Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Ketukan di Pintu Panti
Gedoran keras itu menghantam daun pintu kayu panti asuhan hingga debu-debu halus jatuh dari langit-langit yang sudah rapuh. Fatimah yang baru saja mengenakan selembar kain hitam untuk menutupi wajahnya tersentak hingga punggungnya menabrak lemari tua. Jantungnya berdegup sangat kencang seolah-olah ingin melompat keluar dari rongga dadanya saat mendengar suara teriakan kasar dari luar.
Ibu Sarah segera memadamkan lampu minyak di atas meja dengan satu tiupan cepat hingga ruangan itu jatuh ke dalam kegelapan total. Ia memberi isyarat dengan meletakkan telunjuk di depan bibir agar Fatimah tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Suasana seketika menjadi sangat mencekam dengan hanya suara deru angin malam yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kayu.
"Buka pintunya sekarang juga atau kami akan mendobraknya hingga hancur berkeping-keping!" teriak sebuah suara parau yang sangat Fatimah kenali sebagai suara Haikal.
"Sembunyilah di balik tumpukan kain sajadah di pojok sana, jangan pernah bergerak sampai Ibu memanggilmu," bisik Ibu Sarah dengan suara yang sangat tenang namun tegas.
Fatimah merangkak dengan sangat hati-hati menuju sudut ruangan yang gelap sambil memegangi ujung cadarnya yang terasa masih sangat baru. Ia bisa merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya saat suara langkah kaki berat terdengar mengitari area halaman depan. Ibu Sarah mengatur napasnya sejenak sebelum berjalan menuju pintu depan dengan langkah yang sengaja dibuat lambat seolah-olah baru terbangun dari tidur.
Tangannya yang sudah mulai keriput memutar kunci pintu dengan bunyi derit yang sengaja ia perkeras untuk menunjukkan bahwa ia tidak menyembunyikan apa-apa. Begitu pintu terbuka, dua orang pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam langsung merangsek masuk tanpa menunggu izin pemilik rumah. Sinar senter yang sangat terang menyapu setiap sudut ruangan membuat mata Ibu Sarah menyipit akibat silaunya cahaya.
"Ada apa ini Tuan-tuan? Kenapa kalian membuat keributan di rumah anak-anak yatim pada jam seperti ini?" tanya Ibu Sarah dengan nada bicara yang berwibawa namun tetap sopan.
"Kami mencari seorang gadis yang memakai gaun pesta merah yang tadi terlihat berlari menuju arah bangunan ini!" jawab Haikal sambil menatap tajam ke dalam mata Ibu Sarah.
"Tidak ada gadis dengan ciri-ciri seperti itu yang masuk ke sini, hanya ada saya dan anak-anak yang sedang tertidur lelap," balas Ibu Sarah tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun.
Haikal mendengus kasar lalu berjalan mengitari ruang tengah sambil menendang beberapa bantal kursi yang berserakan di lantai. Matanya yang merah nampak sangat haus akan darah saat ia melihat sebuah bercak air yang masih basah di dekat pintu menuju dapur. Ia berjongkok dan menyentuh lantai tersebut lalu mencium aromanya dengan saksama seolah-olah sedang memastikan sesuatu yang sangat penting.
Fatimah yang bersembunyi di balik tumpukan kain sajadah menahan napasnya sekuat tenaga hingga paru-parunya terasa sangat perih dan terbakar. Ia bisa melihat bayangan Haikal yang melintas di depannya melalui celah kecil di antara kain-kain yang menumpuk tinggi. Genggaman tangannya pada kunci logam di dalam saku semakin mengerat hingga buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang sangat kuat.
"Lantai ini masih basah dan baunya seperti air hujan yang baru saja turun dari langit luar sana," ujar Haikal sambil bangkit berdiri dan menatap Ibu Sarah dengan penuh rasa curiga.
"Atap bangunan ini sudah banyak yang bocor Tuan, jadi wajar jika lantai menjadi basah saat hujan lebat turun semalam," sahut Ibu Sarah dengan alasan yang sangat masuk akal.
"Jangan mencoba mempermainkan saya atau wanita tua ini akan merasakan akibatnya karena menghalangi tugas kami!" ancam Haikal sambil melangkah mendekati tumpukan kain sajadah.
Ibu Sarah segera berjalan memotong langkah Haikal dengan wajah yang nampak sangat tersinggung atas tuduhan yang baru saja dilontarkan pria itu. Ia berdiri dengan kokoh di depan tempat persembunyian Fatimah seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia siap memberikan nyawanya demi melindungi gadis malang itu. Haikal berhenti melangkah saat melihat keberanian yang terpancar dari wajah wanita tua yang nampak sangat sederhana tersebut.
Ketegangan di dalam ruangan itu semakin memuncak saat salah satu anak buah Haikal berteriak dari arah halaman belakang panti asuhan. Haikal segera menoleh ke arah sumber suara tersebut dengan rasa ingin tahu yang sangat besar terpancar dari raut wajahnya yang bengis. Tanpa memberikan kata perpisahan apa pun, mereka berdua segera berlari keluar untuk memeriksa apa yang baru saja ditemukan oleh rekan mereka.
