sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 21
Melati membuka pintu, mentari pagi menyinari.
“Melati, kapan kamu tinggal di sini?”
Melati menoleh ke sumber suara, mengerenyitkan dahi,
“Larasati,” gumam Melati lirih sekali.
“Baru dua hari aku tinggal di sini,” jawab Melati pelan sekali.
Larasati mengangkat alis, menelaah raut wajah Melati.
“Kamu sedang baik-baik saja, kan, Melati?”
Melati menatap Larasati, teman masa kecilnya penuh arti,
Dalam dilema, antara bercerita atau menyimpan sunyi.
“Aku baik-baik saja,” ucap Melati, menggenggam tangan Larasati.
“Mana suamimu, Melati?”
Lagi, dada Melati berdebar sendiri.
Haruskah aku cerita kalau kini aku seorang janda? batinnya sunyi.
Belum sempat Melati menjawab, Larasati sudah menyela lagi,
“Tidak baik seorang istri tinggal sendiri, walau di rumah sendiri.”
“Mas Arga sedang sibuk,” jawab Melati.
Namun Larasati tampak tak puas hati.
“Aku harap kamu baik-baik saja, Melati.
Aku rindu sekali, semenjak menikah kamu tak pernah ke sini.
Aku harap nasib pernikahanku tak seburuk ini,” ujar Larasati lirih sekali.
Melati terdiam—
Apa aku pantas menasihati Larasati, sementara rumah tanggaku sendiri berantakan?
Pikiran itu menyesaki dada Melati, ironi yang menyayat hati.
“Melati,” ujar Larasati, membuyarkan lamunan yang panjang sekali.
“Astaga, kamu membuatku kaget,” ucap Melati.
“Dari tadi kamu melamun terus, apa ada ucapanku yang menyinggung hati?”
“Tidak,” jawab Melati lirih, “mari masuk ke rumah ini.”
Melati melangkah ke pintu, mengajak Larasati masuk ke dalam,
Namun belum sampai di daun pintu,
suara nyaring memecah diam:
“Melati!”
Melati dan Larasati menoleh serempak.
Tampak Ibu Mega, Arga, dan Kartika menatap tajam, penuh benci yang pekat.
“Ada apa, Bu?” suara Melati gemetar, lemah, dan berat.
Larasati menautkan alis, menggenggam tangan Melati erat,
merasakan gemetar yang tak bisa disembunyikan semangat.
“Pulang sekarang juga! Sudah cukup sandiwaranya!” seru Ibu Mega keras dan cepat.
“Sandiwara?” gumam Melati singkat.
“Ya, kamu ini seperti anak kecil saja!
Baru ribut sedikit sudah kabur dari rumah—istri macam apa kamu?”
Kartika menimpali lantang, suaranya tinggi seperti petir disiang hari
Larasati diam, mencoba mencerna situasi
“Ya, Melati, sudah… ayo kita pulang,”
lirih suara Arga terdengar, lembut namun ada nada penuh harap
Melati menghela napas.
Sebenarnya ia ingin menyembunyikan kehancuran hidupnya yang jelas,
Namun dihadapkan pada kenyataan keras,
tak ada cara lain selain tegas.
“Sepertinya Mas Arga sudah hilang ingatan,” ucap Melati.
“Mas Arga sudah menjatuhkan kata cerai padaku tiga kali.
Jadi sekarang kita bukan siapa-siapa lagi, Mas,”
suaranya tegas, meski dadanya terasa perih sekali.
“Oh, Melati,” ujar Kartika bernada drama dan basi
“Kamu itu tidak tahu mana cerai sungguhan, mana yang hanya kata.
Seharusnya kamu tak menuntut Arga cerai hanya karena hal sepele belaka.
Selama ini Arga kan selalu menafkahi kamu, kalau sekadar poligami, itu biasa,” ujarnya bersuara nyata.
“Ya, Melati, coba dewasa sedikit.
Jangan ngambekan seperti anak kecil,” ucap Arga, kalimatnya tajam menyayat hati Melati
“Kenapa kalian ingin aku kembali?” tanya Melati, suaranya getir dan berani.
“Ya, karena kami membutuh…” hampir saja Ibu Mega meluncurkan kata yang ia tahan di hati.
“Ya, karena perceraian itu dilarang dalam agama, Melati,”
ucap Ibu Mega, memakai topeng agama untuk menutupi kepentingan diri.
“Sudahlah, Bu,” ucap Melati pelan namun pasti,
“Aku sudah lelah. Setahuku perceraian itu tidak dilarang,
ya, walau dibenci.”
“Nah, itu kamu tahu, Melati,” ujar Kartika cepat,
mencoba menyudutkan Melati di setiap tempat.
“Sudahlah,” ucap Melati menatap mereka satu-satu,
“Aku hanya ingin hidup dengan tenang,
Aku tak menuntut apa-apa,
Padahal aku bisa menuntut nafkah perceraian, tapi sudahlah—
aku hanya ingin kedamaian.”
“Melati…” ucap Arga lirih, nadanya berat dan bergetar di dada,
ingin sekali ia berkata aku masih mencintaimu,
tapi gengsi dan takut pada ibunya membuat kata itu tak bisa keluar begitu saja.
“Melati, ayo kita kembali.
Kalau aku salah, aku minta maaf,”
ujar Arga lembut, nadanya diplomatis,
berharap luka lama bisa sirna seperti habis gerimis.
