Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3.
Salju jatuh tanpa suara ketika kereta hitam berlapis baja memasuki gerbang perbatasan Silas. Di balik kabut putih, tampak tembok hitam menjulang dengan menara-menara runcing seperti cakar iblis yang hendak merobek langit. Istana keluarga Silas tak seperti kastil para bangsawan lain yang dipenuhi kemegahan dan lampu emas yang ini gelap, tapi dingin, dan sunyi… seolah seluruh wilayahnya berhenti bernapas.
Anastasia menempelkan dahinya ke kaca kecil di dalam kereta. Napasnya berembun. “Tempat macam apa ini…” bisiknya lirih. Ia memandang bangunan raksasa itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan antara takut dan juga penasaran. Kereta berhenti. Pintu dibuka dari luar, dan hawa dingin langsung menerpa seperti ribuan jarum kecil. “Keluar,” ucap Silas dengan datar. Suara pria itu dalam, bergetar dengan kekuatan yang tak terkatakan. Anastasia melangkah turun. Kakinya hampir terpeleset karena hamparan es. Silas berdiri tegak di sampingnya, tinggi melebihi bayangannya sendiri. Mantel hitam panjangnya berkibar karena tertiup angin.
Meski baru bangun dari kematian, Silas terlihat seperti monster yang tak pernah goyah. Mata hitamnya menyapu Anastasia cepat menilai, menghitung, mencurigai. Ia masih belum percaya bahwa gadis rapuh yang berjalan di sampingnya adalah orang yang menghidupkannya kembali. Para penjaga tunduk hormat. Tidak satu pun berani menatap mata Silas secara langsung.
“Duke Silas.”
“Kami menyambut kepulangan Anda.”
Silas mengangkat tangan tanpa ekspresi. “Bawa barangnya,” perintahnya singkat. Beberapa pelayan wanita mengerutkan dahi melihat Anastasia. Mereka saling berbisik di balik kerudung bulu mereka.
“Siapa dia?
“Gadis desa?”
“Tak pantas…”
Anastasia mendengarnya semua, tapi ia tersenyum polos seolah tidak mengerti, padahal hatinya mencatat satu per satu wajah mereka. Silas berjalan duluan. Anastasia mengikutinya. Langkah pria itu berat namun teratur, menggema di lorong batu abu-abu yang membentang panjang seperti perut monster raksasa. “Duke…” Anastasia akhirnya membuka suara, canggung. “Apakah… kita memasuki rumah anda?”
“Ini bukan rumah,” jawab Silas tanpa menoleh. “Ini wilayah perang.” Anastasia terdiam. Kata-kata itu lebih dingin dari udara sekitar, Mereka melewati patung-patung besar prajurit Silas semuanya memegang pedang hitam, dengan wajah tegas tanpa sedikit pun belas kasihan. Anastasia bahkan merasakan aura dingin dari patung itu, seolah para prajurit masih hidup.
Silas berhenti di depan sebuah pintu besar berukir lambang serigala bermahkota. Ia membuka pintu tersebut. “Masuk.” Ruangan itu cukup luas. Dindingnya dihiasi perisai dan lukisan generasi Silas terdahulu. Tidak ada bunga, tidak ada karpet, tidak ada perapian yang menyala. Hanya sebuah ruangan dingin. “I-Ini kamar saya ya?” tanya Anastasia, agak gemetar.
“Untuk sementara.” Silas berjalan ke jendela, membuka tirai hitam. “Kau boleh tinggal sampai aku menentukan apa yang harus kulakukan terhadapmu.” Arah pembicaraan itu membuat jantung Anastasia terhenti sesaat. “…Apa yang harus Duke lakukan terhadapku?” ulangnya hati-hati. Silas menatapnya untuk pertama kalinya sejak mereka turun dari kereta.
Tatapan yang tajam, Dalam, Menembus. “Membunuhmu,” jawabnya tenang. “Atau menjadikanmu milikku.” Anastasia membeku. Tidak ada nada main-main dalam suara itu. Ia benar-benar serius. “A-Aku—” Suara gadis itu bergetar, tapi bagian dalam dirinya jiwa yang pernah mati tetap tidak gentar. Anastasia melangkah mendekat meski tubuhnya gemetar hebat. “Aku hanya penyembuh biasa. Aku tidak berbahaya, Duke.”
Silas mengangkat alis tipisnya. “Kau menghidupkan orang mati. Itu bukan ‘biasa’.” Pria itu mendekat. “Dan aku orang yang seharusnya tidak bisa hidup kembali.” Anastasia menunduk. “Aku… aku tidak tahu bagaimana aku melakukannya…” Silas memperhatikan setiap gerakannya, seakan mencari kebohongan. Suasana menjadi begitu tegang hingga Anastasia hampir tidak bisa bernapas tiba-tiba.
