NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Mulai Bekerja

Pariyem mengangguk.

“Nyai pulanglah, saya akan mengawasi sampai Nyai masuk ke rumah. Tuan yang meminta saya memastikan Nyai pulang dengan selamat."

Pariyem pulang dengan mengendap-endap lewat gerbang belakang, memastikan tak ada siapapun yang melihat.

\~\~\~

Hari-hari berlalu dengan sangat lambat. Pariyem menunggu dengan tidak sabar. Lalu memutuskan dia tidak akan hanya menunggu. Dia juga mulai bergerak.

Keesokan paginya, setelah pelayan selesai membersihkan ruang kerja Soedarsono, Pariyem memberanikan diri masuk. Jantungnya berdebar keras. Ini pertama kalinya dia masuk ke ruangan itu dengan niat politik.

Ruangan itu rapi seperti biasa, diselimuti wangi cendana. Meja jati besar dengan tumpukan dokumen yang tersusun rapi.

Rak buku dengan deretan lontar dan buku-buku tebal berbahasa Belanda dan Jawa. Kursi berlapis beludru merah yang selalu diduduki Soedarsono.

Pariyem berjalan pelan, matanya menyapu sekeliling. Di atas meja, ada beberapa dokumen. Dia mengambil satu, membukanya dengan hati-hati.

Tulisan-tulisan dalam bahasa Belanda dan Jawa memenuhi kertas. Pariyem menatapnya dengan putus asa, huruf-huruf itu tidak berarti apa-apa baginya. Hanya goresan-goresan indah yang tidak bisa dia pahami.

Dia meletakkan dokumen itu kembali, mencoba dokumen lain. Sama saja. Semua tulisan. Tidak ada yang bisa dia mengerti.

“Duh Gusti … baru sadar saya ini bodonya bukan main. Padahal kalau ada kemauan, bisa saja datang ke tempat-tempat yang mau mengajar baca tulis untuk rakyat jelata.”

Tapi kemudian matanya tertangkap pada sesuatu, foto-foto. Beberapa foto dokumentasi yang disematkan pada dokumen dengan klip logam.

Pariyem mengambil foto-foto hitam putih itu, memeriksanya satu per satu.

Foto pertama: Soedarsono berdiri di samping seorang pria Belanda yang lebih tua; rambutnya putih, kumisnya lebat, seragam penuh medali.

Di belakang mereka, terlihat proyek pembangunan; jalan baru yang sedang dibangun, para kuli yang bekerja dengan cangkul dan gerobak.

Foto kedua: Soedarsono bersama pria Belanda yang sama, kali ini berdiri di depan sebuah bangunan besar, mungkin gedung pemerintahan. Keduanya tersenyum, berpose formal.

Foto ketiga: Peninjauan bendungan. Soedarsono, pria Belanda itu, dan beberapa pejabat lain berdiri di atas tanggul yang baru selesai dibangun. Air sungai mengalir deras di belakang mereka.

Pria Belanda itu bukan Marius. Wajahnya berbeda; lebih tua, lebih keras. Ini pasti Asisten Residen sebelum Marius.

Pariyem mempelajari foto-foto itu dengan teliti, mencoba mengingat setiap detail. Mungkin ini bisa berguna untuk Marius.

Tiba-tiba, suara kereta kuda dari luar. Derap kaki kuda yang cepat. Derak roda di jalan berbatu. Jantung Pariyem langsung membeku.

Dari halaman depan, terdengar suara abdi dalem berteriak mengumumkan kedatangan sang bupati.

Pariyem langsung panik. Dengan tangan gemetar, dia meletakkan foto-foto kembali ke tempatnya, merapikan dokumen persis seperti semula. Memastikan tidak ada yang berubah.

Lalu dia berlari keluar dari ruang kerja, menutup pintu dengan hati-hati, tergopoh-gopoh menyusuri longkangan menuju gandhok kulon (paviliun barat).

Napasnya terengah. Jantung berdetak begitu kencang.

Dia tidak boleh terlihat gugup atau mencurigakan. Harus bertindak normal. Seperti biasa.

Di kamar, Pariyem cepat-cepat memeriksa penampilannya di cermin. Rambutnya yang sedikit acak-acakan, dia rapikan dengan tergesa.

Bedak tipis dia oleskan ke wajah. Pemerah bibir dia tambahkan ke bibir. Celak hitam dia sapukan ke mata. Minyak melati oleskan lagi ke leher dan beberapa titik lainnya.

