Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Sakit yang Mendekatkan
Sudah dua hari Bastian sakit, dan entah kenapa pria itu jadi lebih manja dari biasanya. Seolah semua hal ingin dilayani oleh Sena. Saat makan, ia minta disuapi. Saat mandi, ia ingin air hangatnya disiapkan. Bahkan untuk urusan minum obat pun, semua harus diatur oleh Sena.
Seperti pagi ini, Bastian baru saja terbangun dari tidurnya, tapi tubuhnya masih terasa lemas. Entah beneran lemas atau di sengaja ia lemas-lemasin.
Tatapannya mengarah ke sisi ranjang yang kosong.
“Sena…” panggilnya pelan. Ia pikir istrinya ada di kamar mandi.
“SENAA!” panggilnya lebih keras.
Tak ada sahutan.
“SEN—”
Ceklek!
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok Sena yang baru masuk.
“Sena kau darimana?” tanya Bastian. Suaranya kini tidak setinggi tadi. Sengaja dilemah-lemahkan.
“Aku dari dapur. Sudah bangun daritadi?” tanya Sena lembut, seperti biasanya.
“Baru bangun. Aku mau sarapan.” Baginya, sekarang jam makan adalah momen paling menyenangkan karena bisa meminta disuapi oleh Sena.
“Kalau begitu tunggu sebentar, aku panggil Mbok Jena.” Sena hendak meraih intercom, tapi suara Bastian memotongnya.
“Tidak perlu. Kita makan di meja makan saja.”
“Oh, kalau begitu ayo.”
Sena sudah bersiap membantu, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Kamu sudah cuci muka?” tanyanya.
Bastian menggeleng.
“Ya sudah, sana cuci muka dulu.”
“Cuciin.”
Sena spontan membelalakkan mata.
“Apa?”
“Bantu aku cuci muka dan sikat gigi.”
“Kamu tidak bisa sendiri?”
“Bisa. Tapi badanku masih lemas.”
Sena menghela napas panjang. “Hmm, oke…”
Mereka masuk kamar mandi. Dengan telaten, Sena membasuh wajah Bastian, mengoleskan sabun wajah, lalu membilasnya. Bastian hanya duduk santai, membiarkan Sena bekerja, tanpa ada niat sedikit pun untuk membantu.
Setelah itu, Sena menyiapkan sikat gigi, menaruh pasta gigi, lalu menyodorkannya kepada Bastian. Baru kali ini Bastian bergerak sendiri.
“Sudah?” tanya Sena saat melihat Bastian selesai berkumur.
Bastian mengangguk mantap.
Sena meraih handuk wajah, lalu dengan lembut menyeka sisa air di pipi dan dagunya.
“Selesai. Ayo kita sarapan,” ujarnya sambil tersenyum.
… … …
Di meja makan, sarapan sudah tertata rapi.
“Aku mau roti itu saja.” Bastian menunjuk roti panggang yang juga tertata di atas meja.
Sena terdiam sesaat. Itu roti yang ia buat khusus untuk dirinya sendiri. Karena sejak pagi tadi ia benar-benar menginginkannya.
“Tidak mau bubur? Kamu masih sakit.”
“Tidak. Aku bosan makan bubur.”
“Tapi… roti ini punyaku. Aku sengaja bikin karena lagi pengen sekali.” Nada suara Sena berubah, terdengar seperti anak kecil yang tidak rela berbagi.
“Jadi tidak boleh untukku?” tanya Bastian.
“Kalau kamu mau, aku buatkan lagi. Tunggu sebentar.” Sena sudah hendak berdiri, tapi Bastian menahan tangannya dengan cepat.
“Tidak perlu. Aku makan bubur saja. Kau makan roti itu.”
Sena menatapnya tak percaya. Tumben sekali pria ini mengalah, pikirnya. Biasanya Bastian selalu keras kepala, bahkan alergi dengan kata ‘maaf’.
Mbok Jena, yang sedari tadi mengamati, tersenyum kecil menyadari perubahan sikap Bastian yang mencoba mengalah itu.
“Kalau begitu, biar Mbok saja yang buatkan roti panggang untuk Tuan.” Ucap Mbok Jena berinisiatif.
Bastian menoleh. “Boleh. Terima kasih, Mbok.”
