar.
Ku raup wajah ini, jika aku punya sayap aku akan membawa lelaki malang ini terbang.
"tolonglah pak dengarkan kami," ucap Bima.
Namun dia tak menggubrisnya sama sekali malah bapaknya mbak Sinta bergeser menjauh dari kami.
Tak lama kemudian mas Rama dan istri tampak berjalan mendekat pada kami, membawa beberapa pancing untuk kami yang menunggu di sini.
"nah, ini dia pancingnya." ucap bapak mbak Sinta.
" ayo kalian yang mau mancing ambil satu-satu."
Bima dan juga mas Rama bergegas memilih pancing yang menurut mereka membawa hoki lengkap dengan umpannya sekalian.
"kamu gak usah ikutan deh mas," ucap mbak Sinta.
" kenapa sayang, kan lumayan ikannya bisa kita panggang."
" tapi mas... "
" udahlah mbak biarin aja, lagian mancingnya juga di sini kan bukan di mana-mana." ucapku sembari melihatnya.
Mendapat pembelaan dari ku membuat mas Rama tersenyum simpul, dia bahkan sudah mencari tempat untuk bersiap-siap melepaskan umpannya.
Tinggallah kami bertiga, menunggu mereka untuk menyaksikan siapa yang lebih dulu mendapatkan ikan.
"tubuhmu bau sekali mbak, apa kau tidak mandi." ceplos Galuh tiba-tiba, sahabatku itu memandangi iparku itu dari atas dari sampai bawah.
"mulutmu nyinyir sekali, diamlah."
"astaga, mulutmu juga bau mbak. Bahkan baunya mirip seperti bangkai."
Ku tahan senyum ini, ingin terbahak rasanya, melihat ekspresi mbak Sinta saat ini.
Tangan mbak Sinta mengepal, seperti ingin meninju wajah Galuh yang berdiri tepat di sebelah nya.
"ngomong-ngomong permainan mu dengan iblis itu lumayan panas ya mbak, bahkan suara desahan mu sampai terdengar keluar kamar." ucapku sembari memandang datar padanya.
Sebisa mungkin ku kecil kan suara ini, agar pak Karto bapaknya mbak Sinta dan mas Rama tidak mendengar nya.
"ka... kalian?" ucap mbak Sinta terbata, jangan lupakan ekspresi wajahnya seperti terjepit pantat ayam.
" hmmmm, sama persis seperti yang ada di otakmu saat ini." sahutku sembari tersenyum ke depan sana.
Berulang kali wanita sialan ini menelan saliva, aku tau dia takut alias gugup karena sedikit demi sedikit rahasianya mulai terbongkar.
Ku buang nafas ini dengan kasar, jika di perbolehkan ingin rasanya ku cakar wajah sok polosnya ini. Saking mukanya aku.
"kenapa kau diam mbak? Kau takut jika mas Rama tau? Aku bahkan tau kau membandingkan mas Rama dengan iblis itu. Kau bilang di sangat perkasa, mengapa tidak dia saja yang kau jadikan suami, mengapa harus kakakku." ucapku bertubi-tubi.
Dia hanya diam, tampak raut terkejut masih ada di sana, bahkan untuk membalas ucapan ku saja di tak mampu. Dia hanya meremas ke dua tangannya sambil menundukkan kepala. Dasar.
Hening, sedikitpun mbak Sinta tak berani melihatku matanya masih terfokus ke bawah sesekali memandang tiga lelaki yang masih asyik memancing itu.
"kenapa kau diam? Kau dan ibu mu sama-sama iblis Sinta. Kalian tega menumbalkan dua lelaki di ujung sana hanya untuk iblis sialan itu. Kalian kejam." bentakku dengan suara tertahan.
" diam kau! Jangan memfitnah!" pelotot nya.
" fitnah kau bilang? Aku masih ingat tadi malam kau dan ibumu bersama siluman keparat itu mengatakan ingin menumbalkan dua lelaki tak berdosa itu. Kau jangan berkilah Sinta, jika memang kalian tidak mendapatkan kepuasan, berpisah lah secara baik-baik . Bukan malah menumbalkan mereka. Apa kau tau, mas Rama itu saudaraku satu-satunya, tega kau menjadikan nya tumbal karena kerakusan kalian berdua."
Sinta terkesiap, " Tidak akan ku biarkan kau menumbalkan mas Rama. Aku akan melawan kalian semua, walau nyawa taruhannya." ucapku seraya meremas lengannya.