Harus cantik, harus menarik, harus membuat Soedarsono senang sehingga pria itu akan bicara dengan santai, lengah, memberikan informasi tanpa sadar.

Pariyem menarik napas dalam-dalam, merapikan kebaya sekali lagi, lalu berjalan keluar dengan senyum termanis yang bisa dia paksakan.

Waktunya bekerja, demi untuk melihat putranya lagi.

Tak lama, Soedarsono muncul dari balik seketheng dengan langkah tegap. Sore itu dia mengenakan beskap hitam yang lebih sederhana dari biasanya, tidak ada sulaman benang emas yang berlebihan, hanya sulaman perak tipis di tepian kerah dan ujung lengan.

Kain batik parang rusak melilit pinggang, sabuk keris pusaka di pinggangnya. Blangkon hitam terpasang rapi di kepala.

Wajahnya tampak lelah; kantung mata menghitam, garis-garis halus di dahi semakin dalam, bibir yang biasanya tersenyum lebar kini hanya melengkung tipis.

Tapi begitu mata mereka bertemu, senyum itu merekah lebar.

"Yem," sapanya hangat.

Pariyem langsung berlari pelan, memeluk suaminya dengan gerakan manja seperti dulu. Wajahnya dia benamkan di dada bidang itu, menghirup wangi cendana yang melekat di beskap.

"Ndoro," bisiknya dengan suara yang dibuat lembut dan merindukan. "Akhirnya Ndoro datang. Saya sangat merindukan Ndoro."

Soedarsono terkekeh, suara dalam yang bergetar di dadanya. Tangannya memeluk pinggang Pariyem, menarik lebih erat. Kepalanya menunduk, mengecup puncak kepala Pariyem dengan lembut.

"Kau terlihat senang sekali, Yem? Sampai berlari seperti anak kecil."

Pariyem mendongak, menatap wajah suaminya dengan mata berbinar, mata yang dipaksakan memuja, meski hatinya sudah tidak lagi milik pria ini, tapi putranya.

"Bagaimana tidak senang, Ndoro? Ndoro akhirnya datang. Saya ketakutan setiap hari ... takut Ndoro melupakan saya. Takut Ndoro tidak datang lagi setelah punya Raden Ayu baru."

Soedarsono terkekeh lagi, kali ini lebih keras. Tangannya menggenggam tangan Pariyem, menariknya menuju kursi jati berukir.

Dia duduk, lalu menarik Pariyem ke pangkuannya dengan gerakan yang sudah sangat biasa, Pariyem duduk menyamping, kaki menyilang, tangan melingkar di leher suaminya.

"Tidak mungkin aku melupakan kau, Yem," ujarnya sambil mengusap pipi Pariyem dengan punggung tangan. "Kau yang paling setia padaku. Yang selalu ada saat aku butuh. Yang tidak pernah menuntut macam-macam."

Kata-kata itu seperti sembilu yang menusuk dada Pariyem. Setia. Dia yang sekarang sudah berkhianat.

Dia yang sekarang menjadi mata-mata untuk pejabat Belanda. Dia yang sekarang akan mengorek rahasia suaminya sendiri untuk dijual pada orang lain. Rahasia yang mungkin akan menghancurkan banyak orang, termasuk Soedarsono.

Tapi apa boleh buat? Keadaan tidak adil. Soedarsono bahkan tidak tersentuh sedikitpun ketika dia memohon bertemu Pramudya.

Hanya melontarkan kata-kata penghiburan kosong—lebih baik tidak sama sekali, Yem—sebelum pergi meninggalkannya dalam kesedihan.

Kalau Soedarsono tidak adil padanya, kenapa dia harus setia?

"Ndoro terlalu baik pada saya," ucap Pariyem dengan senyum yang dipaksakan.

Soedarsono menatap wajah istrinya, wajah yang manis dengan kulit kuning langsat, mata menyipit jernih, bibir tipis yang selalu tersenyum manis untuknya.

Tangannya menarik dagu Pariyem dengan lembut, mengangkatnya, lalu mengecup bibir itu dengan perlahan. Ciuman yang membuat napas Pariyem tertahan.

Soedarsono beralih mengecup rahangnya, turun ke leher, menghirup wangi melati yang melekat di kulit. Napasnya hangat di ceruk leher, membuat dada Pariyem naik turun dengan berat.

"Kenapa kau diam, Yem?" bisiknya di telinga Pariyem. "Kau tidak secerewet dulu. Setelah melahirkan, kau jadi lebih pendiam."

1
SENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
SENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
SENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!