Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan Istri Yang Tak Tau Diri
Tim Predator, dengan keunggulan strategi dan analisis Yansya, terus menekan. Reno memimpin unit depan, menciptakan formasi serangan yang sulit ditembus, sementara Alex dan Clara berhasil memojokkan Beban dan Firmino, membuat mereka kesulitan bergerak.
Di sisi lain, Tim Rose juga tidak menyerah. Delisa memanfaatkan penyamarannya untuk terus mengganggu dari berbagai arah, sementara Rio sibuk mencoba menembus firewall David yang semakin kuat. Lisa, dengan tatapan tajamnya, memantau setiap pergerakan timnya, siap memberikan instruksi baru untuk membalikkan keadaan, karena ia tahu bahwa pertarungan ini masih jauh dari selesai.
"Sepertinya Ketua Tim Predator sedang bersenang-senang, ya?" suara Lisa terdengar melalui komunikator Yansya. Nadanya penuh sindiran namun ada geli di dalamnya. Ia melihat Yansya yang masih santai mengarahkan timnya, seolah tidak ada beban sama sekali.
"Jangan terlalu cepat berpuas diri, Yansya. Tim Rose belum mengeluarkan semua kemampuan kami." Sebuah lekuk tipis terukir di bibirnya, menantang Yansya untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yansya terkekeh pelan. "Oh, benarkah, Nona Lisa?" balasnya santai. Matanya berbinar nakal saat ia melirik ke arah posisi Lisa. "Aku jadi penasaran kejutan apa lagi yang kalian siapkan. Aku harap itu bukan hanya gertakan belaka, karena Tim Predator sudah siap menghadapi apa pun."
"Kalau begitu, mari kita lihat." Lisa menyahut, nada suaranya terdengar lebih percaya diri. Ia memberikan isyarat kepada Delisa dan Rio, dan mereka berdua langsung mengangguk paham.
"Delisa, sekarang saatnya kamu tunjukkan penyamaran terbaikmu, buat mereka bingung. Rio, aku butuh akses ke sistem komunikasi internal Tim Predator. Kirimkan sinyal palsu ke mereka. Pastikan itu terlihat sangat nyata, karena kita akan membuat kekacauan kecil." Yansya menyeringai. Matanya tetap terpaku pada layar pemantau, ia tahu bahwa ini adalah kejutan yang sesungguhnya.
Tidak lama kemudian, sistem komunikasi Tim Predator mendadak dipenuhi dengan sinyal-sinyal palsu. Suara tawa Fabian yang menyebalkan dan pesan-pesan aneh memenuhi saluran mereka, membuat Reno dan David kebingungan.
"Ada apa ini, Yansya?" tanya Reno, suaranya sedikit panik. Ia berusaha menstabilkan komunikasi tim. "Sistem kita diserang. Aku tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu!"
Di saat yang sama, Delisa, yang menyamar sebagai salah satu agen Tim Predator, berhasil menyelinap ke dekat Alex dan Clara, memberikan informasi yang menyesatkan. Yansya hanya bisa tersenyum tipis, matanya mengamati layar pemantau yang kini penuh dengan gangguan, ia mengakui bahwa Lisa memang tidak main-main dengan kejutan Tim Rose.
Melihat kekacauan yang diciptakan Tim Rose, Yansya sama sekali tidak panik. Ia segera mengaktifkan mode analisis cepatnya, memindai setiap frekuensi dan membandingkan pola suara tawa Fabian yang asli dengan yang palsu.
"Tenang, Reno, David," perintah Yansya dengan suara tenang. "Sinyal palsu ini hanya umpan. Jangan biarkan mereka mengganggu fokus kita. Rio terlalu bersemangat sampai ia lupa satu detail kecil, yaitu perbedaan bandwidth saat transmisi data."
"Dan untuk Delisa," ia menyeringai licik, "biarkan saja dia bermain-main. Ia akan segera merasa kesepian karena tidak ada yang menanggapi informasinya."
Sesuai perintah Yansya, Tim Predator tidak terpancing oleh gangguan itu. David dengan cepat mengisolasi sinyal palsu, sementara Reno mengarahkan Alex untuk mengabaikan informasi menyesatkan dari Delisa.
Tanpa sepengetahuan Tim Rose, Yansya telah memprediksi langkah kejutan itu dan menyiapkan respons cepat. Alex berhasil mengunci pergerakan Beban, sementara Clara melumpuhkan Layla dengan tembakan simulasi yang presisi.
Delisa, yang merasa tidak ada umpan balik, segera menyadari dirinya telah terperangkap dalam jebakan Yansya. Dalam hitungan menit, semua anggota Tim Rose berhasil dilumpuhkan, meninggalkan Lisa yang kini berhadapan sendirian dengan Tim Predator yang utuh.
