Fuan, seorang jenderal perempuan legendaris di dunia modern, tewas dalam ledakan yang dirancang oleh orang kepercayaannya. Bukannya masuk akhirat, jiwanya terlempar ke dunia lain—dunia para kultivator. Ia bangkit dalam tubuh Fa Niangli, permaisuri yang dibenci, dijauhi, dan dihina karena tubuhnya gemuk dan tak berguna. Setelah diracun dan dibuang ke danau, tubuh Fa Niangli mati... dan saat itulah Fuan mengambil alih. Tapi yang tak diketahui semua orang—tubuh itu menyimpan kekuatan langit dan darah klan kuno! Dan Fuan tidak pernah tahu caranya kalah...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Gua Cermin Jiwa berada di balik air terjun setengah mengambang di langit, diselubungi kabut tipis yang berkilau seperti serpihan kaca. Kapal spiritual mereka perlahan turun, mendarat di pelataran batu hitam yang hangat seperti baru terpanggang matahari.
“Ini... tempatnya?” Yuyu melongok ke arah air terjun melengkung yang seolah mengambang di udara.
Fa Niangli mengangguk. “Menurut legenda, cermin-cermin di dalam gua ini akan memperlihatkan diri sejati seseorang. Tapi... hanya mereka yang siap melihatnya yang bisa melewatinya.”
Zhu Feng menelan ludah. “Kalau aku ternyata cuma... penakut berbadan besar gimana?”
Tong Lian menepuk pundaknya. “Tenang, aku yakin bayanganmu... cuma lebih tinggi dan lebih tampan. Heh.”
Mo Qingluan memeluk Xiao Kuai erat-erat. “Kalau aku lihat diriku jadi... ayam?”
Xiao Kuai mencicit tidak setuju.
---
Mereka masuk satu per satu, disambut gema yang seolah berasal dari kedalaman ribuan tahun. Dinding-dinding gua terbuat dari kristal gelap yang memantulkan bayangan tidak sama seperti aslinya.
Di tengah gua, ada lima cermin berukuran raksasa—berbentuk kelopak bunga yang membeku.
“Sentuh satu, dan biarkan cermin membaca jiwamu,” kata Jiang Yuan pelan.
Tong Lian langsung melangkah duluan. “AKU DULUAN!”
Ia menempelkan telapak tangannya ke cermin. Seketika, cahaya melingkupinya.
Dalam pantulan, terlihat dirinya berdiri di panggung besar, ribuan orang bertepuk tangan, dan dia mengenakan jubah... berkilau emas... sambil memegang sendok raksasa.
“Wah!” serunya. “Aku jadi koki paling keren di dunia kultivasi?!”
Fa Niangli menahan tawa. “Cermin ini tidak berbohong... mungkin itulah mimpimu terdalam.”
Tong Lian: “Atau mungkin takdirku!”
Zhu Feng berjalan maju. Tangannya menyentuh cermin kedua.
Bayangannya muncul—seorang pemuda berotot berdiri di depan gerbang besar, melindungi sekelompok anak-anak kecil dari serangan kabut hitam.
Ia menggertakkan gigi. “Aku hanya ingin jadi pelindung... bukan penghancur.”
Fa Niangli mengangguk. “Dan kamu akan jadi yang terbaik, Zhu Feng.”
---
Mo Qingluan mendekat ke cermin ketiga, sedikit ragu.
Dalam pantulan, ia melihat dirinya dikelilingi ratusan makhluk roh dari segala jenis—ia sedang tertawa, memeluk seekor naga daun kecil yang berputar di udara.
Tapi... wajahnya tidak murung seperti biasanya. Ia terlihat bebas.
Mo Qingluan bergumam, “Aku ingin hidup di dunia yang tidak menilai kekuatan dari seberapa keras seseorang bertarung...”
Fa Niangli mendekat, memegang pundaknya. “Kau sudah membangun dunia itu... di sekitarmu sendiri.”
---
Yuyu, dengan enggan, menyentuh cermin keempat.
