NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Hasrat yang datang"

Kamar tamu di apartemen Halden masih sama seperti dulu—terlalu putih, terlalu bersih, terlalu kosong. Seperti lembar kertas yang menunggu seseorang menodainya. Karin duduk di tepi ranjang, memegang baju tidur lama yang pernah ditinggalkannya bertahun-tahun lalu, baju yang anehnya masih berada di laci ketiga dari bawah.

Halden bilang ia lupa. Tapi Karin tahu ia tidak pernah benar-benar melupakan apa pun yang datang dariku.

Aku menatap bayanganku di cermin: mata sembab, rambut lembap, wajah pucat. Seolah dunia baru saja runtuh di sekitarku.

Tapi sebenarnya… dunia itu hanya berubah bentuk.

Aku tidak memiliki suamiku lagi. Aku tidak memiliki arah untuk pulang. Tapi ada satu hal yang selalu kupunya, yang tidak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika aku meninggalkannya dulu.

Halden.

Semua lelaki setelah Halden hanyalah improvisasi gagal dari sesuatu yang sudah sempurna.

Ketika aku mengetuk pintu tadi malam, ketika ia tertegun memandangku—aku tahu. Aku melihat jejak itu. Jejak rindu yang tidak pernah mati.

Dia mencoba menyembunyikannya. Demi Luna.

Luna yang baik. Luna yang hangat. Luna yang mencintainya dengan cara stabil—bukan seperti aku yang mencintai dengan badai. Mungkin, bagi Halden, Luna adalah rumah.

Tapi setiap orang tahu:

Rumah tidak selalu menjadi tempat seseorang ingin hidup. Kadang seseorang lebih memilih berada di tepian tebing, memandangi jurang yang nyaris menelan mereka.

Itulah aku.

Itulah kami.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang, menghirup aroma lembaran, aroma yang tidak kukenal tapi cukup netral—tidak seperti aroma kamar Halden, yang masih menyimpan sedikit aroma minyak cat dan napasnya.

“Aku kembali,” bisikku pada diriku sendiri. “Dan kali ini… aku tidak akan pergi tanpa sesuatu.”

Ada ketukan kecil di pintu.

“Karina?” Suara Halden.

Aku duduk perlahan, memastikan suaraku rapuh, tidak mengancam. “Masuk.”

Pintu terbuka. Halden berdiri di sana, mengenakan kaus longgar dan tatapan yang tidak bisa berhenti bergerak. Seperti seseorang yang dipaksa memilih sisi dalam perang yang ia tahu akan merenggut bagian dari dirinya.

“Kau sudah mandi?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Terima kasih menyediakan kamar. Dan pakaian ini.”

Halden menatap baju tidur itu, lalu menghela napas panjang. “Aku benar-benar lupa kalau itu pernah kau tinggalkan.”

“Kau tidak perlu berbohong,” kataku lembut.

Ia menegang sedikit.

“Aku tidak—”

“Aku mengenalmu terlalu lama untuk percaya itu,” potongku. “Tapi tidak apa, Halden. Aku tidak di sini untuk mengusik apa pun.”

Aku berbohong.

Aku ahli dalam berbohong ketika tujuanku adalah sesuatu yang suci bagiku—yaitu dia.

Halden mendekat beberapa langkah, duduk di kursi dekat jendela. “Apa yang terjadi dengan suamimu?”

Aku mengangkat bahu, mengatur napasku agar terdengar rapuh. “Pernikahan yang salah. Kami baik-baik saja di awal, sampai semuanya tidak baik-baik saja. Dia punya dunia sendiri yang tak bisa kumasuki. Dan aku…” Aku mengelus lengan. “Aku merasa tenggelam setiap hari.”

Halden menunduk. “Aku minta maaf kau harus melalui itu.”

“Jangan minta maaf,” ujarku. “Aku juga memilih pernikahan itu. Mungkin… karena aku mencoba lari dari diriku sendiri.”

“Atau dariku?” Halden bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar.

Aku tersenyum samar. “Dari semuanya.”

Bohong.

Aku menikah untuk melupakannya.

Dan kegagalan pernikahan itu adalah bukti paling jelas bahwa aku tidak pernah berhasil.

Halden menatapku lama. “Karina, aku tidak tahu apa maksud kedatanganmu… tapi kau tahu aku sudah punya hidup bersama Luna.”

“Ya.”

Satu kata itu kubentuk dengan sangat hati-hati.