Lisa menatap sekeliling lapangan. Ia melihat timnya sudah terkapar satu per satu, dan kini hanya ia sendiri yang tersisa menghadapi Tim Predator yang masih dalam formasi lengkap. Ia menghela napas panjang, sebuah guratan senyum tipis terukir di bibirnya, bercampur rasa lelah dan sedikit kekalahan.
Melalui komunikator, ia berkata kepada Yansya, "Baiklah, Yansya, kamu menang hari ini. Aku menyerah. Tim Predator memang tidak bisa diremehkan." Nada suaranya terdengar pasrah, tetapi ada rasa hormat yang terpancar dalam setiap katanya, mengakui keunggulan Yansya dan timnya.
Yansya menarik sudut bibirnya, berjalan mendekati Lisa dengan langkah santai, sementara anggota Tim Predator lainnya berbaris rapi di belakangnya, menunjukkan disiplin mereka. "Sudah aku bilang, Nona Lisa," ucap Yansya, nadanya menggoda. "Tim Predator tidak pernah main-main. Jadi, hadiah apa yang akan kau berikan kepadaku atas kemenangan telak ini?" Ia menatap Lisa dengan mata berbinar penuh ekspektasi, seolah ini adalah bagian paling menarik dari seluruh pertandingan.
Lisa mendengus geli, melipat tangannya di dada. "Baiklah, Tuan Ketua Tim yang sombong," balasnya. "Katakan saja apa yang kamu inginkan. Aku akan memberikannya sebagai bukti pengakuanku atas kemenanganmu hari ini."
Yansya berhenti tepat di hadapan Lisa, bibirnya membentuk seringai yang semakin melebar. Ia menundukkan sedikit tubuhnya, berbisik pelan tepat di telinga Lisa, "Aku tidak butuh uang, Nona Lisa. Aku hanya menginginkanmu."
Sentuhan napas hangat Yansya di telinga Lisa membuat pipi wanita itu langsung memerah padam. Lisa menatap Yansya dengan mata membulat, terkejut dan sedikit salah tingkah mendengar pengakuan Yansya yang begitu blak-blakan di tengah lapangan latihan yang masih ramai.
Semua mata di lapangan, dari Kepala Direktur Bram hingga para ketua tim lainnya, bahkan anggota Tim Rose dan Tim Predator yang terkapar, langsung tertuju pada Yansya dan Lisa. Bisik-bisik dan tatapan cemburu segera menyebar di antara mereka, karena Lisa memang dikenal sebagai wanita tercantik di antara semua agen, dan tak sedikit yang diam-diam mengaguminya.
Kepala Direktur Bram hanya bisa menghela napas pasrah, menggelengkan kepala samar-samar, karena ia tahu bahwa putrinya dan Yansya selalu punya cara untuk menarik perhatian semua orang, bahkan di tengah latihan yang serius.
Malam harinya, setelah kegaduhan di lapangan latihan mereda, Yansya dan Lisa tiba di sebuah taman hiburan yang gemerlap. Lampu-lampu warna-warni memantul indah di mata mereka, menciptakan suasana yang berbeda dari rutinitas misi harian.
Tawa riang pengunjung dan aroma popcorn yang manis mengisi udara, seolah mengajak mereka melupakan sejenak ketegangan yang biasa mereka hadapi. Yansya menunjukkan raut wajah yang lebih lembut saat melihat Lisa yang sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ada rona tipis di pipinya yang selalu berhasil membuat Yansya merasa gemas.
Mereka berjalan beriringan, menikmati setiap wahana dan permainan, karena malam itu adalah waktu mereka berdua untuk sepenuhnya menjadi diri sendiri, tanpa ada topeng agen khusus yang harus mereka kenakan.
Saat mereka berdua sedang menikmati es krim di dekat wahana bianglala, tiba-tiba Yansya melihat dua sosok yang dikenalnya melintas di keramaian. Itu adalah Sarah, mantan istrinya, dan Herman, suami baru Sarah, yang juga tampak sedang berkencan di taman hiburan tersebut.
Yansya sedikit terkesiap, senyumannya memudar, sementara Lisa yang menyadari perubahan ekspresi Yansya, mengikuti arah pandang pria itu. Sebuah keheningan singkat menyelimuti mereka berdua, karena pertemuan yang tidak disengaja itu membawa kembali kenangan yang selama ini disimpan rapat.
Sarah yang kebetulan berbalik, matanya langsung menangkap sosok Yansya yang sedang bersama Lisa. Sebuah seringai sinis terukir di bibirnya, dan ia segera menarik lengan Herman.
