Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Frustasi
Bu Liza terbatuk saat memasuki kamar temaram putranya, hidungnya menghirup pekat aroma nikotin di area tersebut.
"Mas, merokok?" tanya Bu Liza dengan tangan mengibas di udara.
Cowok dalam keremangan cahaya mematahkan sebatang rokok terselip diantara jari telunjuk dan tengah, lalu menjatuhkannya ke lantai, menginjaknya.
"Enggak."
Tidak percaya pengakuan putranya, Bu Liza mencari saklar lampu dan menekan nyala.
"Matikan kembali Bunda," suruh Sangga, keberatan ruangan pribadinya terang benderang.
"Menyendiri dalam kegelapan tidak baik bagi kinerja otak, Mas sedang melamunkan apa sampai berani merokok segala," ujar Bu Liza mendekati.
"Mikirin hidup."
"Angkat kakinya, Bunda tau kamu menginjak puntung rokok," kata Bu Liza.
Remaja tengah duduk di tepi kasur menggeser kaki kirinya, Bu Liza menemukan abu dan potongan puntung rokok.
"Habis berapa batang? Banyak begini bekasnya," tanya Bu Liza.
"Setengah bungkus."
Terkejut anaknya menyesap rokok sebanyak itu, Bu Liza memeriksa kantung celana Sangga.
"Mana setengahnya lagi? Serahin ke Bunda!" pinta Bu Liza.
"Habis."
Terlambat menyita benda mengandung zat adiktif, Bu Liza memijat kening.
"Stop mengkonsumsi barang seperti itu, Mas. Efeknya tak bagus bagi kesehatan, kamu bisa terpapar penyakit berbahaya seperti kardiovaskular, radang paru, asam lambung dan lainnya, sejak kapan kamu nakal seperti ini?" todong Bu Liza.
"Sejak kelas sebelas semester satu."
Mata Bu Liza melebar sempurna. "Ulang sekali lagi, jangan bohongi Bunda!"
Sangga menghembus gusar. "Aku ketergantungan dari kelas sebelas semester satu."
Kejujuran Sangga membuat Bu Liza terhuyung hilang keseimbangan berdiri.
"Bunda enggak perlu kaget aku nakal di belakang semua orang. Aku seperti ini gara-gara kurang didikan seorang ayah dan ibu, lingkungan hidupku berperan penting membentuk diriku yang sekarang lebih buruk. Aku enggak sebaik penilaian orang-orang di luar sana, Kevin yang Bunda anggap bandel enggak ada apa-apanya dibanding dengan aku yang kewarasannya setengah pudar karena tertekan," tutur Sangga.
"Mas bicara apa? Bunda tidak mengerti."
"Hidupku berantakan Bun. Aku berusaha menjaga kewarasan di tengah-tengah banyaknya masalah datang silih berganti, tetapi apa hasilnya? Aku tertekan dari berbagai arah, aku capek menghadapi ketidakadilan dalam hidup, aku putuskan malam ini meninggalkan kediaman dan asrama," sambung Sangga.
"Jangan gegabah mengambil keputusan, jika Mas pergi, bagaimana dengan pendidikan di sini?"
"Aku hilang ketertarikan melanjutkan studi, semenjak pernikahan terjadi yang ku pikirkan setiap hari bukan lagi mata pelajaran bukan fakultas kedokteran di ujung pandang bukan cita-cita ku ingin menjadi seorang dokter seperti dokter Aga. Tetapi gimana caraku menghidupi Natasha dan memberikan kebahagiaan untuknya, prioritasku udah berbeda, hidupku enggak sendiri lagi, pada akhirnya... hubunganku dan Natasha akan diketahui warga asrama. Aku malas meladeni omongan orang yang sangat mudahnya mengomentari tanpa merasakan seberat apa masalah ditanggung olehku," jelas Sangga panjang lebar.
