NovelToon NovelToon
Istri Bar-bar Ustad Tampan

Istri Bar-bar Ustad Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Aku ingin kebebasan.

Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.

“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”

Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.

“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 21

Setelah beberapa menit membuka laporan dan mengecek email penting, Kia berdiri dari kursinya. Sepatu hak rendahnya menapak pelan menuju ruang rapat utama lantai dua. Para kepala divisi sudah berkumpul di dalam, membentuk setengah lingkaran dengan laptop dan catatan kerja di hadapan mereka.

Begitu Kia masuk, ruangan itu mendadak hening. Mata-mata mengarah ke hijab modis yang menutupi rambut panjangnya. Tak ada yang berani berkata, tapi raut wajah mereka jelas menyimpan banyak tanya.

Kia berdiri di depan layar presentasi, tapi bukan itu yang ia buka lebih dulu. Ia meletakkan ponsel dan air mineral di atas meja kecil di depannya, lalu menghela napas pelan.

“Aku tahu kalian kaget,” katanya memecah sunyi.

Ia menatap satu per satu wajah di hadapannya. Beberapa mengangguk pelan, ada yang menunduk, dan sebagian hanya diam.

“Mulai hari ini,” lanjut Kia tanpa ragu, “aku ingin ada perubahan. Bukan cuma sistem kerja, bukan cuma target proyek. Tapi juga hal kecil yang mungkin selama ini kita anggap sepele.”

Kepala HRD mengangkat alis, ingin berbicara, namun Kia lebih dulu melanjutkan.

“Semua karyawati yang muslimah, aku minta mulai beradaptasi dengan busana yang lebih sopan. Minimal berhijab, meski belum sempurna. Yang nonmuslim pun aku minta ikut menghormati. Pakaian kerja wajib sopan, rok di bawah lutut, atasan longgar, nggak pakai yang terlalu ketat atau transparan.”

Salah satu staf perempuan yang duduk di barisan tengah berbisik ke temannya, “Eh... seriusan? Ini dari mana aturannya?”

Kia mendengar gumaman itu, namun ia tetap tersenyum.

“Ini bukan pemaksaan keyakinan. Tapi ini soal etika berpakaian di lingkungan kerja. MK Corp bukan hanya perusahaan besar, tapi juga rumah. Dan rumah ini akan aku bangun dengan nilai-nilai yang bukan cuma keren dari luar, tapi juga berisi dari dalam.”

Seisi ruangan tetap diam. Tak ada yang membantah. Karena yang berdiri di depan mereka bukan sekadar cucu pemilik perusahaan. Tapi CEO muda yang mulai menunjukkan arah barunya arah yang tak semua orang paham, tapi mereka mulai hormati.

“Yang keberatan, boleh diskusi empat mata denganku. Tapi selama di ruang kerja, selama kita pakai nama MK Corp di dada, semua harus patuh dengan aturan yang ada.”

Kia menutup laptopnya, lalu menatap jam tangan kecil di pergelangan kirinya.

“Baik. Rapat selesai. Lusa aku mau lihat suasana baru di kantor ini. Nggak cuma target yang naik, tapi juga cara kita menghargai diri sendiri.”

Saat ia keluar dari ruangan, satu demi satu karyawan mulai membicarakan perubahan itu. Tapi tak sedikit dari mereka yang justru merasa tersentuh. Karena aturan yang disampaikan Kia bukan dalam bentuk ancaman, tapi ketegasan yang dibalut penghormatan.

Sore itu, ketika kebanyakan karyawan mulai berkemas, Claudia justru berdiri di depan ruang kerja Kia. Ia mengetuk pelan, lalu menunduk sopan saat Kia melongok dari balik meja.

“Masuk, Claud,” ujar Kia sambil mematikan layar monitornya.

Claudia melangkah pelan, duduk di kursi tamu, lalu meletakkan map biru di pangkuannya. Tapi wajahnya tampak bimbang.

“Aku cuma pengin ngobrol,” katanya pelan.

Kia mengangguk, menatap lembut. “Silakan. Aku dengerin.”