"Cepat periksa pagar belakang! Mungkin dia melompat ke arah kebun kosong di sebelah sana!" perintah Haikal dengan nada yang sangat terburu-buru.
"Baik Tuan! Sepertinya ada bekas kain yang tersangkut di kawat berduri ini!" jawab anak buahnya dari kejauhan.
Ibu Sarah segera menutup pintu dan menguncinya kembali dengan tangan yang mulai gemetar hebat setelah ketegangan yang sangat luar biasa itu berakhir. Ia merosot di depan pintu sambil memegangi dadanya yang terasa sangat sesak karena menahan beban rasa takut yang sangat mendalam. Fatimah keluar dari tumpukan kain dengan air mata yang mulai mengalir deras membasahi kain hitam yang menutupi wajahnya.
Ia langsung memeluk Ibu Sarah dengan sangat erat seolah-olah ingin mencari perlindungan terakhir dari dunia yang sudah sangat gelap baginya. Mereka berdua terdiam dalam tangis tanpa suara sementara di luar sana suara langkah kaki para pemburu itu mulai menjauh menuju arah perkampungan. Fatimah menyadari bahwa mulai malam ini hidupnya tidak akan pernah sama lagi karena identitas lamanya harus benar-benar terkubur.
"Ibu, kenapa mereka begitu kejam mencari saya padahal saya tidak memiliki apa-apa lagi selain kunci ini?" bisik Fatimah dengan suara yang sangat parau.
"Dunia ini memang tempat yang keras bagi mereka yang membawa kebenaran, namun Tuhan akan selalu mengirimkan penolong untukmu," jawab Ibu Sarah sambil mengusap kepala Fatimah.
"Tapi saya tidak ingin membahayakan nyawa Ibu dan anak-anak panti yang lain jika saya tetap tinggal di sini," ujar Fatimah dengan nada penuh keraguan.
Ibu Sarah menatap wajah Fatimah melalui celah cadarnya dan melihat sepasang mata yang penuh dengan luka namun juga memiliki tekad yang sangat kuat. Ia tahu bahwa gadis ini memiliki misi besar yang belum tuntas dan panti asuhan ini hanya akan menjadi tempat persinggahan sementara baginya. Mereka harus segera mengatur rencana agar keberadaan Fatimah tidak terendus lagi oleh anak buah ayahnya yang sangat licik tersebut.
Matahari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur saat Fatimah duduk di teras belakang sambil menatap langit yang berwarna merah jingga yang sangat indah. Ia merasa seolah-olah matahari besok sedang terancam oleh awan hitam yang selalu mengikuti langkah kakinya ke mana pun ia pergi berlari. Di tengah lamunannya, ia mendengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekat dari arah samping bangunan panti asuhan yang sepi.
Seorang pria muda dengan setelan jas yang nampak sedikit berantakan muncul dari balik pepohonan dengan wajah yang dipenuhi oleh rasa kantuk dan kelelahan. Pria itu berhenti melangkah saat melihat sosok wanita bercadar yang sedang duduk sendirian di tengah keremangan cahaya pagi yang masih sangat tipis. Fatimah berdiri dengan waspada sambil memegang erat pagar kayu sementara pria itu hanya berdiri terpaku menatap sepasang mata indah yang nampak ketakutan.
"Maafkan saya jika mengejutkan Anda, tapi saya sedang mencari seseorang yang kabarnya datang ke tempat ini semalam," ujar pria itu dengan suara yang berat namun terdengar sangat sopan.
Fatimah terdiam seribu bahasa karena ia tidak tahu siapa pria yang berdiri di depannya ini dan apa tujuannya datang ke panti asuhan yang kumuh ini. Pria itu merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama yang nampak sangat resmi dengan tulisan yang menunjukkan profesinya sebagai seorang pembela hukum. Dunia yang sudah cukup gelap bagi Fatimah seolah-olah mendapatkan sedikit percikan cahaya namun ia masih terlalu takut untuk mempercayai siapa pun saat ini.
"Nama saya Arfan, dan saya adalah teman dari mendiang Luna yang ingin menuntaskan janji yang pernah kami buat bersama," lanjut pria itu sambil melangkah maju satu langkah.
Mendengar nama kakaknya disebut, Fatimah merasa kakinya lemas dan hampir jatuh tersungkur jika ia tidak segera berpegangan pada tiang kayu di sampingnya. Arfan menatapnya dengan pandangan yang sangat dalam seolah-olah sedang mencoba mengenali siapa sosok di balik kain hitam yang sangat tertutup tersebut. Namun sebelum Fatimah sempat menjawab, sebuah teriakan keras terdengar dari arah gerbang depan panti asuhan yang membuat suasana kembali menjadi sangat tegang.
"Tuan Arfan, jangan mendekati wanita itu! Dia adalah buronan yang sangat berbahaya bagi keselamatan kita semua!" teriak Haikal.