Pantulan itu memperlihatkan dirinya muda—dengan rambut pendek, tombak di tangan, berdiri di tengah padang pertempuran.
Tapi di sekitarnya... murid-murid Fa Niangli tertawa, dan dia tersenyum bersama mereka.
“Dulu... aku ingin jadi pendekar,” gumamnya. “Tapi ternyata... aku cuma jadi pengurus dapur.”
Tong Lian menepuk bahunya. “Dan tidak ada yang bisa menggantikanmu sebagai penjaga kebahagiaan di dapur!”
Yuyu mencibir sambil merah padam.
---
Terakhir, Fa Niangli berdiri di depan cermin kelima.
Semua menahan napas.
Dalam pantulan, terlihat dirinya—dalam pakaian pertempuran kuno, berdiri di tepi dunia yang runtuh. Tapi di belakangnya... puluhan ribu orang berdiri. Murid. Rakyat. Binatang roh. Dan... bayangan sosok ayah, ibu, dan Fa Jinhai.
Fa Niangli dalam pantulan menoleh ke dirinya sendiri—dan tersenyum.
Kemudian berkata,
"Kau adalah kita. Dan kita akan selalu menunggu sampai kau percaya bahwa kau layak memimpin." Fa Niangli memejamkan mata.
---
Setelah semua selesai, cermin-cermin bersinar dan membuka jalan rahasia di bawah gua. Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil... hanya berisi satu benda: jimat dari giok putih dengan simbol naga mengelilingi bulan.
Fa Niangli mengambilnya.
Seketika itu, gema bergema di seluruh gua, "Satu bayangan, satu cahaya. Bila ingin membuka Gerbang Langit... maka jiwa sejati harus diakui."
Jiang Yuan bergumam, “Ini... kunci untuk membuka gerbang. Tapi hanya bisa diaktifkan oleh yang telah menerima dirinya sepenuhnya.”
Fa Niangli menatap jimat itu. “Satu langkah lebih dekat,” gumamnya.
---
Dalam perjalanan keluar dari gua, Tong Lian mengangkat tangan. “Boleh nggak aku nulis buku berjudul ‘Bayangan Cermin: Resep dan Takdir’?”
Zhu Feng tertawa. “Asal jangan pakai fotoku waktu kecil!”
Mo Qingluan: “Xiao Kuai mau jadi maskot buku.”
Yuyu: “Aku yang desain”
Fa Niangli menahan senyum.
Di tengah kabut, suara tawa mereka bergema. Di dunia yang penuh rahasia dan takdir, satu hal sudah pasti—
Mereka akan menghadapinya bersama.
...----------------...
Malam setelah mereka kembali dari Gua Cermin Jiwa, langit di atas Lembah Langit Tertinggi tampak lebih jernih dari biasanya. Bintang-bintang bersinar terang, seolah menyampaikan sesuatu yang hanya bisa dibaca oleh langit itu sendiri.
Fa Niangli duduk di atap aula utama sambil memandangi langit.
“Kadang aku lupa... dunia ini bisa tenang juga,” gumamnya.
“Kalau semua tenang terus, kita bisa jadi sekte taman bunga, bukan sekte kultivator,” ujar Tong Lian yang entah bagaimana sudah memanjat ke atap dengan semangka dan garpu di tangan.
Mo Qingluan juga muncul, bersama Xiao Kuai yang memakai topi jerami kecil.
Zhu Feng membawa alas duduk dan seguci susu spiritual. “Yuyu bilang kalau kita begadang tanpa cemilan, langit bisa marah.”
Fa Niangli menahan tawa. “Aku rasa... Yuyu yang akan marah.”
---
Tiba-tiba, cahaya keemasan melintas di langit. Sebuah simbol spiral muncul perlahan di udara, seperti lingkaran yang memutar waktu.
Mo Qingluan menatapnya. “Simbol komunikasi... dari Langit?”
Fa Niangli berdiri. Simbol itu perlahan turun dan berubah menjadi gulungan yang melayang ke tangannya. Ia membukanya dengan hati-hati.
