Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HUTANG EMAKNYA KARMIN
"Dapin ... dapin ... dana pinjaman ... lima ratus rebu kembali delapan ratus dalam waktu seminggu." Bawon nampak sedang berteriak di sepanjang jalanan pasar.
"Dapin ... dapin ... syarat KTP dan foto rumah plus foto usaha saja sudah bisa langsung lumer."
"Dapin ... dapin ... dana pinjaman. Anti ribet, anti rempong, anti lelet. Dapin-nya ... yuk, Dapin."
Dia memang memiliki rutinitas yang di luar kewajaran manusia normal. Setiap hari Bawon selalu berkeliaran di dalam pasar, untuk menawarkan hutang kepada para penjual-penjual yang rata-rata para pelaku UMKM dan juga penjual menengah ke bawah, yang membuka bedak atau kios di dalam pasar dengan modal minim.
Dapin alias dana pinjaman yang Bawon sediakan sangat bervariasi. Ada yang bertempo hanya seminggu wajib lunas, ada yang bertempo mingguan dalam kurun waktu dua bulan, ada yang bertempo 2 bulan. Jangan tanya tentang bunga pinjamannya. Semuanya mencekik sampai ke urat leher dan urat kemaluan.
"Won! Nambah dapin boleh?" Tiba-tiba Mak Satupa datang menghampiri Bawon.
"Lha wong sampean itu gak punya penghasilan pasti, terus mau bayar dapin pakai apa? Pakai gigi? Pakai dengkul?" Bawon menyincing sebelah bibirnya hingga terangkat sebagian.
"Lho, jangan salah. Anakku si Karmin itu udah sukses. Lihatlah itu dagangan baksonya benar-benar laris, sampai sehari bisa menghabiskan puluhan kilo daging untuk membuat pentol. Sini ... kasih aku pinjaman 10 juta, nanti jaminannya yaa ... warung bakso Karmin, hehehe." Mak Satupa terkekeh tanpa beban.
"Paa ... kalau Karmin memang sesukses itu, ngapain kamu nyari utangan dapin di Bawon? Tinggal minta uang saja sana Karmin, beres deh!" Mak Juminten, pedagang dawet sagu yang merupakan kawan dari Mak Satupa itu menimpali.
"Kamu itu gak tahu tah, Jum? Sri itu pelitnya naudzubillah. Mimpi apa aku punya menantu kayak Sri itu. Wes jelek, badan segedhe gapura kecamatan, udah mirip gentong air di Pemandian Sumber Jeruk saja, hahaha. Eh, udah gitu, dia pelit amat!" Mak Satupa mendengkus sebal.
"Mosok sih, Mak?" Bawon memicing.
"Iya, makanya utangku ke kamu kagak lunas-lunas, kan? Ya itu karena Sri pelit," kata emaknya Karmin dengan menggebu-gebu hingga mulutnya nampak berbusa-busa.
"Oke lah, aku kasih 10 juta, tapi nanti tanda tangan di rumah. Aku harus ngomong juga sama Karmin," sahut Bawon seraya mencatat nama Mak Satupa di bukunya yang tebal.
"10 juta itu jadi 16 juta. Dalam kurun waktu seminggu bisa terus diperpanjang, kok. Tiap minggunya tinggal setor bunga perpanjangan senilai 1 juta saja. Nanti kita bincang-bincang di rumah si Karmin lhah yoww, heheheh." Rentenir itu terkekeh senang.
"Oke, sip." Mak Satupa mengangguk dengan cepat.
Bawon pun berlalu meninggalkan kios Mak Satupa. Kios yang isinya berjualan ayam potong itu pun nampak masih banyak dagangannya. Mungkin sedang sepi pembeli.
"Astaga ... emak benar-benar gila. Dia mau meminjam uang sebesar itu di Bawon? Gendeng mangan semir ini namanya, Rek! Mabuk, mabuk!" Sri yang sedari tadi menguping seraya bersembunyi di kios daging sapi pun nampak bersungut-sungut.
