Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#32
Setelah makan dan membayar, Alden mengajak Nasyila keluar dari warung tersebut. Mereka harus kembali ke hotel karena Naysila tampak mengantuk.
Ketika mereka baru saja keluar dari warung dan baru berjalan beberapa langkah saja, tiba-tiba saja hujan turun tanpa aba-aba. Alden dan Nasyila kaget dengan itu, mereka buru-buru berlari kecil untuk bisa menghindari baju basah.
Walaupun hujannya tak begitu deras, tapi tetap saja tiap tetes air hujan dapat membasahi baju mereka.
Di tengah jalan, Alden menghentikan langkahnya, sehingga Naysila pun ikut berhenti dan menatap suaminya yang mulai melepaskan jaket kulitnya. Alden tiba-tiba mendekat lalu memayungi mereka dengan jaketnya.
Naysila berdiri mematung dibawah naungan suaminya, tubuh tinggi itu berusaha melindunginya dari air hujan.
"Kenapa bengong?" tanya Alden, membuyarkan lamunan Naysila.
"Eh, bukan apa-apa," jawab Nasyila gugup campur malu.
"Ayo, jalan perlahan saja, tidak usah lari-lari. Kita aman dibawah jaketku, gak akan kehujanan," ujar Alden.
Naysila mengangguk pelan, kemudian mereka berjalan bersama di bawah hujan dengan berpayungkan jaket milik Alden.
Selama perjalanan berlangsung, keduanya merasakan debaran jantung yang kian membuncah seolah akan loncat dari tempatnya. Entah apa yang mereka rasakan, tetapi yang jelas keduanya merasa sama-sama hangat dengan kehadiran satu sama lain.
Begitu sampai di hotel, Naysila dan Alden langsung masuk ke lobi dengan pakaian yang setengah basah. Petugas hotel sempat menoleh, namun mereka tidak terlalu memperdulikan. Alden dengan cepat menekan tombol lift, dan keduanya naik ke lantai delapan.
Sesampainya di depan kamar, Alden segera membuka pintu dengan kartu. Naysila masuk lebih dulu, merasa kedinginan karena gamis dan jilbabnya masih basah. Ia memeluk dirinya sendiri, menggigil kecil.
Alden meletakkan jaket kulitnya yang basah di kursi, lalu menoleh ke arah istrinya. "Kamu mandi duluan, Nay. Biar badanmu hangat. Kalau tidak, bisa masuk angin."
Naysila sempat terdiam, lalu mengangguk pelan. "I-iya, Mas."
Ia segera berjalan ke arah kamar mandi sambil membawa pakaian ganti yang sebelumnya sudah ia siapkan di koper.
Sementara itu, Alden berdiri sebentar di tengah kamar. Hatinya terasa senang melihat wajah istrinya yang masih malu-malu. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke balkon kamar hotel.
Alden membuka pintu kaca dan keluar. Angin malam yang lembap menerpa wajahnya. Dari atas lantai delapan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota Medan yang bercampur dengan titik-titik hujan yang masih turun. Suaranya jatuh menimpa atap dan jalanan di bawah terdengar menenangkan.
Ia duduk di kursi balkon, meluruskan kaki, dan bersandar. Tangannya mengusap wajahnya yang masih terasa hangat oleh sisa gerimis. Tatapannya kosong, hanyut dalam lamunan.
"Malam ini sangat indah," gumamnya pelan, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri. "apakah bisa lebih dari hanya sekadar ini semua?"
Pikirannya kembali pada momen tadi. Bagaimana Naysila terlihat gugup, bagaimana ia tersenyum malu-malu saat mencicipi lontong dan sate, hingga saat mereka berjalan berdua di bawah hujan, berpayungkan jaketnya. Semua terasa begitu sederhana, tapi meninggalkan kesan dalam di hatinya.
"Kehadirannya di sisiku, membuatku jadi berat kembali untuk melepaskannya," bisik Alden, menatap langit malam yang kelabu. "Ah, apakah aku akan sanggup bila benar-benar berpisah dengannya?"
Sementara itu, dari dalam kamar, suara air mengalir dari kamar mandi terdengar samar. Alden menutup matanya sejenak, membiarkan dirinya larut dalam irama hujan yang menemani.
