NovelToon NovelToon
RITUAL

RITUAL

Status: tamat
Genre:Horor / Rumahhantu / Roh Supernatural / Tamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Its Zahra CHAN Gacha

Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tarian Penutup Gerbang

Subuh menjelang di Desa P, tapi cahaya matahari belum sanggup menembus pekatnya kabut yang menggantung di sekitar rumah tua Ratri. Suasana mencekam seperti menandai bahwa malam belum sepenuhnya berakhir—karena malam itu masih menyimpan satu ritual terakhir yang belum dituntaskan.

Ratri berdiri di halaman belakang, di hadapan panggung gaib dari akar beringin yang muncul semalam. Panggung itu kini tampak lebih nyata. Kayunya berdenyut, seperti bernapas. Udara di sekeliling terasa berat, seolah ruang itu tidak hanya milik dunia nyata.

Subhan meletakkan keris pusaka dan botol darah di sisi panggung. “Ini tarian terakhir,” ucapnya. “Jika kau berhasil menyelesaikannya, gerbang dunia Lembayung akan tertutup. Tapi… jika kau gagal, jiwamu bisa terjebak di antara dua dunia.”

Ratri mengangguk. “Kalau memang harus ada yang mengakhiri ini, biar aku.”

Aminah memeluk putrinya sambil menangis. “Kau tak harus menanggung ini semua sendirian…”

Ratri menatap ibunya, lembut. “Tapi ini warisanku, Bu. Dan aku ingin jadi orang terakhir yang mewarisinya.”

---

Ratri naik ke atas panggung dengan langkah pelan. Di belakangnya, Lala dan murid-murid yang tersisa menabuh gamelan perlahan—alunan yang telah diajarkan Subhan, berdasarkan naskah kuno: Gending Penutup Gerbang.

Saat tabuhan kendang pertama bergema, udara berubah.

Angin berputar dari segala arah. Tanah bergetar pelan. Di ujung pohon beringin, sosok-sosok kabur mulai bermunculan—bayangan dari penari-penari masa lalu yang menjadi korban Lembayung. Mata mereka kosong, tangan mereka mengarah ke panggung.

Ratri mulai menari.

Gerakannya lambat, penuh penekanan pada setiap putaran dan hentakan kaki. Tidak seperti tarian Reog biasa, gerakan ini murni ritual pengusiran—tarian yang menyampaikan pesan:

“Pergilah. Tempatmu bukan lagi di sini.”

Di tengah tarian, udara di atas panggung menghitam. Suara tawa Lembayung menggema:

“Kau pikir kau bisa menolakku dengan gerak tubuh?”

Dari pusaran kabut, muncul sosok Lembayung utuh. Kini ia mengenakan kebaya merah darah, rambutnya melambai panjang, dan matanya bersinar putih. Ia melayang tepat di atas kepala Ratri.

“Kau bukan penari terakhir, Ratri. Aku adalah tarian itu sendiri.”

Ratri menutup mata, lalu membuka gerakan terakhir yang tak pernah diajarkan oleh siapapun: “Suwuk Jagat”—gerakan pemutus lintas alam.

Tubuhnya berputar, satu kaki menendang ke belakang, tangan membentuk lingkaran lalu menyatu ke dada, kepala menunduk, dan napas ditarik panjang—seluruh energi dalam tubuhnya dilepaskan ke tanah.

Tabuhan gamelan berhenti mendadak.

Cahaya terang meledak dari tanah panggung.

Sosok Lembayung menjerit keras:

“TIDAAAAAAK!!!”

Tubuhnya terurai menjadi ribuan serpihan hitam, lalu menghilang ke dalam akar-akar pohon beringin. Panggung berguncang keras, sebelum akhirnya roboh dan berubah menjadi tanah biasa—kering, sunyi, tanpa aura mistis.

---

Ratri roboh di panggung. Raditya dan Subhan berlari memeluknya.

Ia membuka mata perlahan.

“Sudah… selesai?” bisiknya.

Subhan tersenyum. “Sudah. Kau berhasil.”

Dari kejauhan, para penari arwah yang tadi menyaksikan… menghilang satu per satu. Wajah mereka tenang, seolah akhirnya mereka dibebaskan dari kutukan ratusan tahun.

---

Matahari akhirnya menembus kabut. Desa P tampak lebih damai. Rumah-rumah yang tadinya tertutup mulai dibuka. Orang-orang keluar, bingung tapi lega, seolah kabut yang selama ini menyelimuti desa… akhirnya pergi.

Aminah memeluk Ratri di pelataran rumah.

“Kau bukan hanya menari untuk menebus diri sendiri, Rat. Tapi untuk seluruh leluhur kita.”

Ratri menatap sanggar dari kejauhan. “Kalau begitu, inilah waktunya… aku menari karena ingin, bukan karena dipilih.”

Satu bulan telah berlalu sejak malam terakhir di Desa P.

Pohon beringin tua kini hanya tinggal batang kosong, sementara panggung ritual yang dulu muncul dari akar telah menyatu kembali dengan tanah. Ratri berdiri di beranda rumah masa kecilnya, mengenakan kain batik dan atasan putih sederhana. Rambutnya di kuncir rendah, wajahnya tenang.

Ia tidak lagi dihantui mimpi buruk.

Tidak lagi mendengar suara gamelan di tengah malam.

Tidak lagi merasa ditarik oleh bayangan penari yang haus tubuh.

Yang tersisa hanyalah keheningan.

Dan… pilihan.

---

Ratri memutuskan untuk kembali ke Solo, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk memulai ulang. Ia tidak akan membiarkan sejarah terulang, apalagi pada Lala dan murid-murid lainnya. Sanggar yang dulu nyaris menjadi panggung para jin, kini dibersihkan total. Dindingnya dicat ulang, altar dibongkar, dan aula latihan dipenuhi cahaya dari jendela-jendela lebar yang baru.

Ratri juga membuka kelas baru khusus tarian spiritual Jawa, tapi tanpa embel-embel ritual gaib. Ia mengajarkan makna gerak, kekuatan batin, dan cara menari untuk menyembuhkan diri—bukan untuk membuka pintu ke dunia lain.

Lala duduk di baris depan, lebih tenang dan ceria dari sebelumnya. Kini, ia menjadi asisten pribadi Ratri.

“Kalau nanti aku dewasa, aku ingin buka sanggar juga, Kak,” ujarnya sambil tersenyum.

“Buka, La,” kata Ratri sambil merapikan rambut gadis itu. “Tapi pastikan kamu memilih jalurmu sendiri. Jangan biarkan orang lain memilihkan.”

---

Malam itu, di meja ruang kerja sanggar, Ratri membuka tumpukan surat yang belum sempat ia baca sejak kembali. Sebagian besar adalah undangan pentas, tawaran sponsor, atau ucapan terima kasih dari mantan murid.

Namun satu amplop berbeda. Kertasnya berwarna hitam kelam. Tidak ada alamat, hanya nama:

Untuk: Ratri Pratiwi – Penari Terakhir Garis Tengah

Ratri membukanya perlahan.

Tulisan tangan halus menari di atas kertas:

“Selamat telah menutup satu pintu. Tapi apakah kau tahu bahwa tubuhmu hanya satu dari tiga yang telah disiapkan oleh Lembayung?

Aku… adalah pewaris dari Garis Timur. Dan aku tidak pernah berniat menolak warisan kami. Jika kau ingin tahu siapa yang benar-benar memilih jalan ini… datanglah ke Banyuwangi.”

Tidak ada tanda tangan.

Hanya ukiran kecil bergambar topeng penari dengan mulut terjahit.

---

Ratri memandangi surat itu lama.

Raditya masuk, membawa dua cangkir teh. Ia menatap surat yang ada di tangan Ratri.

“Gangguan baru?” tanyanya.

Ratri menggeleng pelan. Senyumnya tipis tapi matanya bersinar penuh tekad.

“Bukan gangguan… ini tantangan.”

Ia menatap Raditya.

“Kau siap kalau kita harus menari lebih jauh lagi?”

Raditya mengangguk, menggenggam tangannya.

“Aku menari bersamamu. Selalu.”

---

Dan malam itu, langit Solo tampak jernih. Tapi di sudut timur… bulan menggantung lebih merah dari biasanya.

Tanda bahwa tarian baru sedang menunggu.

Baik, kita mulai Bagian Ketiga dari Ritual berjudul Tarian dalam Bayang Darah.

--

Kereta malam menuju Banyuwangi menderu pelan melewati sawah-sawah yang tertidur. Lampu-lampu desa tampak seperti titik-titik kuning jauh di kejauhan. Ratri duduk di dekat jendela, surat hitam itu terselip di dalam buku catatan di pangkuannya.

