Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Aiden ...! Baju apaan ini? Jelek, model ketinggalan zaman, warna sudah pudar. Kamu ingin aku memakai baju begini?!" Rachel membentak dengan nada tinggi, matanya menatap tajam seolah-olah baju usang itu telah menghina seluruh martabatnya sebagai Nyonya Salvador. Jemarinya yang lentik mencubit ujung kain lusuh berwarna cokelat pudar, lalu melemparkannya ke lantai dengan ekspresi jijik.
Aiden hanya mendecak pelan sambil menyilangkan tangan di dada. Dia menatap sinis, wajah datar, tapi tatapannya tajam menusuk.
"Itu adalah pakaian terbaik yang aku miliki," balas Aiden tanpa nada sesal. Justru senyum miring tersungging di wajahnya, seolah ingin menunjukkan luka yang selama ini tersembunyi.
Rachel tertegun sejenak. Tangannya yang tadi hendak meraih baju lain kini menggantung di udara. Napasnya mulai berirama lebih pelan dan mata yang tadi tajam mulai redup.
"Kamu tidak bohong, kan?"
"Buat apa aku berbohong."
"Kenapa kamu tidak beli baju yang baru? Ini tidak layak dipakai," kata Rachel lagi, namun kini nadanya terdengar lebih rendah, tapi mulai dihantui rasa bersalah.
Aiden mengangkat dagunya sedikit. Matanya menatap Rachel seolah menantang. "Untuk beli baju, aku uang dari mana?" tanyanya sengit. "Sudah jelas-jelas aku tidak punya uang. Semua kartu keuanganku dirampas Hillary dan Nenek Hilda. Bahkan untuk beli pakaian dalam saja, aku harus menahan malu pinjam ke seorang pelayan!"
Rachel menelan ludah. Dalam beberapa hari terakhir, dia benar-benar melihat kehidupan wanita itu yang selama ini tidak diketahuinya. Dia melihat betapa menyedihkan dan tak berdayanya sosok sang istri yang dulu dengan mudah dia abaikan.
Rachel menarik napas panjang, menurunkan nada suaranya. "Sekarang kamu pegang kartuku. Pakai untuk belanja pakaian yang bagus-bagus. Jangan lupa juga produk skincare dan make up," katanya pelan, seperti seseorang yang baru tersadar dari tidur panjang.
Mendengar itu, wajah Aiden berubah cerah seketika. Kedua matanya membulat dan bibirnya membentuk senyuman geli bercampur semangat. "Aksesoris dan perhiasan, beli ... jangan?" tanyanya penuh harap.
Rachel memutar bola matanya malas, tapi sudut bibirnya tersungging juga. "Beli apa pun yang dibutuhkan oleh seorang wanita. Tas, sepatu, bahkan pakaian dalam pun jangan lupa kamu beli," katanya sambil menghela napas panjang.
"Siap, Komandan! Akan aku laksanakan!" Aiden berdiri tegak, memberi hormat dengan gaya berlebihan, seolah dirinya baru saja menerima tugas penting dari negara.
Rachel hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Aiden. Namun di balik gelengan itu, ada rasa sesak yang tak bisa dia ungkapkan. Betapa selama ini dia buta pada penderitaan orang yang menjadi pasangan hidupnya.
"Beli barang yang terbaik. Jangan terlalu pelit untuk diri sendiri," kata Rachel lirih, nyaris berbisik.
"Oke," balas Aiden, masih dengan wajah cerah penuh antusiasme.
Di dalam kepalanya, Aiden sudah menyusun daftar panjang. Sepatu heels berwarna nude, eyeshadow palet dengan tone hangat, lipstik matte dari brand ternama, dan tentu saja gaun-gaun elegan yang selama ini hanya bisa dia lihat dari majalah mode. Jiwa perempuannya yang sempat terpenjara kini seperti bangkit kembali.
Namun, senyum lebarnya mendadak memudar. "Tunggu ... aku tidak bisa belanja bareng temanku dalam wujud ini. Nanti bisa jadi skandal!" batinnya panik. Ia bisa membayangkan betapa kacau jika dia dengan tubuh Aiden jalan-jalan bareng sahabat-sahabat perempuannya.