“Duke! Anda kembali! Seorang pria muda berlari masuk tanpa mengetuk. Rambut abu-abu pendeknya bergelombang, wajahnya penuh keceriaan. Ia tampak seperti anak serigala yang baru mendapatkan tulang. “Kael,” gumam Silas datar. “Saya kira Anda sudah mati! Lalu tiba-tiba eh?” Kael menatap Anastasia… lalu matanya membesar. “DIA SIAPA?!”
Anastasia tersenyum lembut. “Saya Anastasia. Senang bertemu dengan Anda.” Kael berkedip beberapa kali. “D-Duke… apa Anda… membawa gadis? Ke sini? Ke benteng kita? Yang bahkan Lady bangsawan pun takut mendekat?” Silas tidak menjawab. Kael menatap Anastasia seakan melihat sesuatu yang mustahil. “Dia manusia… kan? Bukan roh hutan utara yang berubah bentuk berdasarkan selera Duke… kan?”
“Kael,” Silas memperingatkan “O-oh! Baik! Baik… saya diam .” Kael menunduk cepat. “Tapi Duke… Kaisar sudah mengirimkan surat! Anda harus bertemu beliau dalam tiga hari. Itu mendesak.”
Mata Silas menggelap sedikit. “Tentang pertunangan?” Kael mengangguk, gelisah. Anastasia menunduk agar ekspresinya tidak terlihat ada sesuatu dalam kata pertunangan itu yang menusuk dadanya. Bukan cemburu… tapi sebuah perhitungan dingin muncul di kepalanya. Duke yang bertunangan dengan putri Kaisar. Lelaki yang tidak ingin bertunangan. Lelaki yang memiliki kekuatan luar biasa. Lelaki yang ia selamatkan.
Banyak hal bisa ia manfaatkan dari situ. Silas menatapnya. Gadis itu tetap tersenyum lembut seolah tidak peduli. Padahal hatinya sedang bekerja keras menyusun rencana. Kael tiba-tiba berbisik ke Silas tidak terlalu pelan untuk luput dari telinga Anastasia
“Duke… gadis ini… ia akan tinggal di sini?”
“Hm.
“Berapa lama?”
“Tidak tahu.”
Kael menelan ludah. “Wanita… di tempat ini? Para prajurit bisa geger.”
“Kalau mereka ribut, biarkan aku pangkas kepala mereka,” jawab Silas datar. Sunyi meliputi ruangan.
Kael akhirnya mundur sambil melambai kikuk. “emm saya… saya pergi dulu!” Saat pintu tertutup, hanya Silas dan Anastasia yang tersisa. Dan hening kembali menguasai ruangan. Silas menatap Anastasia lama “kau bukan tamu dan aku juga bukan pria berhati baik.”
“Iya, Duke,” jawab Anastasia lembut.
“Tetap jujur, atau aku yang akan menguliti semua kebohonganmu.”
“Baik, Duke.” Pria itu mendekat. Sangat dekat. Hingga Anastasia bisa merasakan desah napas dinginnya. “Tapi…” Suara Silas menjadi rendah. Dalam. Membahayakan.
“Selama kau tetap hidup di bawah atapku… Kau akan makan, tidur, dan bernapas sesuai perintahku.” Mata Anastasia berkilat sesaat bukan karena ketakutan, tapi kalkulasi Namun ia tetap memajukan senyum lugu yang sudah ia latih bertahun-tahun. “Tentu, Duke. Saya akan… patuh.”
Silas memalingkan wajah. “Bagus. Istirahatlah. Kita akan bicara lagi besok.” Ia melangkah menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia menoleh sedikit. “Dan Anastasia,” Tatapannya menajam seperti pedang. “Jangan pernah mencoba melarikan diri. Dinding benteng ini akan membunuhmu sebelum aku sempat menangkapmu.” Pintu tertutup.
Anastasia berdiri sendirian di ruangan dingin itu. Dan perlahan… senyum lembutnya memudar. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang. “Yang mulia Duke…” bisiknya pelan, hampir seperti desisan. “Kau pikir bisa menguasai hidupku?” Ia tersenyum miring, tajam. “Tidak semudah itu.” Namun wajah polosnya kembali terpasang saat pelayan mengetuk pintu untuk mengantar air hangat. Peran baru telah dimulai Dan di benteng paling dingin di utara, dua manusia dengan masa lalu gelap berdiri di panggung yang sama… tanpa menyadari betapa rumitnya takdir yang menunggu.