Beberapa menit kemudian...
Suara air dari kamar mandi akhirnya berhenti. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Naysila keluar dengan gamis bersih berwarna lembut serta rambut yang masih sedikit lembap di balik jilbab instan-nya. Wajahnya tampak segar, namun ada rona malu yang tak bisa ia sembunyikan.
Langkahnya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sosok Alden di balkon. Lelaki itu masih duduk bersandar, tatapannya menerawang jauh ke arah lampu-lampu kota yang basah oleh hujan. Pundaknya tampak kokoh, namun dari sorot wajahnya terlihat ada beban pikiran yang sedang ia sembunyikan.
Naysila berdiri diam di dalam kamar, memperhatikannya dari balik pintu kaca. Hatinya terasa hangat saat mengingat apa yang baru saja mereka lewati. Makan bersama di warung sederhana, tawa kecil yang muncul tanpa sengaja, dan hujan yang mempertemukan mereka di bawah jaket Alden. Semua terasa begitu dekat, begitu nyata.
Tanpa sadar, senyum tipis terukir di bibirnya. "Apakah aku… mulai nyaman di sampingnya?" batinnya.
Dengan keberanian yang baru saja ia kumpulkan, Naysila akhirnya melangkah pelan lalu membuka pintu kaca balkon. Suara gesekan pintu membuat Alden sedikit terperanjat dari lamunannya.
"Mas," panggil Naysila pelan. "Aku sudah selesai."
Alden tersentak kecil, segera menoleh. Wajahnya sempat kaku sebelum ia mengangguk singkat. "Oh… ya," jawabnya agak terbata, seolah baru sadar keberadaan istrinya. Ia bangkit dari kursinya, mencoba menutupi rasa kikuk. "Aku mau mandi sekarang."
Naysila menunduk sambil meremas ujung gamisnya. "Iya, Mas," sahutnya pelan.
Alden berjalan melewatinya menuju kamar mandi, tapi sebelum benar-benar masuk, ia sempat menoleh sekilas. Pandangan mereka bertemu sepersekian detik, membuat dada Naysila kembali berdebar. Lalu pintu kamar mandi tertutup, meninggalkan Naysila sendiri di dalam kamar.
Ia menatap ke arah balkon yang kini kosong, lalu menyentuh dadanya yang masih berdegup cepat. "Kenapa aku merasa berbeda malam ini? Mas Alden… kenapa tiba-tiba aku ingin malam ini tidak cepat berakhir?"
Hujan di luar akhirnya reda. Dari jendela besar kamar hotel, hanya tersisa titik-titik air yang menempel di kaca, memantulkan cahaya lampu kota Medan yang masih berkelip. Malam semakin larut, namun sunyi kamar justru membuat waktu terasa begitu lambat.
Alden keluar dari kamar mandi dengan kaus santai berwarna gelap dan celana panjang. Rambutnya masih sedikit basah, namun ia tampak segar. Ia meletakkan handuk di kursi, lalu menoleh ke arah istrinya yang sedang merapikan bantal di ranjang.
"Kamu pasti capek," ucap Alden sambil melangkah pelan. "Tidurlah di kasur. Aku di sofa saja."
Naysila spontan menoleh. "Eh, tapi… kamu yang harusnya tidur di kasur. Aku saja yang di sofa. Aku nggak apa-apa kok."
Alden menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Nay, tengah malam pasti dingin sekali. Sofa itu keras, nggak nyaman. Kamu bisa masuk angin nanti. Tidurlah di kasur. Aku lebih baik di sofa."
"Tapi..." Naysila hendak membantah, namun sorot mata Alden membuatnya terhenti. Ada ketulusan di sana, tidak bisa ia tolak.
Alden menambahkan, "Aku sudah biasa tidur di mana saja. Jangan khawatirkan aku."
Naysila menunduk, menggigit bibir bawahnya. Rasanya ia ingin tetap bersikeras, tapi suaranya tidak keluar. Ia tahu, lelaki itu sedang mencoba menjaga dirinya. Perlahan, ia mengangguk. "Baik, Mas. Tapi… kamu harus ambil selimut tambahan. Biar tidak kedinginan."
Senyum tipis kembali muncul di wajah Alden. "Iya, aku memang mau minta ke resepsionis."