"Biasanya kamu beli pakaian di mana?" tanya Aiden, mencoba menggali informasi sambil menyusun ulang rencana belanja.
"Di mana saja. Yang penting itu fungsi barang untuk kita. Jangan sampai beli barang mahal, padahal enggak butuh-butuh amat," jawab Rachel santai, kembali menjadi dirinya yang rasional dan lugas.
"Baiklah," gumam Aiden sambil menatap ke arah lemari pakaian.
Pandangan matanya menyapu deretan jas rapi, dasi sutra, dan jam tangan bermerk mahal yang tersusun apik. Bahkan aksesori pria kelas atas terlihat dipajang seperti koleksi museum kecil di atas meja kaca. Dia mengangguk kecil, merasa kalau dia pun berhak punya kemewahan yang sama, selagi masih ada kesempatan.
"Nanti aku juga akan membeli barang-barang dari merek terkenal. Selagi belanja memakai keuangan keluarga Salvador," batin Aiden, matanya berbinar seperti sedang menyusun misi rahasia.
Tanpa buang waktu lagi, Aiden mengambil kunci mobil dan ponsel. "Aku pergi kerja dulu!" serunya sambil melangkah cepat keluar kamar.
Langkah kaki Aiden terasa ringan, seolah beban di pundaknya mulai terangkat sedikit demi sedikit. Dalam sudut hati, dia tahu masih banyak hal yang harus dia luruskan. Yaitu tentang cinta, pengkhianatan, dan semua luka yang belum sempat disembuhkan.
"Selamat pagi semua!" sapa Aiden begitu memasuki gedung perkantoran keluarga Salvador. Suaranya lantang dan penuh semangat, membuat setiap kepala yang sedang menunduk di balik layar komputer langsung mendongak.
Seketika suasana kantor yang biasanya kaku itu mendadak hening. Para karyawan saling berpandangan, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Itu suara Aiden, bukan? Tuan Aiden Salvador, pria dingin yang biasanya lewat tanpa menoleh, apalagi menyapa?
"Se-lamat pa-gi, Tuan," jawab mereka serempak, agak terbata. Beberapa bahkan masih terpaku dengan mulut sedikit terbuka, seperti baru saja melihat fenomena alam langka.
Aiden tersenyum ramah, tapi baru dua langkah, dia buru-buru merapikan ekspresinya. Wajahnya langsung berubah datar. "Aduh, bodoh. Lupa kalau Aiden asli itu irit bicara, apalagi senyum," batinnya menyesali spontanitasnya barusan.
Langkah Aiden terhenti sejenak di depan meja seorang pria muda berkacamata yang sedang menyeruput kopi paginya.
"Pagi, Richard!" ucap Aiden sambil tersenyum lebar seperti sahabat lama yang baru bertemu.
Prrfttt!
Seketika kopi dalam mulut Richard menyembur keluar seperti air mancur dadakan. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak. Gelas kopinya nyaris terjatuh dari tangan.
"A—ada apa denganmu, Tuan? Apa kepala Anda terbentur keras waktu kecelakaan kemarin?" tanya Richard dengan napas ngos-ngosan sambil buru-buru mengejar Aiden yang melenggang santai menuju ruang kerja.
Aiden menoleh ke arah jam dinding, lalu berkata dengan datar, berusaha mengembalikan wibawa yang sempat runtuh, "Sudah masuk jam kerja. Tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan."
Richard langsung menegakkan tubuh. "Siap, Tuan!" ucapnya gugup. Lalu dia mundur perlahan seperti tentara yang sedang menghadapi jenderal pemarah.
Begitu pintu ruang kerja tertutup, Aiden menghembuskan napas panjang dan langsung menjatuhkan tubuh ke kursi kerja besar dari kulit asli. Pandangannya tertuju pada tumpukan map dan dokumen yang menggunung menyambut di atas meja.
"Apa-apaan ini ...?" gumam Aiden lemas. "Apa pekerjaan Aiden seperti ini setiap harinya?!" Kepalanya langsung nyut-nyutan karena melihat berapa banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan.
"Tolong aku!" teriak Aiden berharap Rachel mau membantu menyelesaikan pekerjaan itu.
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu