NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sarkas Tapi Sayang

Langit jingga merekah di atas Alverio University. Langkah mahasiswa mulai menurun jumlahnya, beberapa duduk-duduk santai di taman, sebagian lainnya melangkah cepat ke halte atau tempat parkir.

Kenzie baru keluar dari ruang kuliah.

Kemeja putihnya dilipat sampai siku, tas selempang di bahu. Rambutnya sedikit acak karena semilir angin.

Smartphone bergetar. Nama ‘Aluna—Artisku’ muncul di layar. Kenzie tersenyum kecil lalu menerima panggilan.

“Halo, Bang...” Suara lembut Aluna terdengar agak lelah, tapi tetap ceria.

“Halo juga. Lo nggak syuting?” Kenzie menjawab sambil melangkah ke arah tempat duduk di taman kampus.

“Baru selesai adegan terakhir. Besok lanjut. Tapi gue semangat banget karena banyak yang bilang akting gue lucu sekarang.” Aluna terdengar bangga, tapi juga geli pada dirinya sendiri.

“Ya bagus dong. Lebih baik jadi lucu daripada jadi simbol plus-plus mulu.” Kenzie terkekeh, menekan nada menyindir tapi ringan.

“Huh! Itu bukan salah gue, itu naskah dulu... Tapi aneh sih, sekarang gue main drama action atau komedi terus. Biasanya Alaric milihin yang plus-plus terus. Mungkin dia mulai peduli sama gue ya.”

Kenzie menunduk. Matanya terpaku pada rerumputan, senyum tipis di bibirnya.

“Ya... mungkin sekarang waktunya lo bikin orang tertawa atau berdebar karena plot, bukan karena baju terbuka.” Menjadi sosok yang diam-diam merubah kehidupan Aluna, Kenzie merasa tenang.

Aluna tertawa pelan. “Iya juga. Dan sekarang udah ada Arshen... Masa mamanya bikin skandal di drama TV.”

Kenzie menahan napas. Ia ingin sekali mengatakan bahwa semua ini bukan kebetulan. Bahwa dirinyalah yang berdiskusi dengan Alaric, mengatur naskah, memilih skrip, bahkan mem-filter proposal.

Tapi ia memilih diam. Cukup dengan mendengar tawa Aluna dari seberang.

“Eh, Bang... lo udah semester akhir ya? Ayo cepetan lulus! Biar lo bisa lebih bebas ngatur agensi-agensian itu. Kita bisa kerja bareng lagi. Kayak dulu!”

“Iya,” jawab Kenzie pendek.

Suara Aluna membuat hari yang melelahkan terasa lebih ringan. “Udah ya, gue mau mandi dulu. Arshen belum bisa ditinggal lama-lama.”

“Oke. Salam buat Arshen. Dan... semangat kursus bela diri dan lawaknya ya.”

“Siap!”

Panggilan berakhir. Kenzie menatap layar smartphonenya lama. Kemudian menyimpannya ke saku, bangkit, dan berjalan menjauh dari taman kampus. Langkahnya lambat. Tapi ringan.

Tiba-tiba, suara nyaring tapi manja menyapanya dari samping.

“Om!”

Langkah Kenzie terhenti. Ia menoleh dan menatap seorang gadis berambut pirang ash blonde, mengenakan kemeja kotak-kotak tipis dan rok denim pendek. Gaya nyentrik, tapi wajahnya menawan.

Senara.

“Om? Serius?” Kenzie menaikkan alis sambil tersenyum setengah geli.

“Emangnya bukan? Om, ‘kan, udah tiga puluhan ke atas,” ujar Senara santai, mengayunkan langkah mendekat, tangan di saku rok. “Kayaknya pernah lihat deh... Om pernah bareng Kak Aluna, ‘kan?”

Kenzie sempat tertegun. Pandangan matanya melembut saat nama itu disebut. “Hmm, iya. Dulu aku CEO agensinya.”

Senara manggut-manggut. “Pantas jadi Om-nya Aluna, dong.”

“Lebih ke... mantan bos.”

“Lucu juga. Aku kira Abang aku yang super dingin itu nggak punya koneksi sebanyak itu.”

Kenzie menyipitkan mata. “Abangmu?”

“Alaric. Aku Senara Alverio. Baru pindah lagi ke sini setelah tinggal lama di luar negeri.”

Kenzie refleks menjabat tangan Senara yang menyodorkan tangan cepat. “Baru tahu Alaric punya adik perempuan.”

“Nggak salah. Dia juga suka lupa punya adik.”

Senara tertawa ringan.

Mereka berjalan berdampingan sebentar. 

“Kalau gitu, kalau aku ada masalah soal kampus atau tugas... bisa dong minta bantuan ke Om Kenzie.” Senara berkedip manja, main-main.

Kenzie tersenyum simpul. “Kalau panggilannya diubah, mungkin bisa dipertimbangkan.”

“Oke, Kak Kenzie... Sampai ketemu lagi.”

Senara melambai sebelum berbalik cepat, langkahnya ringan. Rambut pirangnya melambai ditiup angin.