Claudia menarik napas.

“Aku ngerti maksud Bu Kia soal perubahan cara berpakaian. Tapi aku ini nonmuslim. Jujur aja, aku agak keberatan kalau harus nurut sama aturan yang kelihatannya kayak nilai agama.”

Kia tak langsung menjawab. Ia mengambil cangkir teh yang sudah mulai dingin, menyesap sedikit, lalu meletakkannya kembali.

“Aku ngerti kok. Justru makasih karena kamu datang langsung, bukan ngomong di belakang.”

Claudia menatap lurus. “Aku bukan mau bikin keributan. Cuma aku kerja di sini udah lima tahun. Ngerasa rumah. Tapi aku juga pengin dihargai sebagai aku.”

Kia tersenyum, matanya jernih.

“Claudia,” ucap Kia lembut, “aku nggak pernah minta kamu pakai hijab. Itu urusan iman. Tapi aku minta kita semua jaga batas. Soal etika, soal menghormati. Rok di bawah lutut itu bukan syariat semata. Itu cara kita jaga martabat. Di luar kamu bebas jadi siapa aja, tapi selama pakai ID Card MK Corp, kita satu nama. Satu wajah. Dan wajah itu akan ditiru sama banyak orang.”

Claudia terdiam reflek wajahnya tak lagi tegang.

“Aku takut keliatan kayak dipaksa berubah,” ujarnya lirih.

Kia menggeleng pelan. “Kamu nggak berubah, Claud. Kamu justru bertumbuh. Bukan buat ikut aku, tapi buat nunjukin ke luar sana kalau kita bisa kerja profesional tanpa harus jual harga diri lewat penampilan.”

Claudia menunduk. Tangannya meremas mapnya dengan pelan.

“Tapi aku boleh tetap jadi diriku sendiri kan?”

“Selama itu tidak merendahkan tempat ini dan diri kamu sendiri, tentu saja.”

Claudia mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca.

“Aku coba ya, Bu.”

Kia berdiri, menghampiri, lalu memeluk Claudia ringan.

“Bukan coba. Tapi sama-sama belajar. Nggak ada yang sempurna, Claud. Tapi kita bisa saling kuatkan karena kita satu rumah.”

Sepeninggal Claudia yang perlahan melangkah keluar dari ruangan dengan wajah yang lebih ringan, Kia memutar tubuhnya, lalu membuka kalender digital di laptop.

“Putri, jam lima kita ada meeting sama relasi dari Bandung, kan?” tanyanya sambil berdiri.

“Iya, Bu. Lokasinya di Grand Celebes Hotel, lounge lantai tujuh. Mereka minta bahas revisi kontrak ekspor batik digital,” jawab Putri, sekretaris pribadinya yang selalu teliti dalam segala hal.

“Asistenku udah standby?” tanya Kia lagi sambil mengambil blazer dari belakang pintu.

“Fajar udah di lobi, bawa berkas dan tablet presentasi,” imbuh Putri.

“Bagus. Yuk, kita berangkat sekarang. Aku pengin sampai lebih duluan.”

Langit Jakarta mulai meredup saat mobil Kia meluncur keluar dari parkiran gedung MK Corp. Di dalam mobil, Kia menatap ke luar jendela, mengamati lampu-lampu kota yang mulai menyala satu per satu.

“Put,” katanya tiba-tiba, “Kamu liat nggak tadi Claudia nangis dikit?”

Putri mengangguk pelan. “Liat, Bu. Tapi bukan tangis marah. Lebih kayak terharu. Mungkin dia ngerasa didengarkan.”

Kia tersenyum, hatinya menghangat.

“Kadang kita cuma butuh orang yang mau jelasin dengan lembut, ya. Nggak semua perubahan harus pakai bentakan.”

Mobil akhirnya berhenti di pelataran hotel bintang lima. Seorang petugas valet membukakan pintu. Kia melangkah turun dengan anggun, mengenakan busana formal berpotongan simpel dan hijab satin berwarna abu-abu keperakan yang dibalut manis di bahunya. Penampilannya sore itu menyejukkan mata, tegas namun tetap bersahaja.

