Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TATAPAN YANG TAK BIYASA
Pagi itu, kantor Dirgantara Energi Nusantara, anak perusahaan konglomerasi besar milik keluarga Dirgantara, tampak sibuk. Di lantai 27 Gedung Dirgantara Tower di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, para karyawan sudah beraktivitas dengan ritme cepat—layaknya detak jantung bisnis yang tak pernah berhenti.
Retno Kinasih duduk rapi di mejanya. Rambut hitam legamnya disanggul sederhana, wajahnya tampak segar tanpa banyak riasan, dan matanya menatap layar komputer dengan fokus luar biasa. Sejak pagi, ia menyiapkan presentasi penting tentang rencana ekspansi energi terbarukan yang akan dipresentasikan ke dewan direksi.
Meski hanya seorang staf analis muda, Retno punya reputasi cemerlang. Rekan-rekan satu tim sering memuji ketepatannya membaca tren pasar dan kecermatan dalam membuat laporan. Tapi hari ini, suasana di sekitarnya lebih tegang dari biasanya. Semua tahu—yang akan hadir dalam rapat bukan sembarang pimpinan.
Arif Dirgantara, CEO perusahaan sekaligus pewaris utama keluarga Dirgantara, akan datang langsung.
Sekitar pukul sembilan, lift eksekutif terbuka. Langkah-langkah tegap terdengar mendekat. Semua orang berdiri. Arif memasuki ruang rapat—tinggi, berwibawa, dengan jas abu-abu arang yang terjahit sempurna. Mata tajamnya menyapu ruangan dengan dingin dan terukur. Tak banyak bicara, hanya sebuah anggukan kecil memberi isyarat rapat dimulai.
Retno menunduk sedikit, menenangkan degup jantungnya yang mendadak cepat. Ia memegang pointer di tangannya, lalu mulai menjelaskan rencana yang telah ia susun dengan detail:
“Jika kita memperluas kerja sama dengan PT Surya Mandiri di Kalimantan Timur, proyek ini bisa menekan biaya logistik hingga 18 persen, dan meningkatkan efisiensi distribusi ke pasar ekspor Jepang.”
Suaranya tenang, jelas, dan penuh keyakinan.
Arif memperhatikan. Tidak hanya mendengarkan, tapi menatap Retno cukup lama—lebih lama dari sekadar menilai laporan. Ada sesuatu pada cara Retno berbicara: ketulusan, kecerdasan, dan keberanian yang tidak banyak dimiliki orang di hadapannya.
Selesai presentasi, ruangan sunyi sesaat. Arif mengetuk meja pelan.
“Menarik. Siapa penyusunnya?”
Manajer proyek buru-buru menjawab, “Semua disiapkan tim, Pak. Tapi konsep dasarnya dari Retno Kinasih.”
Arif menatap Retno lagi. Tatapannya dalam—menelusup tanpa kata.
“Baik. Saya ingin Anda ikut dalam tim ekspansi berikutnya ke Surabaya. Kita bahas lebih lanjut nanti.”
Semua menoleh pada Retno dengan campuran kagum dan iri. Bagi mereka, itu hampir mustahil. CEO jarang, bahkan hampir tak pernah, melibatkan staf tingkat bawah dalam proyek nasional. Tapi Arif sudah memutuskan.
Usai rapat, Retno kembali ke mejanya dengan tangan sedikit gemetar. Rekan-rekannya menepuk bahu, memberi selamat, tapi ia tak terlalu menanggapi. Ada sesuatu di dadanya—perasaan aneh yang belum bisa ia jelaskan.
Di ruangannya, Arif berdiri menatap jendela kaca besar. Jakarta di bawahnya berdenyut—gedung, jalan, dan langit samar di balik kabut polusi. Tapi pikirannya bukan pada laporan, bukan pula angka. Gambar Retno berdiri di depan layar proyektor terus muncul di benaknya.
Senyum itu.
Tatapan jujur itu.
Sebuah ketenangan yang terasa asing baginya.
Arif Dirgantara, pria yang biasanya keras dan rasional, mendadak kehilangan fokus. Ia memutar cincin di jarinya—sebuah kebiasaan lama setiap kali pikirannya mulai tak tenang.
“Menarik,” gumamnya pelan. “Sangat menarik.”
Sore menjelang. Hujan turun ringan membasahi kaca. Retno memutuskan lembur, memperbaiki data sebelum dikirimkan ke manajer. Ketika kantor mulai sepi, suara langkah sepatu bergema di lantai.
Ia menoleh. Arif berdiri di sana, tanpa jas, hanya kemeja putih dengan lengan tergulung.
“Masih di sini?”
“Iya, Pak. Saya hanya memastikan data ekspor sudah akurat.”
“Dedikasi yang bagus. Jarang saya lihat orang sekomitmen Anda.”
Retno tersenyum sopan. “Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin pekerjaan saya tidak mengecewakan perusahaan.”
Arif mendekat satu langkah.
“Atau tidak mengecewakan saya?”
Kalimat itu menggantung di udara. Retno menunduk cepat, wajahnya memanas. Ia tak tahu harus menjawab apa. Arif hanya tersenyum tipis lalu melangkah pergi, meninggalkannya dengan degup jantung yang sulit dikendalikan.
Di luar, hujan masih turun. Dan di antara derasnya suara rintik itu, dua hati yang berbeda dunia mulai saling menyadari keberadaan satu sama lain—tanpa mereka sadari, takdir sudah mulai menulis babak baru dalam hidup mereka.
menarik