Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 MENOLAK PAK KADES
Lalu bagaimana dengan Anggie istri nya Pak Kades yang hidupnya penuh hedon? Anggie tahu kelakuan bejat suaminya. Namun, selama gadis-gadis itu tak dibawa pulang dan tak dinikahi resmi, ia tak akan melarang dan tak keberatan sama sekali.
Toh wajar kan lelaki punya istri lebih dari. Asalkan suaminya selalu memanjakannya dengan uang dan kekuasaan. Itu sudah lebih cukup baginya. Dan ia lebih baik pura-pura menutup mata dan telinga saja dengan kelakuan bejad suaminya. Yang penting ia bisa hidup mewah.
Mendapat penolakan dari Bu Rahmi, Pak Adi mendengus, melipat kedua tangannya di depan dada, seolah merasa dirinya paling benar.
"Jangan sombong kamu Rahmi! Anakmu itu buta dan sudah tidak suci lagi. Mana ada pria yang mau menikahi nya? Jangan sok jual mahal dech, fikir kan dulu nasib anakmu itu. Dan kalau dia mengandung kau juga fikirkan nasib bayinya itu. Jadi Terima saja tawaran Pak Kades itu. "ucapnya sinis.
Ucapan itu seperti tamparan keras bagi Bu Rahmi. Setiap kata yang keluar dari mulut Pak Adi terasa seperti racun yang melumpuhkan tubuhnya. Hatinya menangis.
Ia tak ingin Casanova mendengar satu pun kata yang Pak Adi lontarkan. Casanova yang selama ini begitu polos, tak pantas diperlakukan sekejam itu, apalagi oleh keluarganya sendiri.
“Keluar, Kau Adi,” ucap Bu Rahmi dengan suara pelan namun tegas.
“Kamu kira hanya karena aku butuh uang, aku akan menjual anakku? Tidak. Pergilah sebelum kesabaranku habis.” ucap Bu Rahmi dengan sinis.
Pak Adi terlihat terperanjat. “Rahmi, kamu itu perempuan miskin! Siapa lagi yang mau menolongmu kalau bukan aku? Apa kamu sudah lupa berapa banyak utang suamimu padaku dulu?” bentak pak Rt.
Bu Rahmi berdiri tegap, matanya menatap tajam. “Aku tak peduli. Lebih baik aku mati daripada menyerahkan Casanova pada siapa pun terutama pada orang seperti Pak Kades.” jawab Bu Rahmi tegas.
Wajah Pak Adi seketika memerah karena marah. “Terserah kamu, Rahmi. Jangan menyesal nanti,” katanya ketus sambil melangkah keluar.
Langkahnya kasar, dan saat pintu kayu ditutup keras, bunyinya menggema. Debu beterbangan, menambah sunyi yang mencekam. Keheningan menyelimuti ruangan setelah kepergian Pak Adi.
Dada Bu Rahmi sesak. Luka akibat kehilangan Kayano putranya, kini ia harus menelan hinaan yang menusuk harga diri. Ia berusaha menahan napas yang memburu, menenangkan hatinya yang bergejolak. Tak ada yang tahu seberapa dalam luka yang sedang ia tanggung.
Ia menatap Casanova yang terbaring lemah di ranjang. Wajah gadis kecil itu yang dulu cerah, kini tampak pucat dan letih. Casanova telah kehilangan begitu banyak lebih dari yang sanggup diungkapkan dengan kata-kata. Mata yang dulu penuh cahaya kini redup, seolah dunia telah memadamkan sinarnya.
Bu Rahmi tahu, meski Casanova tak pernah mengeluh, beban yang ditanggungnya begitu berat. Lebih berat dari yang pantas dipikul oleh seorang anak. Bagaimana bisa seorang ibu tak merasa remuk menyaksikan itu semua? Bagaimana mungkin seorang ibu bisa melindungi anaknya jika dunia terus-menerus menghujani mereka dengan hinaan dan tuntutan?
Bu Rahmi menarik napas panjang. Hatinya terasa sesak, dipenuhi beban yang berat. Sebagai seorang ibu, ia merasa begitu rapuh dan tak berdaya. Sejak suaminya meninggal, hidup menjadi perjuangan yang tiada henti.