“Kalau kau datang… untukku…” Halden melanjutkan, suaranya bergetar. “Aku takut aku tidak bisa memberikan apa yang kau cari.”

Aku memandangi wajahnya—wajah yang dulu kucium setelah setiap lukisan selesai, yang dulu kutampar saat kami bertengkar tentang warna, tentang cara dunia memandang kami.

Wajah yang masih sangat menggangguku, bahkan ketika aku berpikir aku telah sembuh.

“Aku tidak butuh apa pun darimu,” kataku lembut. “Aku hanya butuh aman. Hanya itu.”

Itu juga bohong.

Yang kubutuh hanyalah dia kembali.

Rumahku adalah kekacauan yang kami buat bersama.

Bukan ketenangan yang ia temukan dengan Luna.

“Luna orang baik,” kataku tiba-tiba.

Halden terperanjat. “Ya. Dia sangat baik.”

Aku mengangguk. “Dia mencintaimu dengan cara yang aku tidak bisa.”

Hening.

Aku sengaja membiarkan kalimat itu menggantung.

Karena aku tahu apa lanjutannya di kepala Halden:

“Tapi aku mencintaimu dengan cara yang hanya aku bisa.”

Dan itu benar.

Aku berjalan mendekati jendela, berdiri di hadapan bayanganku yang terpantul samar.

“Halden,” tanyaku pelan, “kenapa kau tidak pernah benar-benar berhenti mencintaiku?”

Ia tertegun.

Aku melihatnya dari pantulan kaca.

Ia tahu itu pertanyaan yang berbahaya.

Ia tahu itu pertanyaan yang bisa menghancurkan hidupnya.

Ia tahu itu pertanyaan yang seharusnya tidak dijawab.

Namun aku tahu Halden lebih dari siapa pun.

Ia tidak bisa berbohong pads dirinya sendiri.

“Karina…” suaranya pecah. “Jangan paksa aku menjawab itu.”

Dan di sanalah, aku merasakan kemenangan kecil merayap di dadaku.

Kalau ia tidak menjawab… itu berarti aku benar.

Ia masih mencintaiku.

Aku mendekatinya pelan-pelan, seperti seseorang yang ingin menyembuhkan luka, bukan membuka luka yang sudah kering.

“Kau tidak menjawab,” bisikku. “Dan itu sudah cukup.”

Halden menutup mata, seakan aku adalah racun yang ia tahu akan membunuhnya tetapi tetap ia hirup.

“Karina… jangan lakukan ini. Aku mencintai Luna.”

“Aku tahu,” jawabku. “Tapi kau tidak mencintaiku kurang dari itu. Dan itu masalahnya.”

Aku duduk di sampingnya, menjaga jarak yang aman agar tindakanku tampak tak bersalah.

“Kau terjebak, Halden,” bisikku. “Antara kewajiban dan cinta.”

Ia membeku.

Pernyataanku tepat.

Ia tahu itu.

Aku tersenyum kecil, lembut, penuh luka—atau pura-pura penuh luka, aku sudah tidak bisa membedakannya.

“Aku tidak datang untuk merebutmu,” kataku.

Itu adalah kebohongan terbesar malam itu.

“Aku datang… karena aku tidak bisa hidup di dunia di mana aku dan kau adalah dua garis yang tidak pernah bertemu lagi.”

Aku tahu aku sudah memicu sesuatu dalam dirinya.

Sesuatu yang tidak akan bisa ia matikan dengan mudah.

Sesuatu yang mungkin akan meruntuhkan rumah tangganya.

Tapi aku tidak peduli.

Cinta tidak pernah adil.

Cinta tidak pernah lembut.

Cinta tidak pernah patuh.

Dan Halden selalu menjadi lukisan yang tidak pernah selesai.

Dan aku… selalu ingin menjadi tangan yang menyelesaikannya.

Aku mencondongkan tubuh, wajahku mendekati bahunya. Aku tidak menyentuhnya, tapi jarak itu sudah cukup membuatnya menahan napas.

“Kau selalu berkata begitu.” Nadaku halus, hampir menyentuh telinganya. “Tapi kita selalu kembali ke tempat yang sama.”

Halden meremas sisi kursi, jelas berusaha mempertahankan kendali.

“Kau memainkan api, Karina.”

Aku menyentuh bahunya—hanya ujung jariku. Sentuhan yang ringan, hampir tidak ada, tapi cukup untuk membuatnya menutup mata sekejap.