20 menit berselang, Ravian turun untuk sarapan. Namun pemandangan di depannya membuat dahi pria itu berkerut. Di meja makan, Sena terlihat menyuapkan buah ke mulut Bastian. Kursi mereka begitu rapat, seolah tak ada jarak.
Bastian sempat melirik Ravian, tapi sama sekali tidak merasa perlu menjaga sikap. Ia tetap santai.
Ravian duduk di kursinya, tepat di seberang pasangan itu.
“Kenapa kau menyuapi dia, Sena? Apa dia sudah tidak punya tangan?” sindir Ravian.
Sena menoleh kaget. Ia tak sadar kakaknya sudah duduk di sana.
“Bastian sakit, Kak. Dia demam sejak kemarin.”
“Sakit bikin tangannya lumpuh juga rupanya?”
Bastian hanya berdecak kesal.
“Kak, jangan begitu…” tegur Sena lembut, lalu kembali melanjutkan menyuapi.
Ravian menatap tajam, namun akhirnya memilih diam dan menyantap sarapannya. Sementara Bastian dengan wajah penuh kemenangan sengaja memamerkan betapa nyamannya ia diperlakukan Sena.
Melihat Bastian yang memasang tampang kemenangan itu membuat ia ingin sekali melempar makanan yang ada didepannya ke wajah Bastian saat ini.
...****************...
Hari itu, mereka hanya menghabiskan waktu di Penthouse, menonton film. Kali ini, bukan hanya Sena, melainkan ditemani Bastian yang masih dalam masa ‘sakitnya’.
Film yang mereka tonton bergenre romance, tentang seorang pria yang mendekati wanita hanya untuk memanfaatkan informasi darinya.
“Jahat sekali dia,” ucap Sena sambil menunjuk layar televisi itu.
“Wanitanya juga sudah nafsu dari awal” celetuk Bastian santai.
Sena spontan melirik tajam. Dalam hatinya ia mendesis, Bastian dan pria itu memang satu spesies.
“Tapi pria itu sampai menidurinya,” bela Sena.
“Wanita mana yang menolak diberi barang bagus? Semua wanita sama saja, Sena. Pada akhirnya tergoda dengan apa yang mereka lihat. Tugas mereka hanya menerima umpan.”
“Tidak semua wanita seperti itu.”
“Lalu siapa contohnya? Tunjukkan padaku.” tantang Bastian.
Sena terdiam sejenak, lalu menarik napas. “Bukan karena kamu tumbuh di lingkungan seperti itu, lantas semua wanita sama. Dunia ini luas, setiap orang punya cerita hidupnya sendiri. Semua terjadi karena alasan tertentu. Dan kamu tidak berhak menilai semua orang dengan kacamata sempitmu.”
Nada suara Sena lembut, tapi tegas.
Bastian hanya membalas dengan senyum sinis seolah meremehkan.
Sena tiba-tiba berdiri dari duduknya setelah mengatakan kalimat panjang lebarnya itu.
“Mau ke mana?” tanya Bastian.
“Ke kamar Kak Ravian.”
“Ngapain?”
“Minta dibelikan bakso. Tiba-tiba aku ingin sekali.”
Bastian mengernyit. Lagi-lagi ngidam?
Belum sempat Sena melangkah, suara Bastian menahan.
“Pergi sama aku. Kita cari bakso”
“Kamu masih sakit, jangan memaksakan diri. Biar Kak Ravian saja.”
“Pakai jaketmu. Kita keluar sekarang.”
“Kamu benar-benar sudah sembuh?” tanya Sena ragu.
“Cepat, Sena.”
Akhirnya Sena mengalah, masuk kamar untuk mengambil jaket. Saat ia akan turun, ia sempat berpapasan dengan Ravian.
“Mau ke mana?” tanya sang kakak.
“Cari bakso.”
“Dengan siapa?”
“Bastian.” Sena menjawab singkat, lalu menuruni tangga.
Dibawah Bastian sudah menunggu Sena. Melihat Sena yang turun, Bastian langsung mengambil kunci mobilnya, dan membukakan pintu Penthouse.
Mereka pergi hampir pukul sepuluh malam. Dari lantai atas, Ravian yang memperhatikan hanya bisa menghela napas. Tapi senyum tipis akhirnya muncul di bibirnya.
“Apakah perasaan itu mulai muncul, Bas?” gumamnya sendiri.
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^