"Apa Bunda dengar cerita klarifikasi ku tentang Adara? Maaf, aku membongkar rahasia besar keluarga Evander, aku enggak tahan lagi menyembunyikan hubunganku yang sebenarnya dengan Adara. Bunda tau, saat teman-temanku mengetahui kenyataan itu, mereka amat kecewa dan memukuliku karena tidak terima dibohongi selama itu. Masalah lainnya, soal pernikahanku dengan Natasha, terkadang aku ingin mengumumkan kepada semua penghuni asrama bahwa aku dan Natasha udah nikah, tetapi aku selalu takut gimana perasaan istriku kalau aku membocorkannya, seperti apa reaksi Natasha nanti? Marah-marah, kah? Mengutuk hidupku atau mencekik leherku? Memikirkannya bikin kepalaku serasa mau pecah," frustasi Sangga.
Bu Liza terkulai duduk, turut terluka melihat putranya belum cukup umur dipaksa keadaan memiliki pasangan hingga tertekan seperti ini.
"Keputusanku udah bulat Bun. Malam ini, ijinkan aku pergi membawa Natasha, jangan risaukan aku yang nanti tinggal di mana, jagalah Adara sebaik mungkin, aku mana sanggup menatap matanya lagi, obsesi diidap Adara membuatku nyaris gila. Semoga dengan aku berjauhan darinya, hubungan kita berubah menjadi saudara layaknya keluarga. Bunda bilang, sifat mandiri kunci keberanian dalam menghadapi berbagai kondisi hidup, mulai hari ini, aku ingin menerapkannya dikehidupan baruku. Besok, terserah Bunda mau membongkar statusku kepada semua murid, aku pasrah."
Beranjak menuju lemari, Sangga membuka ransel, mengemas beberapa setelan pakaiannya.
"Tolong jangan pergi, Mas! Adara belum sembuh, jika dia tau kamu meninggalkan rumah, perasaanya akan terguncang lagi," isak Bu Liza.
"Justru itu, aku muak menuruti permintaan Bunda! Aku enggak mampu memberikan kasih sayangku untuk Adara. Aku takut dia menyalah artikan ketulusan kuberikan, aku takut dia tenggelam dalam obsesinya dan tak bisa membedakan antara peduli dan jatuh hati! Kepalaku mengepul panas mencari solusinya, dan mungkin jalan terbaik untuk kesembuhan adikku melalui perpisahan ini!" Sangga memukul pintu lemari.
"Aku tau Bunda menginginkan kesembuhan Adara, tapi mengorbankan kepedulian ku, apa pernah Bunda memikirkan dampak mental diriku? Apa pernah, Bunda mencemaskan aku, memikirkan keputusanku bila aku mencurahkan kasih sayangku kepada Adara padahal itu sangat berbahaya dilakukan, gimana kalau kedepannya mentalku terganggu? Bukan Adara aja yang wajib diperhatikan, aku 'pun butuh! Selama ini, yang Bunda pikirkan cuma Adara, selain itu aku bukan apa-apa," keluh Sangga.
"Bunda tidak pilih kasih! Bunda hanya mengikuti saran psikiater! Dokter menyarankan agar keluarga Adara mendukung terapi penyembuhannya, sebagai ibu dan kakak, tidak ada salahnya membantu Adara sembuh dari fase abnormalnya!" sahut Bu Liza menangis tersedu.
"Maaf Bun, aku enggak bisa bantu Adara lagi. Aku takut perasaan dimiliki ku bersemayam untuknya, aku takut mencintai balik adikku sendiri," ungkap Sangga.
Wajah Bu Liza banjir air mata, meratapi kegagalannya menjadi ibu dalam mendidik anak-anaknya, putri kesayangannya mengidap obsessive love disorder sementara putra kebanggaannya dilanda frustasi tertekan keadaan.
"Palsukan kepergianku pada Adara. Aku pamit," pungkas Sangga menarik resleting ransel, menyambar kunci lemari, kunci motor, dompet, sweater hitam serta sebuah earphone.
Remaja diujung kemarahan pada beberapa hal melengos pergi berencana membawa kabur Natasha malam ini.