Ia segera menekan nomor telepon resepsionis, meminta satu selimut ekstra. Tak lama kemudian, seorang petugas mengetuk pintu dan mengantarkannya. Alden menerima dengan sopan, lalu menaruh selimut di sofa tempat ia akan tidur.
Suasana hening kembali menyelimuti. Hanya terdengar suara AC dan detak jarum jam yang menggema pelan. Naysila akhirnya naik ke kasur, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Namun, sebelum memejamkan mata, ia sempat melirik ke arah Alden yang sedang membentangkan selimut di sofa.
Lelaki itu terlihat santai, meski tubuhnya yang tinggi terasa sedikit 'kepanjangan' untuk sofa kecil itu. Naysila merasa ada yang mengganjal di hatinya.
"Mas…" panggilnya pelan.
Alden menoleh. "Hmm?"
"Kalau kamu mau..." ucap Nasyila ragu. "kamu boleh tidur di sini juga. Sepertinya, sofa itu terlalu kecil untuk kamu."
Alden menggeleng pelan. "Gak usah, Nay. Aku di sini saja. Aku gak mau kamu merasa terancam hanya karena aku tidur di sampingmu."
"Tapi... nanti kamu gak nyaman juga. Kaki kamu bisa pegal."
"Gak apa-apa, aku bisa meringkuk," jawab Alden santai. "Tidurlah yang nyenyak, besok kita ada acara penting."
Naysila hanya mengangguk, tapi matanya tetap memperhatikan Alden yang jelas memaksakan diri tidur di sofa demi dirinya.
"Mas..."
"Hmm?"
"Maaf kalau… merepotkan."
Alden terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. "Kamu nggak merepotkan, Nay. Justru… aku merasa senang bisa ada di sini bersamamu, walaupun hanya untuk sebuah kepentingan."
Wajah Naysila seketika memanas. Ia buru-buru membalikkan tubuh, menghadap ke arah jendela agar punggungnya menghadap Alden. Tangannya meremas selimut, jantungnya berdegup cepat.
"Kenapa aku merasa… Mas Al jadi benar-benar berbeda malam ini?" batinnya.
Alden sendiri masih menatap ke arah kasur beberapa saat sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di sofa. Ia menarik napas panjang, menutup mata, dan mencoba tidur. Namun, hatinya masih penuh dengan bayangan senyum malu-malu Naysila. Apalagi setelah mendengarkan suara Naysila yang tadi memanggil beberapa kali dengan nada yang lembut dan terdengar manja.
Alden tersenyum manis sementara matanya terpejam, lalu ia bergumam, "Terima kasih untuk kesempatan yang kamu berikan, Nay. Meskipun hanya kebersamaan seperti ini, tapi setidaknya kita punya kenangan indah bersama yang bisa kita ingat jika benar-benar bercerai nanti."
Malam di Medan itu akhirnya benar-benar hening. Hujan telah berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang terbawa angin hingga ke lantai delapan. Lampu-lampu kota masih berkelip, seperti bintang yang menolak padam di bawah langit kelabu.
Di dalam kamar hotel, dua jiwa yang selama ini hidup dalam jarak kini sama-sama terlelap. Naysila dengan wajah teduhnya di ranjang empuk, dan Alden yang merangkul dirinya sendiri di sofa sempit. Mereka berbeda tempat, namun dipersatukan dalam satu ruang yang sama.
Tak ada kata cinta terucap malam itu, tak ada janji manis yang terlafal. Namun, dalam diam, hati mereka saling mendengar. Dalam sunyi, ada rasa yang tumbuh tanpa diminta.
Naysila memeluk selimutnya erat, membawa senyum samar dalam tidur. Sementara Alden, meski tubuhnya terasa pegal di sofa kecil, justru tidur dengan wajah yang tenang, seakan malam itu mampu menghapus segala keresahan di hatinya.
Malam itu tidak meninggalkan pelukan ataupun genggaman, tapi meninggalkan sesuatu yang lebih berarti: rasa hangat yang perlahan meruntuhkan dinding di antara mereka.
Dan mungkin, tanpa mereka sadari, justru dari sinilah sebuah cerita baru mulai dituliskan.
*****