Kenzie menatap punggung gadis itu sejenak. Tak banyak yang membuatnya tertarik... tapi adik Alaric ini sepertinya punya warna tersendiri.

Senara sempat dilarang Alaric dekat-dekat dengan pria 30 tahunan yang dekat dengan Aluna di kampus. Bagian Senara, larangan adalah perintah.

...***...

Langit jingga mulai merayap di antara gedung-gedung kampus. Beberapa mahasiswa masih lalu lalang di trotoar, namun suasana sudah mulai lengang.

Ares berdiri di samping motor sport hitamnya, helm sudah di tangan. Ia menyender ringan ke body motor, menunggu.

Dari arah pintu utama kampus, Senara muncul. “Tumben rapi.” Senara mencibir sambil menyambar helm dari tangan Ares.

“Kalo bonceng kamu harus cakep,” jawab Ares santai, lalu naik ke motor lebih dulu.

Senara ikut naik, menyampirkan satu kaki lalu duduk rapat di jok belakang. Tangannya tanpa ragu merengkuh pinggang Ares.

Detik itu juga, Ares menoleh sedikit. “Udah biasa pegang cowok ya?”

“Hampir tiap hari sama cowok yang berbeda. Tapi kali ini cuman satu, kok,” balas Senara, senyum nakal.

Ares hanya terkekeh. Lalu menarik gas perlahan. Motor sport hitam itu melaju melewati halaman kampus dengan deru halus. 

Senara memeluk lebih erat saat angin menerpa wajah mereka. Matanya menyipit, rambutnya terbang ke belakang, dan wajahnya bersandar ringan di punggung Ares.

Mereka berhenti sejenak di depan gerbang besar kampus. Lampu merah di ujung jalan besar menyala. 

Ares menoleh sedikit ke belakang. “Mau langsung ke tempat biasa, atau jalan dulu keliling kota?”

Senara mengangguk kecil. “Keliling. Aku pengen duduk di boncengan lebih lama.”

Ares menekan gas lagi. Motor mereka melesat perlahan menuju jalan besar, menyatu dengan keramaian kota.

Motor Ares melaju pelan di sisi kiri jalan, sesekali dilewati kendaraan lain. Kecepatan lambat, bukan karena macet. Tapi karena mereka ingin bicara.

Suara mesin yang tak terlalu bising membuat percakapan terdengar jelas.

Angin menyapu pelan ujung rambut Senara, membuat helaiannya terselip di helm dan mengenai leher Ares.

Senara mengeratkan pelukannya. Pinggang Ares terasa hangat di balik jaket denim. Wajah Senara mendekat sedikit ke belakang telinga Ares, lalu bicara dengan nada pelan namun jelas.

“Kamu masih inget nggak… waktu kita bolos demi liat film jam 11 siang?”

Ares tertawa pelan, bahunya bergerak naik turun. “Filmnya jelek. Tapi popcorn kamu tumpah ke bajuku, dan kamu malah ketawa satu bioskop.”

Senara tersenyum di balik helm. Ia menyandarkan dagunya ke punggung Ares. “Dulu aku pikir kamu bakal pacaran sama si Nayla. Kalian deket banget.”

Ares menimpali cepat. “Nggak. Dulu aku nunggu kamu. Waktu kamu bilang aku nggak boleh pacaran sampe kamu balik, aku anggap serius.”

Motor masih melaju pelan, hampir seperti jalan santai.

Senara mendesah lembut, dadanya hangat oleh kata-kata itu. Ia menelusuri kenangan masa remaja mereka, saat janji kecil jadi pengikat diam-diam.

“Tapi kamu nunggu terlalu lama. Aku banyak berubah, Ares...”

“Tapi perasaanku ke kamu nggak berubah.”

Motor berhenti di lampu merah. Ares menoleh setengah, wajahnya hanya beberapa senti dari helm Senara.

“Aku masih suka kamu. Meskipun kamu sekarang suka bilang mantanmu banyak. Tapi yang aku bonceng cuma satu…”

Senara tertawa kecil. Lampu hijau. Tapi motor tak langsung jalan. Ares menatap ke depan, lalu menoleh sedikit lagi.

“Senara…”

“Hmm?”

“Jangan pergi lagi, ya!”

Senara diam. Tak ada jawaban—tapi pelukannya di pinggang Ares makin erat. Jawaban itu lebih kuat dari kata-kata. Motor kembali melaju. Lambat. Seolah waktu ingin memperpanjang kebersamaan mereka.

...***...

Kedai Kopi Pinggir Kota—Dekat SMP Alverio, Penuh Kenangan Masa SMP

Langkah kaki mereka melambat saat memasuki kedai. Aroma kopi dan kayu manis menyambut dengan hangat. Interiornya hangat, remang, dihiasi lampu gantung kecil dan meja-meja kayu bulat yang familiar.

Ares dan Senara langsung ke counter.

“Hazelnut latte biasa?” Ares bertanya sambil tersenyum menoleh ke Senara.

Senara mengangguk. “Kamu ingat, ya?”

Ares membayar. Sementara itu pelanggan lain mulai berdatangan. Seorang pria besar nyaris menyenggol Senara saat hendak memesan. Refleks, Ares mencondongkan badan ke sisi Senara dan mengangkat tangan, melindungi bahu gadis itu dari bahu si pria.

