NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep. 8 : Aku Tidak Akan Meninggalkanmu

Embun masih menggantung di ujung daun ketika Pak Lurah membuka pintu rumahnya. Di serambi depan sudah berdiri Cak Din, sang carik desa, dengan wajah tegang seperti seseorang yang membawa kabar yang tidak bisa ditunda.

“Aku sudah baca semua berkas dari Belanda itu, Cak Din,” ujar Pak Lurah pelan, menepuk meja kayu di depan mereka, “Proyek pembangunan waduk itu… jelas hanya akal-akalan,"

Cak Din mengangguk lirih,

"Aku juga merasakannya, Pak. Kalau waduk itu jadi dibangun, orang-orang akan merasa berhutang budi. Mereka bakal rela menyerahkan tanah dan rumahnya sendiri kalau Belanda mulai bicara manis,"

Pak Lurah menghela napas panjang,

"Kemarin mereka sempat mencoba menyuap aku. Tapi aku menolaknya. Kita ini pemangku amanah rakyat, Cak Din. Jangan sampai goyah,"

“Aku teguh kok, Pak,” jawab Cak Din mantap. “Apalagi anakku yang sulung anggota padepokan. Dan anak bungsuku baru diterima sebagai anggota tentara rakyat. Aku tidak akan biarkan masa depan mereka dijual begitu saja hanya untuk hitungan uang yang bisa habis kapan saja. Ini soal masa depan. Masa depan anak-anak kita. Cucu kita. Dan generasi negri ini selanjutnya,"

Pak Lurah menatapnya lama dan penuh hormat,

“Bagus. Kita harus berdiri di garis yang sama. Nanti sore kita kumpulkan beberapa kepala dusun. Kita harus siapkan rencana supaya masyarakat tidak terjebak dalam tipu daya Belanda,"

Cak Din mengangguk semakin kuat. Pagi itu, ketegasan dua orang tua desa telah menetapkan arah: mereka tidak akan tunduk, sekalipun Belanda datang membawa janji-janji manis yang beracun.

**

Di padepokan, matahari mulai naik dan menerangi halaman ketika Cakra dan Dhyas melangkah masuk. Keduanya tampak lelah, masih menggunakan baju penyamaran mereka, rambut sedikit kusut, tapi sorot mata mereka jernih, tegas, dan puas. Misi terselesaikan.

“Wah! Dua pendekar baru pulang dari medan perang!” seru Yudistira, langsung menyambar bahu Cakra. Sementara Raras dan Ayudiah buru-buru datang membawa air minum.

Ayudiah tersenyum cerah. “Aku bikin kue sejak subuh. Kalian harus coba, ini spesial buat penyambutan pahlawan,"

Arya yang berada tak jauh dari situ langsung bergabung. Tak banyak bicara. Hanya sorot matanya yang sesekali melirik Dhyas, seperti memastikan keadaan Dhyas baik-baik saja.

Mereka pun duduk lesehan di pendopo. Semilir angin pagi bertiup, membawa aroma kayu dan bunga hutan. Kue-kue Ayudiah cepat berpindah dari piring ke mulut disertai tawa ringan.

“Aku kira kamu bakal pulang sambil digotong,” goda Yudistira sambil menunjuk Cakra.

Cakra hanya nyengir. “Hampir. Tapi untung ada partner yang keras kepala,” jawabnya sambil melirik Dhyas.

Dhyas pura-pura cemberut, tapi pipinya sedikit memerah.

Tawa pecah lagi. Suasana hangat, santai, seolah dunia di luar padepokan tidak sedang berkobar.

Namun, tawa itu perlahan mereda ketika seorang anggota padepokan tiba-tiba muncul di pintu pendopo.

“Dhyas, kamu dipanggil Mbah Lodra,” katanya.

Semua kepala otomatis menoleh pada Dhyas.

Cakra langsung berhenti mengunyah. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.

“Sekarang?” tanya Dhyas.

“Iya. Katanya penting.”

Dhyas bangkit, menepuk debu di celananya,

“Baik. Aku ke sana.”