"Hutang yang kemarin aja gak kelar-kelar, ini kok malah mau nambah hutang lagi? Bisa-bisa aku dan Karmin mengabdi kepada kolor seumur hidup dah!" gerutunya.
Tak tahan ingin lekas menyampaikan apa yang ia dengar di pasar, Sri segera merampungkan urusannya di pasar dan lekas bergegas pulang. Dia harus memberitahu Karmin agar suaminya itu tidak menyetujui perkara utang piutang Mak Satupa.
Karena sangat tergesa-gesa, Sri sampai melupakan membeli sesuatu. Kolor putih yang harus ia beli untuk dibawa ke rumah dukunnya nanti malam.
"Haissshh ...! Cak, balik lagi ke pasar, Cak. Ada yang kelupaan." Sri meminta kepada tukang ojek langganannya agar berbalik arah.
"Oke, Sri."
Dengan tergesa-gesa, Sri turun dari ojekan itu dan langsung menghampiri penjual kolor yang sudah ia kenal.
"Mbak Puji .... Kolor yang jumbo satu, warna putih," pintanya.
"Kalau yang muat buat kamu gak ada warna putih, Sri."
"Krem ada?"
"Gak ada Sri, adanya warna ijo dan merah."
"Waduh. Butuhnya warna putih atau cream, Mbak Puji."
"Duh, lha wong cuma kancut, pakai warna pink, ijo, biru, atau merah lak gak opo-opo thoo?" Puji—penjual kolor dan kutang itu mencebik.
"Beda, Mbak. Suamiku suka yang warna putih, hehehe." Sri terkekeh.
"Kalau lagi dinas sama suami di atas ranjang, ya mending pakai yang warna unyu-unyu, Sri. Pakai warna pink dong, biar kaya Barbie, wekekeke."
"Walah, Mbak Puji. Mana ada Barbie gembrot kaya aku." Sri tergelak.
"Lho, gembrot iku seksi. Banyak kok Barbie yang gembrot setelah beranak pinak," timpal Puji.
"Yo wes lah aku mau kolor yang warna pink dua. Buat anakku, hehehe," kata Sri mengakhiri obrolan receh dengan penjual kolor langganannya itu.
"Ghea umur Piro, Sri?"
"Kelas 2 SMP, Mbak Puji. Dia sudah berumur 14 tahun."
"Oh, gak dibikinin adik, tah?"
"Udah bikin setiap malam, Mbak Puji. Tapi gak jadi-jadi, hehehe."
"Kamu KB siih, mana mungkin jadi?"
"Aku gak KB, Mbak Puji."
"Oh, kirain KB, soalnya badan kamu melar banget, Sri. Efek KB suntik biasanya bikin badan melar. Maap lho ya, gak bermaksud membuat kamu tersinggung." Puji nampak masih santun karena tidak membody shaming tubuh Sri seperti kebanyakan teman-temannya di pasar.
"Walah, gak apa-apa, Mbak Puji. Badan saya memang gembrot banget sejak punya anak. Lebih tepatnya sejak jualan bakso, hahahah. Karena dulu ... kalau bakso gak habis, saya yang menghabiskan. Karmin suka tantrum kalau melihat dagangan ada sisa," kata wanita gemuk itu.
"Yang penting jaga kesehatan, Sri. Jaga pola makan dan olahraga, biar gak mudah terkena penyakit, hehehe," sahut Puji.
"Siap, Mbak. Ya wes, Mbak ... bungkus kolor pink-nya yaa, buat Ghea."
"Oke, Sri."
Setelah meninggalkan kios Puji, Sri masih harus berkeliling muter-muter pasar untuk membeli kolor putih yang berukuran jumbo, yang muat untuk dirinya. Ritual pemujaan di rumah Mbah Samijan nanti malam memang syaratnya begitu.