Raditya duduk di seberang, terjaga penuh. Tangannya menggenggam keris pusaka yang kini selalu ia bawa sejak peristiwa di Desa P. “Kau yakin ini bukan jebakan?” tanyanya.

Ratri menatap keluar, melihat bayangan pepohonan yang bergerak mundur. “Aku tidak tahu. Tapi kalau mereka benar-benar dari ‘Garis Timur’, berarti mereka punya pengetahuan yang tidak kita miliki. Dan aku… butuh tahu kenapa Lembayung memilih tiga garis.”

Raditya terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Baik. Tapi kita harus siapkan diri. Garis Timur dikenal… berbeda.”

---

Pagi buta, kereta tiba di Stasiun Banyuwangi Baru. Udara di sini lebih lembab, bercampur bau asin laut. Saat mereka keluar, seorang pria tua dengan mata tajam sudah menunggu di peron.

“Ratri Pratiwi?” suaranya serak tapi tegas.

Ratri mengangguk.

“Namaku Wiryawan. Aku diutus untuk membawamu ke padepokan,” katanya sambil membalikkan badan dan berjalan tanpa menunggu jawaban. Langkahnya cepat, meski usia jelas tidak muda.

Raditya menatap Ratri, tapi keduanya tetap mengikuti.

---

Padepokan itu berada di lereng bukit, tersembunyi di antara pohon jati. Bangunannya besar, tapi tidak seperti sanggar seni biasa—dindingnya dihiasi ukiran wajah-wajah penari bertopeng, semua dengan mulut terjahit rapi.

Di halaman tengah, belasan penari wanita berlatih. Gerakan mereka anggun, tapi ada sesuatu yang ganjil… setiap hentakan kaki diiringi bunyi lonceng kecil yang tergantung di pergelangan kaki, seolah setiap gerak mereka menandai sesuatu di alam lain.

Wiryawan berhenti di depan aula utama. “Pemimpin kami menunggu di dalam.”

---

Di dalam, duduk seorang wanita paruh baya dengan kebaya hitam dan selendang merah darah. Wajahnya cantik, tapi matanya dingin. Di dahinya terdapat titik merah yang memancarkan cahaya samar.

“Selamat datang, Ratri,” ucapnya tanpa senyum. “Namaku Sekar Ayu. Aku pewaris Garis Timur.”

Ratri duduk di hadapannya. “Kau yang mengirim surat itu?”

Sekar Ayu tersenyum tipis. “Ya. Dan aku ingin kau bergabung. Garis Tengah sudah gagal menjaga warisan—aku ingin kita menyatukannya kembali.”

“Untuk apa?” tanya Ratri.

Tatapan Sekar Ayu mengeras. “Untuk membangkitkan Lembayung. Sepenuhnya.”

---

Suara gamelan terdengar dari luar. Tapi bukan gamelan biasa. Ritmenya lambat, berat, dan setiap nada seperti memukul langsung ke dada.

Ratri sadar… ia baru saja melangkah ke tempat yang tidak ingin menutup gerbang, melainkan membukanya selebar mungkin.

---

1
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
tiba-tiba ada Prayitno
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
lagi serius baca ada pengulangan cerita 🤭
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
Ratri kembali di kuasai roh tubuhnya
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
Raditya sama rehan kemana
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
serem bener topeng tapi terbuat dari mata manusia
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
ayo Ratri kamu bisa
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
jiwa Ratri udah di kurung
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
Ratri masuk jebakan kayanya pengikut setia lembayung
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
akhirnya terlepas juga dari tubuh Lala
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
maksa bener nyari wadah Ratri ga mau malah muridnya
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
untung ada Raditya dan Raihan yg membantu Ratri
Yulay Yuli
diulang² tulisannya thour
Yulay Yuli
keren ya, ceritanya 👍
🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ
skrg korban nya lala
🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ
wah bisa gawat tuh
🥑⃟𝚜𝚌𝚑𝚊𝚝𝚣𝚒🦊⃫⃟⃤ₕᵢₐₜ
semoga bnr² bebas
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
penari2 leluhur udah bangun ayo di buat tidur lagi Ratri
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
ternyata masalah Ratri belum tuntas semua
⸙ᵍᵏTitian 𝐙⃝🦜pirman🦈
tari memang budaya tapi kalau pakai mistik bukan budaya lagi melainkan bencana
Yulay Yuli
keren kata²thour 👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!