“Sudah, Mas,” ucap Melati menatap tanah,
“Biarkan aku hidup tenang.,Mas Arga Juga bisa hidup dengan Mawarkan.”
“Melati!” hardik Kartika dengan tatapan sinis dan tajam,
“Jadi janda itu tak enak, Melati,
apalagi kamu tak berpendidikan tinggi.
Dengan apa kamu akan menghidupi diri?
Atau jangan-jangan kamu akan menjual diri?”
“Hentikan ucapan busukmu!” bentak Melati marah sekali,
suara hatinya seperti ombak memecah karang sunyi.
Kartika tersenyum sinis,
“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan selain menjual diri, Melati?”
“Plak!”
Tamparan keras mendarat di pipi.
“Brengsek!” teriak Kartika, memegangi wajahnya yang terasa perih sekali.
Ia hendak menerjang,
namun Larasati maju ke depan, tubuhnya tegak berani menantang.
“Jangan coba-coba menyentuh Melati!
Aku akan teriak, dan warga sini akan menggebuki kalian sampai mati!”
“Siapa kamu, ha?!” bentak Ibu Mega, wajahnya merah menahan amarah.
“Aku orang sini, asli!
Dan jangan ganggu kenyamanan kampung ini!”
ujar Larasati bertolak pinggang, suaranya menggema berani.
“Sudahlah, Arga,” ujar Ibu Mega kesal dan lega,
“Aku yakin dalam tiga hari, Melati akan kembali juga.
Dia tak bisa hidup lapar.
Kalau perut kosong, dia pasti akan mengemis kembali ke rumah besar.”
Melati menarik napas dalam-dalam, dadanya bergetar.
Sejak kecil, ia sudah mandiri dan tegar.
Untuk sekadar makan, ia tak pernah gentar.
“Benar, Arga,” sambung Kartika cepat-cepat,
“Ayo kita pulang. Melati masih kenyang,
jadi masih sombong dan angkuh seperti orang menang.”
Sebuah mobil pikap berhenti di depan rumah.
Suara mesin pelan tapi mencuri perhatian semua.
Di atasnya, kulkas dan televisi terikat rapi dengan tali baja.
Semua mata tertuju ke arah mobil itu.
“Permisi, rumah Ibu Melati di mana, ya?” tanya seorang pria ramah.
“Saya sendiri,” jawab Melati tenang, menatap tanpa salah.
“Ini pesanan Ibu: kulkas dan televisi,” ujar pria itu sopan.
Melati hanya mengangguk, bibirnya melengkung kecil menahan beban.
Rahang kartika mengeras, hatinya kesal, harusnya melati menderita kenapa sekarang malah terlihat ceria bahkan membeli perabot rumah tangga.
Kartika memandang sinis,”Melati oh Melati, kamu itu mau terlihat sukses sampai kamu kridit kulkas sama telvisi ha, mau bayar pakai apa kamu”
Namun pria pengantar membuka dokumen dan berkata jelas sekali,
“Ini nota pembayaran, Ibu Melati bayar tunai melalui transfer,
bukan kredit sama sekali.”
Kartika melotot, mendekat kasar,
“Mana, aku lihat!” ia hendak merebut kertas dari tangan pengantar.
“Tidak boleh, Mbak. Ini data pribadi pelanggan,”
ujar pria itu menahan kesal, nadanya tegas menantang.
Kartika mengibaskan tangan dengan wajah murka,
seolah dunia tak berpihak padanya.
“Maaf, Bu Melati,” ujar sang pengantar sopan,
“Barangnya mau ditaruh di mana?
Masih banyak pesanan lain yang harus saya antar ke sana.”
“Bapak salah kirim,” cepat Kartika menimpali,
seolah ingin menghapus bukti harga diri.
Namun pria itu menatap Kartika dengan mata menyala,
“Jangan halangi pekerjaan saya.
Kalau Mbak iri pada Bu Melati, itu urusan Mbak,
saya cuma bekerja, bukan ikut drama keluarga.”
Kartika terdiam marah dan kesal, wajahnya memerah seperti bara.
“Melati,” ucap Kartika sinis setelah terdiam sesaat,
“Ini pasti uang dari Arga, kan?
Mana mungkin kamu bisa beli semua itu sendirian?”
Melati mengepalkan tangannya kuat-kuat,
ingin sekali ia menampar mulut tajam Kartika yang tak tahu batas.
“Hey, Mbak!” seru Larasati maju dengan langkah mantap.
“Anda ini keterlaluan, terlalu merendahkan Melati tanpa sebab!
Asal Anda tahu,” suaranya meninggi, menembus udara,
“Melati itu pandai berdagang, tak bergantung pada siapa-siapa.
Kalau hanya membeli televisi dan kulkas,
itu hal kecil bagi dia.
Saat kita masih bingung bayar uang sekolah,
Melati sudah bisa membeli sepeda motor dari hasil kerja kerasnya.
Kalian pikir menceraikannya akan membuatnya hancur?
Tidak! Justru kalian yang akan menyesal,
karena kalian baru saja kehilangan perempuan paling tangguh di dunia nyata!”
maaf aga lama, penulis lagi belajar nulis
semakin belajar semakin bingung
akhirnya autor menulis saja,,,,
sambil meminum kopi aku ucapkan terimakasih pada para pembaca