Isi suratnya hanya dua baris:
"Pelindung yang hilang telah kembali. Di bawah Gunung Salju Guntur, rahasia yang terkubur akan terbuka."
Zhu Feng mengerutkan dahi. “Gunung Salju Guntur... itu wilayah tertutup, kan?”
Tong Lian: “Tempat itu dingin banget. Bahkan kentang bisa jadi batu.”
Mo Qingluan mengangguk. “Dulu tempat itu digunakan untuk melatih kultivator es tingkat tinggi. Tapi sekarang... tertutup kabut beku.”
Fa Niangli menggenggam surat itu. “Jika seseorang dari masa lalu kami muncul di sana, kita harus datang.”
--
Perjalanan ke Gunung Salju Guntur memakan waktu tiga hari dengan kapal spiritual.
Saat melewati lembah kabut dingin, tiba-tiba mereka dihentikan oleh serombongan kelinci bersalju—makhluk roh kecil yang menghalangi jalan sambil... menari.
“Kenapa mereka nari?” tanya Zhu Feng.
Tong Lian menatap serius. “Ini pasti... ritual penyambutan. Atau... tantangan dansa.”
Mo Qingluan menyodorkan beberapa buah beri beku. “Kalau diberi makanan, mungkin mereka membiarkan kita lewat.”
Xiao Kuai mencicit, lalu... ikut menari bersama kelinci-kelinci itu.
“...Aku tidak tahu apakah ini pertarungan roh atau konser alam,” gumam Fa Niangli sambil menahan tawa.
Setelah pertunjukan dadakan itu, jalan terbuka. Bahkan kelinci itu memberi bunga es kecil ke Mo Qingluan sebelum menghilang dalam kabut.
---
Sesampainya di kaki Gunung Salju Guntur, kabut begitu tebal hingga jarak pandang hanya tiga langkah.
Namun... di tengah kabut itu, berdiri sosok seseorang.
Seorang lelaki berambut perak panjang, mata seperti danau beku, berdiri memegang tombak es.
Fa Niangli berhenti melangkah.
“...Qin Shuang?” bisiknya.
Jiang Yuan terkejut. “Kau kenal dia?”
“Dia... salah satu pelindung utama sekte kita dulu. Tapi dia hilang di tahun terakhir... sebelum ‘menghilang’ dari dunia ini.”
Pria itu perlahan melangkah maju. “Fa Niangli... kau kembali. Dan kau membawa cahaya bersamamu.”
---
Ia menjatuhkan diri berlutut.
“Aku gagal menjaga benteng Gunung Salju Guntur. Tapi aku masih menyimpan kunci terakhir gerbang batu—pusaka pelindung terakhir sebelum sekte runtuh.”
Fa Niangli memegang bahunya.
“Kau tidak gagal. Kamu bertahan. Dan sekarang, kita akan hidupkan semuanya lagi—dengan cara yang baru.”
---
Malam itu, mereka berkemah di tengah salju, dekat api spiritual biru. Di sana Qin Shuang menceritakan apa yang terjadi setelah kepergian Fa Niangli dulu.
Bahwa dia bertarung sampai satu per satu pelindung gugur, bahwa dia berjanji menjaga pusaka terakhir, dan selama ini tinggal di balik kabut menunggu sinyal pemurni langit.
“Dan sekarang, aku percaya... aku sudah tidak sendiri lagi.”
Zhu Feng menepuk pundaknya. “Kita satu keluarga besar sekarang.”
Tong Lian: “Dengan jadwal makan tiga kali dan cemilan lima kali.”
Mo Qingluan tersenyum. “Dan ada Xiao Kuai.”
Xiao Kuai mencicit bangga.
---
Fa Niangli menatap langit malam. Ia tahu—jalannya masih panjang, dan gerbang belum terbuka.
Tapi ia tahu satu hal:
Apa pun yang menanti, kini ia tidak sendirian.
Dan di dalam dadanya, jimat naga bulan bergetar pelan, seolah... gerbang itu perlahan membuka diri.
Bersambung