NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:266
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ancaman Dari Elesa pada Rom

Rom menutup tas ranselnya dengan cekatan—sepatu bot, jaket pelindung, beberapa dokumen tugas yang sudah diberi cap. Sudah beberapa hari jadwalnya terpenuhi; urusan administrasi, laporan, dan serangkaian pemeriksaan rutin. Pakaian rapi, gerak efisien, seperti orang yang siap kembali ke kehidupan sipil sebentar lagi. Di dinding lorong, lampu neon bergetar pelan, memantulkan kilau logam di pegangan pintu. Rom menyelinap melewati suasana markas yang sibuk—beberapa anggota masih merapikan perlengkapan, yang lain tertawa di pojok kantin.

Ia berhenti sejenak untuk mengecek kantong jaket—ponsel, dompet, kunci. Ketika menoleh ke ujung lorong, sosok Elesa tampak di sana; berdiri sendiri, tubuhnya ditopang oleh dinding, tangan memegang tas kecil. Ia melambaikan tangan—ajakan yang dingin, bukan hangat. Rom mengangkat alis, lalu menutup tasnya rapat-rapat dan melangkah mendekat.

Wajah Elesa sinis, bibirnya seakan merangkai kata-kata tajam sebelum mengucapkannya. “Ikut aku,” katanya singkat. Nada itu bukan undangan—lebih mirip perintah yang diikat amarah.

Rom menahan setengah senyum. “Kemana?” tanyanya, menyesuaikan langkah. Ia tidak ingin menghakimi, cuma ingin menyudahi ketegangan yang sudah berhari-hari menempel di mereka seperti debu.

“Jangan banyak tanya!” Elesa memalingkan muka, suara dingin tanpa ada nada memohon. Rom mengangguk pelan—ikut sebab penasaran lebih besar dari kehati-hatian.

Mereka berjalan. Rom menunduk sedikit agar tidak tersandung—bukan karena Elesa pendek, melainkan karena ia sendiri lebih tinggi. Langkah mereka sejajar, namun suasana antara mereka tegang seperti kawat. Rom mencoba melontarkan guyon kecil untuk mencairkan, “El… spill dikit lah, kita mau ke mana?” Tapi Elesa tak menjawab, hanya mempercepat langkah.

Mereka melewati gerbang Militaryum. Pintu besi terbuka, udara luar menyergap—bau aspal, tumpukan daun kering, suara kendaraan yang lewat jauh di kejauhan. Elesa menuntun Rom ke jalan kecil di luar kompleks yang sedikit lebih sepi. Di sisi jalan, lampu jalan berpendar remang, bayang-bayang memanjang.

“Udah ikut aja, cerewet banget, nanti juga tahu,” cetus Elesa, tanpa menoleh. Nada itu kasar—bukan kemarahan yang meledak, tapi gesekan yang tajam.

Rom mengangkat bahu. “Ke kafe, kan? Ajak makan malam ya kan?” Suaranya ringan, berharap nada itu bisa menipiskan dingin antara mereka.

Elesa menatap sekilas, bibirnya mengetat. “Gak sudi. Yang ada aku dibawa pulang lagi... buat apa? Ya buat kamu (perkosa) lagi.” Ucapan itu seperti kayu yang dilempar ke air—membuat riak besar.

Rom berhenti, jantungnya berdebar kencang tapi wujudnya tetap tenang. “Ayolah El, aku beneran ga ngapa-ngapain,” jawabnya, menunduk sedikit sebagai tanda merendah. Kata-katanya lugas, tanpa embel-embel.

“Udah diem. Kita sampai,” Elesa potong. Matanya menatap lurus ke depan, menolak konflik di luar yang ia kendalikan.

Di belakang tembok pagar Militaryum, bayangan bergerak—seorang pria berdiri, menyembunyikan separuh tubuhnya di balik kegelapan. Rom menoleh, merasa ada sesuatu yang salah. Elesa melangkah ke arah pria itu tanpa ragu, seolah sudah mengenalnya.

