Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Seminggu berlalu sejak pertemuan pertama di kelas Biologi Reproduksi Manusia. Rutinitas kampus kini terasa lebih akrab bagi Melina. Ia sudah hafal jalan menuju setiap gedung, tahu jam-jam kantin paling sepi, dan mulai mengenal wajah-wajah dosen yang mengajar di semester awal ini. Adaptasinya berjalan mulus, seolah dunia kampus memang ruang yang sejak awal disiapkan untuknya.
Bunga sering menggoda, mengatakan Melina terlihat "terlalu cocok" jadi mahasiswa sains yang tenang, rapi, dan selalu fokus. Melina hanya tertawa, menganggapnya pujian biasa.
Pagi itu, Melina dan Bunga berjalan ke kelas lalu mereka duduk dibangku barisan ke dua. Mata kuliah Biologi Dasar Kehidupan dijadwalkan pukul delapan tepat. Ruang kelas sudah terisi hampir penuh ketika Melina dan Bunga masuk dan duduk di barisan tengah. Di papan tulis, proyektor sudah menyala, menampilkan judul materi *Asal-usul Kehidupan dan Organisasi Biologis*.
Tak lama kemudian, pintu terbuka.
Bu Luna masuk dengan langkah anggun. Ia mengenakan blouse krem dan rok hitam sederhana, rambut panjangnya terurai rapi. Senyumnya tipis namun terlatih, senyum seseorang yang terbiasa menjadi pusat perhatian.
"Selamat pagi," ucapnya.
"Pagi, Bu," jawab mahasiswa serempak.
Bu Luna mulai menjelaskan materi dengan suara lembut namun terkontrol. Tentang teori abiogenesis, biogenesis, eksperimen Miller-Urey, hingga tingkatan organisasi kehidupan dari molekul hingga biosfer. Penjelasannya sistematis, penuh istilah ilmiah, dan menuntut konsentrasi penuh.
Melina mencatat tanpa jeda. Ia menuliskan poin-poin penting, memberi tanda bintang pada istilah yang perlu dipelajari ulang. Ia tidak menyalin mentah-mentah, melainkan merangkum dengan bahasanya sendiri.
Bu Luna beberapa kali melirik ke arah Melina.
Ia memperhatikan gadis itu sejak awal minggu. Mahasiswi baru, wajah polos, tidak mencolok, namun selalu hadir penuh. Bukan tipe yang berisik, bukan pula yang berusaha menarik perhatian. Justru itu yang membuatnya berbeda.
"Baik," kata Bu Luna setelah satu jam berlalu.
"Kita akan kuis singkat. Lisan."
Beberapa mahasiswa menghela napas.
"Yah, Bu. Baru aja seminggu."
keluh beberapa mahasiswa
"Supaya kalian lebih beradaptasi." ujar Bu Luna
Bu Luna menunjuk acak.
"Jelaskan perbedaan antara organisme prokariotik dan eukariotik."
Mahasiswa yang ditunjuk menjawab terbata-bata.
Pertanyaan berikutnya, lalu berikutnya lagi. Hingga akhirnya, pandangan Bu Luna berhenti pada Melina.
"Kamu," ucapnya.
"Jelaskan mengapa teori abiogenesis tidak sepenuhnya ditinggalkan, meski telah dikritik."
Melina berdiri.
"Karena teori abiogenesis dalam konteks modern bukan lagi tentang makhluk hidup muncul spontan, melainkan tentang proses kimia bertahap yang memungkinkan terbentuknya molekul organik kompleks. Eksperimen modern masih mengembangkan konsep ini dengan pendekatan ilmiah."
Bu Luna terdiam sesaat.
"Benar," katanya singkat. "Silakan duduk."
Kuis berlanjut. Setiap kali Melina ditanya, jawabannya selalu tepat. Bukan jawaban panjang yang bertele-tele, melainkan padat dan jelas.
Bunga meliriknya kagum.
"Mel, gimana sih supaya gak gugup kayak kamu?" tanya Bunga.
"Aku hanya menyampaikan apa yang aku pelajari." jawabnya
Sementara itu, di balik meja dosen, Bu Luna merasakan sesuatu yang tak nyaman. Kekaguman bercampur dengan rasa tak terdefinisi. Ia terbiasa menjadi yang paling menonjol baik di antara dosen maupun mahasiswa. Namun kini, ada mahasiswi baru yang diam-diam bersinar tanpa usaha.
Perkuliahan berakhir tepat pukul sembilan lewat empat puluh menit.
"Baik, sampai disini perkuliahan kita, selamat pagi."
"Pagi, bu." ucap mahasiswa serempak.