Sikapnya spontan, cepat, dan tidak dibuat-buat.

Setelah pesanannya selesai, Ares meraih pergelangan tangan Senara dengan lembut dan menariknya pelan ke meja kosong di pojok yang menghadap jendela.

Senara sempat terdiam. Hatinya berdebar bukan karena kopi, tapi karena cara Ares memperhatikannya begitu alami. Ia merasa dilindungi. Lagi.

Mereka duduk. Minuman diletakkan di atas meja.

Beberapa detik setelah duduk, smartphone Senara bergetar. Alaric—Abang Galak.

Senara membuka pesan.

Alaric—Abang Galak: Kuliah nggak selama itu. Pulang larut terus. Ngerjain tugas di mana? Di jalan?

Senara menggigit bibir bawah. Satu jari mengetuk sisi gelas kopi sebelum membalas.

You: Lagi jalan bareng bf

Tidak sampai semenit, pesan masuk lagi.

Alaric—Abang Galak Bf? Hamil jangan. Gue gak mau adik gue kayak sinetron lokal

Senara mendengus kesal. 

Ares memperhatikan. “Masih dikekang Abangmu?”

Senara memperlihatkan layar smartphonenya ke Ares sambil menyeruput kopi.

Ares membaca cepat lalu terkekeh. “Dia pikir aku cowok sembarangan? Harusnya dia senang adiknya bareng cowok yang dia kenal dari kecil.”

Senara tertawa tipis. “Iya, cowok yang dulu suka bolos bareng aku.”

Ares menyandarkan punggung ke kursi, satu tangan di meja memutar sendok kecil dalam cangkirnya.  “Aku nggak akan biarin kamu kayak sinetron lokal, kok.”

“Maksudnya?”

“Ya... Hamil duluan, dibuang keluarga, terus ketemu anakmu 15 tahun lagi di ujung gang.”

Senara tertawa keras. Beberapa pelanggan sempat menoleh karena suaranya memecah suasana.

Ares menatapnya penuh. Matanya tenang. Ada cinta di sana. “Tapi kalaupun kamu jatuh... aku tetap bakal tangkap kamu, Sen.”

Kata-kata itu meluruhkan benteng hati Senara.

...***...

Langit gelap. Hujan turun deras disertai angin tipis yang menari-nari di sela dedaunan. Motor Ares melambat saat memasuki jalan setapak menuju gerbang belakang.

Gerbang besi kecil terbuka sedikit, sudah jadi jalur rutin Senara. Motor berhenti di bawah kanopi kecil yang biasanya dipakai untuk menjemur handuk atau menyimpan sepeda tua.

Cahaya lampu dari belakang kediaman Alverio I hanya menyala samar.

Senara turun lebih dulu, rambut pirangnya agak basah di sisi luar helm. Ares ikut turun, membenarkan posisi motor lalu berdiri tak jauh dari Senara. Mereka berdiri dekat bangku kayu yang sudah lapuk tapi masih bisa diduduki.

“Nggak nyangka ya, kita masih kayak dulu... nyelinap-nyelinap.” Suara Senara nyaris tenggelam oleh rintik hujan.

Ares tertawa pelan. “Bedanya sekarang kamu lebih cantik dan aku lebih deg-degan.”

Senara menoleh, mata mereka bertemu. Gerimis menaburkan kelembapan pada rambut dan bahu mereka. Senara merapatkan kemeja kotaknya, tapi detik berikutnya... Ares menariknya perlahan.

Satu tangan menyentuh sisi wajah Senara, jempolnya menyeka tetesan air hujan. Lalu kecupan hangat dan lembut mendarat di bibir Senara.

Awalnya pelan. Lalu bertumbuh dalam kehangatan yang melawan udara dingin. Suara hujan jadi latar paling indah. Napas mereka tersambung. Waktu melambat.

Keduanya saling berpelukan dalam diam, bibir mereka masih saling menyapa lembut. Degupan jantung terdengar seperti gema dari dada ke dada.

Tiba-tiba...

“Bagus banget adegannya.”

Suara dingin itu terdengar begitu nyata. Senter putih terang menyilaukan mata Ares. Seorang pria muda berdiri di ujung tangga kecil menuju belakang rumah.

Alaric.

Membawa payung. Senter di smartphone menyala. Tatapannya lurus ke arah mereka. Dingin. Tanpa senyum. Hanya berdiri mematung sambil sedikit mengangguk ke arah Senara yang langsung membeku.

Senara setengah panik melepaskan diri, menyeka bibir dan kemejanya.

“B-Bang Al…”

Ares tidak mundur. Tapi matanya langsung bertemu mata Alaric. Tegas. Tidak melawan. Tapi juga tidak takut.

Alaric berkata datar. “Bagus. Udah hujan-hujanan, bonus nambah dosa.”

Ia berbalik, payungnya memantulkan cahaya. “Masuk, Senara. Sekarang! Dan lo, Ares… Pulang! Sebelum gue gembok ban motor lo.”

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!