Pria itu muncul dari balik tembok; wajahnya kasar, kumis tipis, mata yang penuh kecurigaan. Elesa langsung mendekat, suaranya berubah menjadi manis yang dipaksakan: “Sayang, ini cowok yang (perkosa) aku kemarin.”

Rom tertegun. Perasaan di dadanya berkecamuk—kaget, sakit, dan sesuatu seperti harapan bodoh bahwa ini hanya permainan. “Hahh, yang bener aja kamu, El. Udah berapa kali aku bilang aku ga ngapain,” suaranya naik, tetapi masih berusaha tenang.

Pria itu menatap Rom seperti anjing yang menemukan saingan. “Emang pacar gua bakal percaya? Jelas-jelas dia kebangun di kamar lo. Lo masih mau alasan apa lagi?” Nada suaranya mengandung ancaman terselubung.

Elesa menoleh ke pria itu, suaranya dingin kembali. “Tuh kan, cowok aku juga ga percaya. Kamu mending ngaku, sebelum aku laporin ke Marcno, biar kamu dipecat.”

Rom merasakan darahnya mendidih. “Masak iya aku harus bilang aku (perkosa) kamu, kan jelas-jelas ga kejadian.” Kata-kata itu keluar dengan napas berat.

Pria itu mendekat selangkah, menelan ludah. “Bacot lu. Udah, kita selesaikan ini berdua kalo lo ga mau ngaku.” Ada nada provokatif dalam suaranya—taruhan kehormatan yang busuk.

Rom menahan amarah yang menggelegak. Dalam hati ia menilai postur pria itu—lebih kecil, tapi mata penuh keberanian atau keputusasaan. Yaelah, pendek kaya lo emang bisa ngalahin gua... pikir Rom sinis, namun tak mengatakannya. Ia menghela napas, mencoba meredamnya. “Bukan aku nolak mentah ya, tapi aku bakal dapat masalah dari Marcno kalo dia tau,” katanya perlahan, mengingatkan bahwa konsekuensi tidak hanya pada mereka.

Pria itu mendengus. “Yaudah, ayo cari tempat lain.” Nada itu seperti tantangan agar segala sesuatu pindah ke tempat yang lebih sunyi—lebih berbahaya.

Rom tersenyum miring, setengah sinis, setengah percaya diri. “Aku ga punya niat (perkosa) Elesa. Emang iya cewek secantik dia tega ku sakitin? Ga mungkin, bro.” Kata ‘cantik’ dari mulut Rom membuat Elesa terdiam sejenak; ada rona yang tak terduga di wajahnya—bukan kelembutan, tapi sesuatu yang lain, mungkin penghinaan atau kebingungan.

Pria itu tidak terima. “Ga usah alasan. Ayo duel. Kalo lo kalah, lo gak usah balik lagi ke tempat ini. Kalo lo menang... Elesa... buat...” Suaranya menggantung, takut menyelesaikan klausa yang akan mempermalukan dirinya sendiri jika diucapkan.

Elesa melirik pria itu cepat—signature tatapan yang membuat pria itu terhenti. Ada jeda singkat, seperti napas yang ditahan sebelum teriakan. Rom mengangkat bahu, tidak mau terjebak dalam taruhan kehormatan yang memalukan. “Aku ga butuh taruhan. Aku ga salah, kenapa aku harus duel?”

Pria itu menatap tajam. “Kenapa lo takut?” tantangnya, menantang martabat Rom di depan Elesa.

Rom merasakan sesuatu dalam dadanya meledak—marah, malu, dan kegundahan bercampur. Tanpa berpikir panjang, ia menjawab cepat, “Eh kalo ngomong di jaga ya, gausah ngremehin, [putus] (kepala) lo sekali aja aku mau mukul.” Ucapannya kasar, ancaman yang tak pantas, tetapi ia tidak mundur.

Pria itu membalas dengan tawa pahit. “Yaudah sini maju, lawan gua.” Tangannya mengepal, tubuhnya maju menantang.