Mahasiswa beranjak keluar kelas. Melina menutup bindernya, menghela napas pelan. Ia tidak menyadari bahwa sejak tadi, sepasang mata memperhatikannya bukan hanya dari dalam kelas, tapi juga dari luar.
Pak Erick berdiri di lorong, membawa map biru tua. Ia baru saja menyelesaikan rapat singkat dan kebetulan melewati kelas itu. Dari kaca pintu, ia melihat Melina menjawab kuis dengan tenang, tanpa ragu.
Ia tidak tersenyum. Namun di dalam dadanya, ada rasa puas yang aneh.
Di ruang dosen, Bu Luna masuk beberapa menit kemudian. Ia melihat Pak Erick duduk di mejanya, fokus pada layar laptop, jari-jarinya mengetik dilaptopnya.
"Kamu selalu sibuk," kata Bu Luna sambil meletakkan tasnya.
Pak Erick mengangguk singkat tanpa menoleh.
"Ada mahasiswi baru yang menarik di kelasku," lanjut Bu Luna, seolah santai.
"Oh, ya?" jawab Pak Erick datar.
Bu Luna tersenyum tipis. Ia melangkah mendekat, berdiri di samping meja Pak Erick.
"Yang satu ini berbeda. Pintar. Pendiam. Mahasiswi kesayangan dosen-dosen."
Pak Erick berhenti mengetik sejenak.
"Nama?"
"Melina," jawab Bu Luna.
"Melina Lamthana."
Pak Erick kembali mengetik.
"Oh, aku tahu mahasiswi itu."
Bu Luna menatapnya lebih lama dari yang seharusnya.
Sejak setahun lalu, perasaannya pada Pak Erick tumbuh tanpa izin. Pria itu dingin, disiplin, dan tak pernah memberi ruang personal. Ia tahu bahwa sangat susah untuk mendapatkan hati Pak Erick.
Dan Pak Erick mengetahuinya.
Itulah sebabnya, setiap pendekatan Bu Luna selalu berakhir pada jarak yang dingin.
Namun Bu Luna tidak pernah menyerah.
"Mau sampai kapan kamu mengejarku, Luna?" tanya Pak Erick tiba-tiba
Bu Luna tak ingin berhenti mengejar Pak Erick, beliau telah memikat hatinya.
"Sampai saya mati rasa." jawab Bu Luna.
Pak Erick memberikan senyum tipis sambil mengetik tapi tak memberikan tatapan seolah tak ada harapan untuk mendekati Pak Erick.
Sementara itu, Melina dan Bunga berjalan pulang seperti biasa. Matahari belum terlalu terik, angin pagi masih ramah.
"Bu Luna keliatan aneh nggak sih?" tanya Bunga.
"Kenapa?"
"Dia sering lihat kamu."
Melina tertawa kecil.
"Mungkin perasaan kamu aja."
Di balik kesederhanaan itu, tanpa disadari Melina, Pak Erick terus memperhatikannya. Padahal masih mahasiswi baru tapi entah kenapa gadis yang satu ini menarik perhatian Pak Erick dadi pada Bu Luna yang sudah menaruh hati padanya setahun yang lalu. Ia tahu bahwa Bu Luna lebih tua setahun darinya tapi bagi Bu Luna, usia tak mempermasalahkan.
Pak Erick tentu mempermasalahkan usia. Ia tak ingin bersama gadis yang lebih tua darinya dan juga tak ingin gadis yang terlalu muda darinya. Mungkin Melina tepat bagi hatinya.
Di ruang dosen, Pak Erick menutup laptopnya. Ia berdiri, menatap jendela.
Ia tahu, melibatkan perasaan pada mahasiswi adalah batas yang tidak boleh dilanggar. Namun ia juga tahu, ketertarikan itu bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan sepenuhnya.
Melina bukan sekadar mahasiswi pintar.
Ia adalah cahaya kecil yang datang tanpa niat, tanpa kepentingan, dan justru itulah yang paling berbahaya.
Dan Bu Luna dengan senyum manis dan rahasia gelapnya tidak akan tinggal diam.
"Mel, hari ini kelas kita cepat banget selesai, hanya satu matkul doang. Pergi pagi, pulang pun pagi. Aku bosan diapartemen terus." ucap Bunga
"Kamu mau kita kemana?" tanya Melina
"Aku sih pengen jalan-jalan gitu ya."
"Tapi kan kita gak punya kendaraan, Bunga."
Bunga memiliki ide
"Kita bisa naik taxi." ujarnya.
Mereka berbincang sambil berjalan hingga tak terasa sampai ke apartemen. Bunga ingin sekali jalan-jalan sementara Melina tak memutuskan untuk itu. Melina akan mau jalan-jalan tetapi tunggu perkuliahan selesai dan libur semester.