Saat Dhyas beranjak pergi, Cakra menatap punggungnya tanpa berkedip. Ada rasa khawatir yang sulit ia sembunyikan, rasa yang muncul sejak mendengar niat gurunya untuk menurunkan ilmu tingkat lima itu.

Semoga kamu tidak salah mengambil keputusan. Tapi kalaupun kamu memutuskannya berbeda, aku akan tetap di sisimu. Aku tidak akan meninggalkanmu. (Cakra).

FLASHBACK ON

Siang itu matahari menggantung garang di atas langit desa. Lapangan belakang rumah keluarga Cakra kosong, kecuali satu sosok anak laki-laki berhidung mancung, berumur sekitar tujuh tahun yang berdiri tegak, tubuhnya kurus, wajahnya memerah menahan panas. Tangan kecilnya dikepalkan di samping tubuh, matanya menatap tanah di bawah kakinya.

Di sekeliling kakinya, garis lingkaran kasar tergurat oleh ujung tongkat, tanda batas yang digambar ibunya.

“Jangan bergerak satu tapak pun. Kamu berdiri di situ sampai sebelum maghrib,” begitu pesan yang tadi diucapkan ibunya dengan suara yang tak bisa dibantah.

Kesalahan itu sebetulnya bukan salah: Cakra hanya tak sengaja menumpahkan kopi yang dibuat bi Mirna untuk tamu Belanda ibunya. Sejujurnya itu bukan tamu biasa. Itu tamu yang sering Cakra lihat keluar masuk kamar ibunya. Karena tamu itu spesial di hatinya, itu yang membuat Sri Lestari semakin murka. Dia ingin tamu nya wajib dihargai. Maka Cakra menerima hukuman itu tanpa membantah.

Panas mulai merayap ke tengkuknya. Peluh jatuh menetes sepanjang pelipis. Ia menggigit bibir, namun tetap diam.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar langkah kecil tergesa. Dhyas, masih berusia sepuluh tahun waktu itu, muncul dari antara pepohonan. Rambutnya yang diikat rendah sudah berantakan karena ia berlari terburu-buru.

“Cakra!," serunya tertahan, napasnya tersengal melihat keadaan sahabat kecilnya itu.

Cakra mengangkat wajah, kaget sekaligus malu,

“Kamu… ngapain ke sini? Pulang saja, Dhyas," bisiknya. “Aku cuma sedang dihukum,x

Dhyas tidak menjawab. Tanpa bertanya lebih jauh, ia melangkah masuk ke lingkaran itu dan berdiri tepat di samping Cakra. Tegak. Diam. Wajah menghadap ke depan, seperti prajurit kecil yang siap menanggung apa pun.

“Dhyas! Kau nanti ikut dimarahi,” ujar Cakra cemas.

“Aku tidak peduli,” jawab Dhyas lirih tetapi tegas, “Kalau kau berdiri di sini, maka aku pun di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu,"

“Ini panas sekali,” bisik Cakra, menahan gemetar dari panas yang menyengat.

“Aku tahu,” balas Dhyas, “Tapi kau tidak boleh sendirian,"

Angin siang lewat begitu pelan hingga tak mampu membawa sejuk. Mereka berdua berdiri kaku dalam diam, hanya suara serangga dan desir kering rumput yang terdengar. Tak ada keluhan dari bibir Dhyas. Meski wajahnya mulai memerah, ia tetap di tempatnya, seolah tanah yang digaris lingkaran itu adalah batas sebuah sumpah yang tidak boleh ia tinggalkan.

Sesekali Cakra mencuri pandang, melihat bulir keringat Dhyas yang mulai jatuh,

“Kau bisa pulang dulu… nanti aku menyusul,” ucapnya lagi, kali ini lebih lirih.

Dhyas menggeleng pelan,

“Kalau kau dihukum berdiri, maka aku pun berdiri. Itu saja,"

Hening lagi. Panas lagi. Namun di tengah siksaan siang itu, Cakra merasakan sesuatu yang tidak mampu diberi nama. Sebuah keteguhan. Sebuah keberpihakan. Sesuatu yang kelak, bertahun-tahun kemudian, tumbuh menjadi perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan.

FLASHBACK OFF

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!