“Api yang kita nyalakan bersama,” ucapku manis.

Ia menarik napas tajam.

Aku memutar kursinya sedikit hingga ia akhirnya menghadapku. Cahaya lampu kamar memantul di matanya—mata yang dipenuhi konflik dan kerinduan yang tidak pernah benar-benar mati.

“Aku tidak boleh…” katanya, suaranya hampir pecah.

“Tapi kau ingin,” bisikku.

Kata itu menggantung di antara kami. Berat. Mengguncang. Nyata.

Aku perlahan meletakkan tanganku di dada Halden—di atas kaus tipisnya. Jantungnya berdetak keras di bawah telapak tanganku. Detak yang aku kenal. Detak yang pernah menjadi musik favoritku.

“Halden,” ujarku pelan. “Aku datang bukan untuk menghancurkanmu… tapi kau tidak pernah mengerti betapa aku merindukanmu.”

Ia menatapku. Tatapan itu seperti badai—kuat, gelap, dan menahan sesuatu yang bisa meruntuhkan semuanya.

“Aku sudah menikah,” katanya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

“Aku tidak memintamu untuk meninggalkannya,” ujarku sambil mendekat, wajah kami hanya beberapa inci. “Aku hanya… butuh kau melihatku. Sekali saja lagi. Dengan mata yang dulu.”

Halden menggeleng lemah. Tapi ketika aku mendekat dua inci lagi, ia tidak mundur.

Tidak sedikit pun.

“Aku tidak boleh,” ulangnya.

“Tapi tetap kau di sini,” balasku, jemariku naik sedikit di dadanya, menyentuh kulit lehernya yang hangat.

Ia menahan napas.

“Kau membuat ini sulit bagiku,” desisnya.

“Kau yang membuatnya mudah,” balasku sambil tersenyum. “Kau hanya terlalu takut mengakuinya.”

Aku menurunkan tanganku perlahan dari dadanya ke lengannya—sentuhan lambat, tidak terburu-buru, seperti membaca kembali buku favoritku setelah bertahun-tahun hilang.

“Kau gemetar,” godaku.

Halden memejamkan mata sejenak. “Karina… kalau kau tidak berhenti…”

Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hampir menyentuh kulitnya.

“Apa yang akan terjadi?”

Bisikku.

Ia membuka mata, dan untuk sekejap, aku melihat kobaran itu. Kobaran yang dulu membuat kami hilang dari dunia, larut dalam satu sama lain, lupa segalanya.

“Tolong,” katanya hampir tak terdengar. “Jangan lakukan ini.”

Aku tersenyum lembut.

“Aku bahkan belum mulai.”

Jemari Halden akhirnya menangkap pergelangan tanganku—bukan dengan kekerasan, tapi dengan putus asa. Putus asa untuk mendorongku menjauh… atau menarikku lebih dekat.

Ia sendiri tidak tahu.

Aku bisa merasakannya.

Dan di saat itulah aku tahu:

Aku masih punya tempat di dalam hatinya.

Tempat yang Luna tidak bisa sentuh.

Tempat yang tidak pernah hilang, meski ia mencoba membunuhnya.

“Aku tidak ingin membuatmu menderita,” ucapku, wajahku masih sangat dekat dengan wajahnya. “Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri.”

Halden membuka mata, dan dalam tatapan itu ada perang yang belum selesai.

“Luna…” katanya.

“Tentu,” jawabku lembut. “Dia rumahmu.”

Aku mendekat satu inci lagi, bibir kami hampir bersentuhan—hampir.

“Tapi aku…” napasku menyentuh bibirnya, “aku adalah badaimu.”

Halden terdiam. Nafas kami bertabrakan. Dunia berhenti.

Dan sebelum sesuatu terjadi—sebelum salah satu dari kami melangkah melewati garis yang hanya ada dalam pikiran—

Aku mundur setengah langkah.

Sedikit saja.

Cukup untuk membuatnya mencium kehilangan.

“Selamat malam, Halden,” ujarku sambil tersenyum kecil. “Kita lanjutkan besok.”

Ia tidak menjawab.

Ia hanya duduk, membatu, tidak tahu apakah ia baru saja selamat… atau baru saja jatuh lebih dalam.

Aku menutup pintu kamar tamu pelan-pelan.

Yang tersisa hanyalah aroma ketegangan di udara.

Dan senyum kecil yang tidak bisa kuhentikan.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!