Diam, itu yang terjadi saat ini bahkan aku tidak perduli jika Sinta meringis karena remasan tanganku. Namun sejurus kemudian terdengar suara teriakan ternyata pak Karto berteriak dari sana, dia mendapatkan ikan yang lumayan besar, sebesar betis orang dewasa. Tak lama Bima menyusul ikan yang di dapat juga tak kalah besarnya. Dan yang terakhir mas Rama dia juga mendapatkan ikan yang sama besarnya.
"wah, besar sekali!" teriak Galuh.
"sepertinya ini sangat enak jika di bakar." ucapku spontan.
Bukan tanpa alasan aku berkata seperti itu, aku ingin tau bagaimana reaksi si lampir itu jika tau kami memanggang penghuni kolam hijau ini.
"ide yang bagus," ucap pak Karto.
Gegas pak Karto mengambil wadah dan juga golok untuk membersihkan lele jumbo tersebut. Tak lupa dia menyuruh mas Rama dan bima untuk menyalakan api.
"pak, ikannya kembalikan saja ke kolam." ucap Sinta.
" lah, ya jangan dong sayang. bapak dan mas sudah capek-capek mancing kok malah di balikin"
" nurut aja pak, Sinta takut ibu marah."
" kamu tenang saja, ibu mu urusan bapak."
Pak Karto bergegas membersihkan ikan berukuran jumbo tersebut namun yang anehnya di mana-mana lele siluman itu warna hitam atau enggak coklat, lah ini warna hijau mana pekat lagi.
Jadi curiga, jangan-jangan ini siluman lagi.
Dengan cekatan pak Karto membersihkan ikan tersebut dan tak butuh waktu lama akhirnya bersih juga. Dengan posisi ekor dan kepala di buang dan bara untuk memanggang juga sudah siap.
"wah, gak sabarnya mau makan ikan bakar." ucap Galuh.
Namun siapa sangka saat hendak meletakkan ikan di panggangan terdengar teriakan seseorang dari arah sana ternyata buk Surti dan juga ibuku.
"apa yang kalian lakukan!" teriak buk Surti penuh amarah.
Kakinya berjalan dengan cepat, bahkan ibuku sampai ketinggalan di belakang.
"siapa yang berani-berani mengambil ikan dalam kolam ini!" teriaknya kesetanan.
" bapak buk, Ian udah lama kita gak makan ikan dalam kolam ini." ucap pak Karto dengan senyuman lugunya.
Dada buk Surti seketika bergemuruh, berjalan mendekat pada sang suami dan seketika menatapnya tajam.
"bapak terlalu lancang, bukankah sudah ku peringatkan jangan sesekali mengambil ikan di dalam kolam ini, apa bapak lupa? Atau memang sengaja?" ucap buk Surti.
Sejenak pak Karto membuang nafas lalu memandang sang istri.
"buk kolam ini kita yang isi ikannya, masa setelah sekian tahun gak boleh di ambil ikannya."
" diam pak, diaaaammmm! " teriak buk Surti. Kemudian dia berjalan mendekat pada daging lele yang sudah siap untuk di bakar tersebut, sejurus kemudian dia melepaskan tiga ekor ikan itu dari tusuk besi yang sudah menancap kemudian menatap kami dengan tajam.
"kalian telah melanggar pantangan di rumah ini, kalian akan celaka!" teriaknya.
" kenapa? Kau takut ini anak siluman iblis itu." potongku cepat. Gatal rasanya bibir ini kalau tidak melawan padanya.
"kau melewati batasmu Laras!" bentaknya.
" kau yang melewati batasmu sialan, kau dan putrimu sekongkol untuk menumbalkan pak Karto dan juga mas rama.jadi siapa yang melewati batas di sini ha!" bentakku gantian.
baik mas Rama maupun pak Karto sama-sama terkejut bahkan mas Rama sampai menoleh pada sang istri.
"jangan percaya mas itu fitnah."
"iya Rama, adikmu ini kerja nya tukang fitnah. Kau jangan termakan ucapannya."
" Betul mas, dia tidak suka melihat kita bahagia. Jadi jangan kamu telan mentah-mentah ucapannya.
Aku yang kepalang emosi segera mengepalkan tangan dan "bugh" Bogeman berhasil mendarat sempurna di bibir Sinta sialan tersebut.