"Lihat, Sayang," ucap Sarah. Nadanya sedikit sengaja dikeraskan agar Yansya mendengarnya. "Sepertinya ada yang tidak bisa move on, ya? Masih saja berkencan di tempat seperti ini. Padahal sudah bukan anak muda lagi, dan sepertinya ia juga belum bisa mendapatkan wanita yang selevel dengan kita." Herman mengangguk setuju, melirik Yansya dengan tatapan meremehkan, seolah ingin menunjukkan betapa jauhnya hidup mereka sekarang dibandingkan Yansya.
Lisa, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, kini melirik Sarah dengan tatapan dingin namun penuh wibawa. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, namun itu adalah senyum yang tidak bisa diartikan sebagai keramahan.
"Memang benar ada yang tidak bisa move on," balas Lisa dengan suara tenang, namun jelas terdengar oleh Sarah. "Tetapi bukan kami, melainkan orang yang merasa perlu mencari perhatian di tengah keramaian. Lagipula, aku tidak butuh selevel atau tidak. Yang penting aku bahagia dengan pilihan hatiku, dan sepertinya itu sudah cukup untuk membuat siapa pun iri." Kata-kata Lisa menusuk tajam, membuat seringai sinis di wajah Sarah perlahan memudar, karena ia tahu bahwa Lisa tidak hanya membalas ejekan, tetapi juga menempatkannya pada posisi yang lebih rendah.
Tidak puas hanya dengan ejekan dari jauh, Sarah melepaskan genggaman tangannya dari Herman. Ia melangkah mendekat dengan langkah cepat dan ekspresi menantang, mengabaikan Herman yang mencoba menahannya. Sarah berdiri di hadapan Yansya dan Lisa, matanya menatap tajam ke arah Lisa.
"Siapa wanita ini?" bentaknya, suaranya sedikit meninggi. "Beraninya kau berkencan dengan Yansya, padahal kau tahu dia itu mantan suamiku!" Sarah menuding Lisa, seolah wanita itu adalah penyebab semua masalah, padahal Lisa hanya menampilkan segaris senyum tipis, merasa terhibur dengan drama yang sedang terjadi di depannya.
Saat Sarah melayangkan tangannya, berniat menjambak rambut Lisa karena amarah yang memuncak, Yansya dengan sigap bergerak. Ia menangkap pergelangan tangan Sarah tepat sebelum menyentuh Lisa. Tatapannya berubah dingin, seringai di bibirnya menghilang sepenuhnya.
"Jangan sentuh dia," ucap Yansya dengan suara rendah namun penuh peringatan. "Dia bukan siapa-siapamu, dan kau tidak punya hak untuk menyentuhnya." Genggaman Yansya pada pergelangan tangan Sarah terasa kuat, membuat Sarah terkesiap, menyadari bahwa Yansya tidak lagi sama seperti dulu.
Sarah menarik pergelangan tangannya, berusaha melepaskan diri dari genggaman Yansya, namun Yansya tidak sedikit pun melonggarkannya. "Cih, sok pahlawan!" ejek Sarah. Matanya menyorot jijik ke arah Yansya dan Lisa bergantian.
"Lepaskan tanganku, Yansya! Kau pikir kau sedang melindunginya? Dia itu wanita murahan yang hanya bisa menggoda mantan suamiku!" Yansya menghela napas, tatapannya tetap dingin namun ada seringai tipis yang muncul di sudut bibirnya.
"Aku tidak sedang melindunginya, Sarah," balas Yansya santai, nadanya penuh ketegasan. "Aku sedang melindungimu. Coba saja kau serang dia jika kau penasaran. Kau akan tahu sendiri bahwa ia tidak semudah itu diserang."
Yansya akhirnya melepaskan pergelangan tangan Sarah, dan Sarah, yang masih dipenuhi amarah, langsung melayangkan tangannya kembali ke arah Lisa, mencoba menjambak rambutnya. Namun, tepat sebelum tangannya mencapai target, Lisa bergerak cepat seperti kilat.
Dengan gerakan yang sangat halus, ia menangkap tangan Sarah, memelintirnya sedikit, lalu membanting Sarah ke tanah dengan mudah, membuat Sarah mengerang kesakitan. Herman yang melihat itu langsung terkesiap, tidak menyangka Lisa akan bertindak secepat dan sebrutal itu di tengah keramaian.
Lisa menatap Sarah yang terkapar di tanah dengan tatapan jijik dan dingin. Ia melangkah mendekat, membungkuk sedikit agar suaranya bisa terdengar jelas oleh Sarah yang meringis kesakitan.
"Aku sangat membenci wanita lintah darat sepertimu yang tidak tahu diri," ucap Lisa. Nadanya rendah namun penuh penekanan. "Kau meninggalkan Yansya demi uang, dan sekarang kau berani menuduhku menggoda mantan suamumu? Kau itu seharusnya bercermin, karena kau tidak lebih dari wanita yang hanya melihat harta."