Sesampainya di lounge, relasi bisnis dari Bandung sudah menunggu. Tiga pria paruh baya berpakaian batik formal dan seorang wanita muda dengan map di tangan.

Salah satu dari mereka berdiri, menyambut Kia dengan hangat.

“Bu Kia Eveline, akhirnya ketemu juga. Selama ini kami cuma liat dari media dan laporan anak-anak sales. Aslinya lebih adem, ya.”

Kia terkekeh ringan. “Aduh, saya takutnya dikenal galak, Pak. Tapi senang bisa ketemu langsung. Bandung selalu punya rasa spesial buat saya.”

Pertemuan malam itu berlangsung akrab. Kia memaparkan visi MK Corp ke depan dengan nada tenang tapi tajam. Sesekali Fajar membisikkan detail data dari tablet, sementara Putri menyodorkan berkas untuk ditandatangani.

Di tengah diskusi, salah satu relasi sempat berkomentar sambil melirik penampilan Kia.

“Mohon maaf, Bu. Kami sempat denger isu soal perubahan aturan di kantor pusat. Serius ya, karyawati diwajibkan berpakaian tertutup?”

Kia tersenyum. Ia menatap mereka satu-satu sebelum menjawab.

“Kami ingin semua yang bekerja di MK Corp sadar bahwa nilai itu nggak cuma tentang angka. Tapi juga tentang bagaimana kita menghargai tubuh dan peran masing-masing. Bukan soal agama. Tapi soal martabat.”

Para relasi itu saling pandang, lalu mengangguk perlahan. Wajah mereka tak lagi penuh tanya.

Pertemuan pun ditutup dengan makan malam ringan. Saat Kia berdiri hendak pamit, salah satu dari mereka menepuk pundaknya sambil berkata,

“Kalau semua CEO muda pikirannya kayak Ibu, Indonesia bisa punya perusahaan yang bukan cuma besar, tapi juga bermakna.”

Kia tak banyak bicara, hanya menunduk sopan dan mengucap terima kasih. Dalam hati, ia tahu langkah ini belum tentu disukai semua orang. Tapi jika niatnya benar dan jalannya baik, perlahan semuanya akan menemukan tempat.

1
Purnama Pasedu
ustadz bisa ae
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pintar gombal yah 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
iya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
tapi kadang tempat kerja ngelarang pakai hijab ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: iya kakak tergantung dari peraturan perusahaan
total 1 replies
Purnama Pasedu
bisa ae pak ustadz
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pak ustadz gaul 😂
total 1 replies
Purnama Pasedu
masih galau ya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
aamiin
Purnama Pasedu
pasangan yg kocak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia terlalu keras ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ujian sang ustadz tapi nanti dapat hidayah kok 🤣🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
si kakek
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ulah kakeknya akhirnya gol 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia jadi diri sendiri aj,perlahan aj
Eva Karmita
semangat otor 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak
total 1 replies
Eva Karmita
semangat ustadz... yakinlah Allah selalu ada untuk umatnya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: betul kak
total 1 replies
Purnama Pasedu
nyimak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semoga suka
total 1 replies
Purnama Pasedu
koq sedih ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: jangan sedih kak 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
Thor bisa ngk bahasa kia kalau ngomong sama yg lebih tua sopan sedikit jgn pakai bahasa Lo gue , maaf sebelumnya bukan mengkritik otor cuma gak ngk enak aja di baca bahasanya bisa diganti aku atau apalah ... sebelum mohon maaf ya ,, ceritanya bagus tetapi semangat Otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum saatnya kak kan gadis bar-bar tomboy liar dan pembangkang 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
keren pak ustadz 😍😍😍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ustadz idaman yah kakak 🤭
total 1 replies
Eva Karmita
langsung kena mental si Kia 😩👻🙈
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Eva Karmita
❤️
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak... karena aku di tetangga juga nulis di sana ☺️🥰
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!