Kini, dengan kepergian Kayano, dunia terasa semakin gelap dan menyesakkan. Namun, di balik segala kesulitan itu, satu hal tetap teguh di hatinya ia tak akan menyerah. Malam itu, doa Bu Rahmi terasa jauh lebih dalam, lebih khusyuk dari malam-malam sebelumnya.
Dalam pekatnya malam dan ketidakpastian yang menyelimuti, hanya satu harapan yang tersisa dalam hatinya Tuhan. Hanya kepada-Nya ia menggantungkan seluruh hidup dan masa depan keluarganya. Di atas sajadah yang telah usang, Bu Rahmi bersimpuh, air matanya jatuh perlahan, menyatu dengan lantai yang dingin dan sepi.
“Ya Allah, kuatkan hamba-Mu ini... Tunjukkan jalan keluar dari semua ini,” bisiknya lirih. Suaranya nyaris hilang ditelan isak tangis yang tak lagi mampu ia tahan.
Di tengah malam itu, Casanova terbangun. Matanya yang hampa menatap kosong ke arah suara tangisan.
“Ibu?” panggilnya pelan, nyaris tak terdengar.
Bu Rahmi buru-buru menghapus air mata dan menghampiri Casanova.
“Ibu di sini, Nak,” jawabnya lembut seraya menggenggam tangan anaknya.
Ia duduk di tepi ranjang, mengelus rambut Casanova dengan penuh kasih, mencoba menyembunyikan duka yang nyaris melumpuhkan.
“Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menangis?” tanya Casanova lirih.
Meskipun ia tak bisa melihat, Casanova tahu ia bisa merasakan kesedihan yang dalam dari getaran suara ibunya.
"Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya sedang berdoa,” jawab Bu Rahmi, berusaha menutupi kesedihan yang berkecamuk di dadanya.
“Sekarang pergilah tidur lagi, Nak. Ini masih malam. Istirahatlah.” perintah Bu Rahmi dengan menahan isaknya.
Casanova mengangguk pelan, walau hatinya masih diselimuti rasa cemas. Ia tak tahu apa yang menanti mereka ke depan, tapi satu hal yang ia yakini ibunya adalah satu-satunya kekuatan yang tersisa. Dan Bu Rahmi, dengan segala yang masih ia miliki, akan memastikan benteng itu tak roboh begitu saja.
‘Hanya Ibu yang aku punya sekarang. Jangan tinggalkan aku sendiri, Bu…’ batin Casanova sambil memejamkan mata, yang selalu gelap tanpa cahaya itu.
ENAM HARI KEMUDIAN
Malam tahlilan ketujuh untuk Kayano menjadi momen yang ditunggu oleh para tetangga dan kerabat. Di rumah tua milik Bu Rahmi, suasana tampak ramai dan penuh kesibukan.
Para tetangga hilir-mudik di dapur ada yang menyiapkan lauk, ada yang mengatur nasi, semuanya sibuk mempersiapkan jamuan untuk malam itu.
Beberapa napan yang penuh berisi nasi dan lauk pauk telah tertata rapi di sudut rumah, siap dibagikan pada para tamu. Beberapa orang hadir dengan niat tulus untuk membantu, seperti Ustazah Laila istri dari Ustadz Zaenal.
Namun, tak sedikit pula yang datang dengan hati yang penuh rasa iri, berbisik-bisik di belakang, membicarakan nasib keluarga Bu Rahmi tanpa empati.
Enam hari telah berlalu sejak kematian tragis Kayano. Tubuhnya ditemukan oleh Pakde Jarwo di tepi sungai, pada pagi yang dingin dan berkabut. Sejak hari itu, seolah sebagian jiwa Casanova ikut terkubur bersama kepergian adiknya.
Tak ada kata yang mampu menggambarkan duka yang menghunjam dalam di wajah gadis itu. Casanova semakin yakin bahwa kematian Kayano bukanlah sekadar kecelakaan.
Hatinya menaruh curiga bahwa semua ini berkaitan dengan pria yang pernah melecehkannya. Namun, tanpa bukti dan kekuatan untuk mencari keadilan, Casanova hanya bisa terjebak dalam ketidak berdayaan yang memedihkan. Ia yakin adiknya Kayano adalah korban dari kebiadaban mereka juga. Ia akan berjanji akan mencari bukti dari semuanya.
BERSAMBUNG...
mampir juga yuk kak ke karyaku