Setelah muter-muter, akhirnya kolor putih yang dicari Sri pun, ia dapatkan juga. Sri segera bergegas pulang karena dia juga sudah ditunggu tukang ojek di tempat parkiran.
*******
Sri turun di depan warung baksonya yang nampak begitu ramai. Para pembeli dari kalangan segala usia nampak begitu lahap menikmati santapan bakso buatan Sri yang terlihat sangat gurih dan menggugah selera.
"Kembaliannya bawa saja, Cak. Tadi sampean sudah menunggu saya lama waktu saya nyari kolor anak saya, hehehe." Sri menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan kepada tukang ojek langganannya.
"Wah, matur suwun, Sri," kata tukang ojek itu seraya menurunkan barang-barang belanjaan Sri.
"Oyi, Cak."
Melihat sang istri datang, Karmin segera berlari ke halaman dan mengangkat belanjaan wanita itu.
"Lama amat sih?" Karmin mendengkus.
"Masih beliin sesuatu buat Ghea!"
"Beli apa?"
"Kolor!"
Mendengar hal itu, Karmin baru paham maksud istrinya.
"Oh iya, iya." Pria itu mengangguk-angguk pelan lalu masuk untuk membawa apapun yang Sri bawa dari pasar.
Sri terlihat senang saat melihat pembeli yang terus berdatangan. Dia langsung melayani para pembeli tanpa kenal rasa lelah. Meskipun baru pulang dari pasar, ia langsung bertandang di depan gerobak bakso seraya memberikan pelayanan prima bagi para penikmat pentol jumbo buatannya.
"Istirahat dulu sana, capek kan baru pulang dari pasar." Karmin berdiri di samping istrinya yang sedang membungkus beberapa bakso pesanan pelanggan.
"Nanti saja, masih ramai pembeli."
"Kamu jangan capek-capek, nanti malam kita ada acara," bisik Karmin di telinga sang istri.
"Kita harus siapkan stamina untuk pemujaan nanti malam," tandasnya dengan suara pelan, di sela-sela suara riuh para pembeli bakso yang tengah bersantap di tengah-tengah alunan musik dangdut.
"Iya, aku mau makan dulu." Sri menjawab.
"Makan yang banyak, biar semakin gemoy, hehehehe." Karmin terkekeh.
"Oh iya, nanti aku mau bicara denganmu, Mas. Soal Bawon dan Emak." Sri mendongak.
"Oh, soal pinjaman baru Emak kah? Barusan mereka sudah ke sini. Uang sepuluh juta sudah Emak bawa. Aku yang akan bayarin, setiap hari Minggu 1 juta untuk bunga perpanjangan masa pinjam. Dan untuk hutang pokoknya jadi 16 juta bisa kita lunasi kalau kita sudah ada uang." Karmin menjelaskan dengan santuyy.
Mendengar hal itu, Sri mendelik hingga bola matanya hampir lepas.
"OPO ...? Koen gendeng tah? Opo koen mabuk mari mangan semir, MIN ... KARMIN ....?!"
[Apa ...? Kamu gila kah? Apa kamu mabuk habis makan semir, Min ... KARMIN ...?!]
*) [Gendeng mangan semir adalah sebuah perumpamaan yang menggambarkan kondisi seseorang yang mabuk alias terobsesi dalam menggandrungi atau melakukan sesuatu secara berlebihan. Dalam hal ini, Mak Satupa sedang mabuk pinjaman dapin di Bawon dengan bunga mencekik. Karmin juga mabuk dan tak sadar dengan keadaan sekitar, sehingga ia selalu menuruti kemauannya emaknya.
*) Gendeng adalah gila, mangan semir adalah makan semir (cat), jadi ... gendeng mangan semir itu adalah ungkapan untuk mereka-mereka yang obsesinya payah sekali, dan mirip orang yang habis makan cat, mabok gak ada obat]
*) Oyi \= Iyo \= Iya.
*) Iki \= Ini, Iku \= Itu.