Rom merasakan darahnya memuncak; otot-ototnya menegang, langkahnya otomatis maju. Mereka berdua sama-sama mendekat—napas mengencang, mata terkunci satu sama lain. Di antara mereka, Elesa berdiri seperti penunggu takdir, matanya berkaca-kaca namun tak mau menunjukkan kelemahan.

Langit di atas mereka tidak berubah—remang lampu jalan, suara kendaraan samar—tetapi untuk Rom dan pria itu, dunia menyusut jadi jarak beberapa langkah. Mereka mendekat. Pembicaraan berakhir; langkah berbicara.

Langkah pria itu memotong jarak; bahu terangkat, pinggang memutar, kepalan meluncur. Pukulan pertamanya menghantam rahang Rom—bunyi tumpul memantul di dinding gerbang. Kepala Rom terayun, tapi kakinya tetap kokoh. Ia menelan sakit, bergeser setengah langkah, menutup sisi, lalu membalas lurus ke dada. Napas lawan patah; ia mundur dua langkah.

Udara menekan. Pria itu maju lagi, serangan samping—sebagian meleset, satu mengenai pelipis Rom. Refleks Rom bangkit; ia menangkis rendah dan melepas hook kanan bersih. Buku-buku jarinya menghantam tulang pipi; retak halus terdengar. Darah muncul di sudut bibir lawan.

Elesa menutup mulut, kaget. Rom hanya sempat menangkap ngeri di matanya sebelum fokus kembali. Lawan limbung tapi tetap memaksa, lebih karena gengsi daripada teknik. Rom menahan dengan lengan kiri, menukikkan bahu, lalu menghantam rusuk pendek dan presisi. Napas lawan tersedak; lututnya mengendur. Kekalahannya nyata—darah di pipi dan keseimbangan yang hilang.

“Berhenti!” teriak dari pos jaga. Empat sekuriti dan dua tentara berlari, memisahkan mereka. Rom mundur setengah langkah; lawan terhuyung ke sisi Elesa, menekan pipi berdarah.

Elesa kehilangan kata; hanya napas patah. Ia berbalik dan lari menembus bahu sekuriti, masuk kembali ke Militaryum tanpa menoleh. Rom melirik singkat—pahit tertahan di tenggorokan.

“Cukup,” ujar seorang sekuriti, telapak menahan dada Rom. Amarahnya masih menyala; ada dorongan menuntaskan satu pukulan lagi. Tapi seragam di bahu dan kamera pos mengikatnya. Rom mengembus napas dan menurunkan bahu.

Lawan sudah separuh duduk di trotoar, diapit dua sekuriti. Darah menetes ke kerah; matanya masih menyala tanpa tenaga. Seorang tentara menilai cepat, bicara di radio, lalu mengangguk pada rekannya.

Rom berbalik. “Tunggu,” cegah sekuriti, refleks mencegat. Rom tak menghiraukan. Letih turun cepat dari kepala ke tumit, seperti saklar dimatikan. Ia melewati tangan penghalang tanpa kasar—bahu dimiringkan.

Area parkir motor di sisi luar, sebagian tertutup bayang pohon. Kunci sudah di saku; klik kecil terdengar. Ia memasang helm, menutup tali, menyalakan mesin. Di spion, gerbang masih ramai; jejak lari Elesa lenyap di koridor.

Rom diam sejenak. Kedekatan sederhana—kafe, lampu hangat, tawa pendek, dan mabuk Rom dan Elesa kemarin . Ia mengira ada jalan menuju kedekatan; nyatanya ada orang lain di sisi Elesa, dan tuduhan yang membekukan semuanya.

Gas diputar pelan. Ia meluncur keluar dari sorot lampu pos. Pertarungan barusan tinggal catatan: belum tuntas, tapi tak boleh dilanjutkan. Ada garis yang harus dijaga saat seragam melekat.

Lampu kota muncul bertahap. Rom merasa lemas—bukan oleh pukulan lawan, melainkan harapannya sendiri yang memukul balik. Ia meninggalkan Militaryum dengan dada berat: amarah disimpan, dan kesadaran getir—kafe tinggal ingatan bukan perkembangan.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!