Sebuah kisah cinta rumit dan menimbulkan banyak pertanyaan yang dapat menyesakan hari nurani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tapi dia menikahiku... (2014)
Berbicara dengan Steve memerlukan kesabaran tingkat dewa. Kalau hanya manusia biasa, sulit. Steve jago memutarbalikkan keadaan, yang tadinya itu salahnya, selalu berbalik arah menjadi salahku.
Sepulang dari Bandung, aku dan Steve terlibat pertengkaran hebat. Dia mengungkit tentang Rai. Dia merasa aku sengaja ingin bertemu Rai. Padahal tidak sedikit pun dari pertemuan kami yang merupakan kesengajaan dari padaku. Jika diingat-ingat semuanya terjadi secara natural. Suatu kebetulan yang sangat kebetulan.
Cerai. Itu saja permintaan Steve. Separah itu? Aku tidak berselingkuh. Aku tidak tidur dengan Rai. Kenapa harus cerai?
Kata demi kata keluar dari mulut kami. Kami saling serang. Sampai akhirnya, aku tidak tahan dan menyambar kaleng antinyamuk dan serangga. Aku bersiap meminumnya di depan Steve supaya pertengkaran kami ini terhenti.
"Apa-apaan kamu," Steve menepis tanganku supaya kaleng itu terhempas
"Aku tidak pernah kuat kalau harus bertengkar seperti ini. Lebih baik aku mati," Isak ku. Tubuhku terkulai ke lantai. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Aku tidak pernah berselingkuh dengan siapapun. Aku menjaga diriku baik-baik. Aku menjaga tubuhku. Aku tidak pernah sengaja bertemu dengannya, Steve. Aku tidak pernah," tangisku makin menjadi-jadi
"Aku kan tidak mau berangkat ke Bandung waktu itu. Aku sudah bilang keadaan ku mungkin tidak fit tapi kamu memaksa demi karier katamu. Sekarang semua jadi begini. Apa ini salahku, Steve?,"
Steve terdiam. Kalau aku sudah bertindak anarkis menyakiti diri sendiri seperti ini, dia akan diam. Amarahnya langsung terhenti. Namun apakah harus seperti ini terus-menerus?
Dia melangkah mendekatiku.
"Ty, aku tidak bermaksud membuatmu menangis," dia berjongkok di depanku
"Aku hanya cemburu, Ty. Aku tidak terima kalau kamu terhubung lagi dengan mantanmu itu. Kamu akan membandingkan aku dengan dia dan kamu akan menarik kesimpulan bahwa dia jauh lebih dari ku. Aku tidak mau kehilanganmu,Ty. Namun apa daya ku sekarang ini. Aku belum bisa hebat seperti mantan mu itu, Ty,"
Ya. Playing victim dimulai. Dan aku yang bodoh ini tiba-tiba merasa kasihan. Aku langsung memeluknya.
"Tidak ada yang akan meninggalkan mu, Steve. Aku tetap mencintaimu. Aku sudah jadi milik mu dan akan terus begitu. Tidak akan berubah, Steve,"
Tangisku sudah mulai reda.
"Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir, Steve," kataku sambil memeluknya
Dia menarik tubuhnya dan menyeka air mataku.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Ty. Yang penting kamu tidak meninggalkanku dan Vincent dan calon bayi kita,"
Dia mengecup keningku. Dan menyeka lagi air mataku.
Begitulah pertengkaran kami. Dan selalu aku yang minta maaf. Bukan Steve. Mau itu salah siapapun. Tetap aku yang akan minta maaf.
Steve menuntunku berdiri dan duduk di ranjang. Lagi-lagi dia menyeka sisa air mataku. Membelai rambutku yang basah karena keringat. Dia menarik daguku mencium ku perlahan. Selanjutnya adalah pelampiasan rindu.
"Aku tidak akan biarkan tubuh ini dimiliki oleh orang lain. Tidak akan," ujar Steve dengan suara berat di tengah-tengah pergulatan kami.
Keesokan harinya, aku mendapat kabar Riva, staf marketingku, masuk rumah sakit. Aku ke rumah sakit diantar Om Ewin. Aku sengaja tidak membawa staf karena aku curiga yang Riva alami bukan sakit.
Setiba di ruang rawat, aku melihat Riva sedang berbaring. Aku menghampiri bed nya dan meletakkan kantong isi buah yang kubeli tadi di atas meja samping bed.
"Riv," sapaku lembut.
Dia membuka matanya. Begitu melihatku dia langsung menangis.
"Kamu menggugurkan, Riv?," tanyaku pelan
Dia mengangguk.
"Dan saya pendarahan," ujarnya sambil menangis
Aku menghela napas panjang.
"Ya sudah. Semua sudah terjadi apa boleh buat. Bagaimana Jordan?,"
"Dia yang membawaku ke rumah sakit. Sekarang dia sedang kerja. Sore pulang kerja dia baru akan datang lagi,"
"Untunglah Jordan tetap bertanggung jawab sama kamu, Riva. Bagaimana kalau setelah ini kalian menikah?," usulku
"Jordan belum kerja tetap, Bu. Dia masih freelancer. Bagaimana kami akan hidup kalau keadaan Jordan seperti itu,"
"Takutnya, Riv, kalau kalian bersama, kamu berpotensi akan hamil lagi. Kalian kan sudah tinggal bersama," aku berusaha menjelaskan
"Saya sudah bilang sama Jordan, jangan dulu berhubungan sampai menikah," tutur Riva
"Sulit Riva. Aktivitas seksual itu nagih. Candu. Dia akan mendatangkan perasaan ingin melakukan terus. Apalagi selama ini kalian berdua mungkin cukup intens melakukannya. Dan dia cowok Riv. Hanya kalian berdua di kamar kost, gak mungkin lah dia cuma ajak kamu main ular tangga, pasti main ular yang lain," aku hampir terkekeh mendengar perkataan sendiri. Namun situasi tidak memungkinkan. Ini situasi yang serius.
Aku melanjutkan,"Kalau kamu belum siap menikah, suruh Jordan kerja di luar. Setidaknya kalian akan jarang bertemu. Jarang bertemu, berarti jarang berhubungan intim. Potensi kehamilan kamu pun kecil. Hanya itu caranya. Masa iya kamu mau tiap hamil gugurin, tiap hamil gugurin. Rusak rahim kamu, Riv,"
"Iya Bu, aku akan bicara lagi dengan Jordan sebentar,"
Aku teringat Rai dulu. Kenapa dia gak mau duduk dempet-dempetan denganku. Kenapa dia gak mau aku sentuh pahanya saat hendak membersihkan tumpahan susu hangat yang kena celananya. Dia sedang menjagaku. Ya, dia tidak mau merusak ku. Berarti Steve yang merusak ku? Ah, pikiran macam apa ini. Steve mungkin merusak ku tapi dia menikahiku.