Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adaptasi
Jagat terbangun dengan sensasi yang membuatnya ragu apakah ia masih di tubuh yang sama. Udara pagi terasa jernih hingga ia bisa membedakan bau sabun cuci piring dari dapur, wangi minyak kayu putih di kamar ibu, bahkan debu tipis yang tertiup dari ventilasi. Saat menurunkan kaki ke lantai, keseimbangannya begitu sempurna sampai-sampai gerakan kecil saja terasa presisi. Ia menatap kedua telapak tangan, membaliknya, dan merasakan kilau halus seperti denyut listrik yang merambat pelan di bawah kulit.
Sebuah bolpoin tergelincir dari tepi meja. Dulu, benda jatuh selalu terlihat sebagai satu kilat gerak, kini seperti dibentangkan dalam bingkai-bingkai lambat. Tangannya bergerak tanpa perintah panjang, mencubit udara, dan bolpoin mendarat di jemarinya. Jantungnya berdegup. “Apa barusan…?”
Refleks meningkat tiga puluh dua persen, kata suara itu—datang begitu jelas tanpa menembus udara. Tenang, datar, dan seolah sudah mengenal semua denyut di tubuhnya. Penggabungan berhasil. Tubuhmu mulai menyesuaikan dengan nanobot.
“Nova?” Jagat menoleh ke kanan-kiri, lalu menepuk pipi sendiri. “Kau beneran ada?”
Aku ada di dalammu. Hanya kau yang bisa mendengar. Kau bisa memanggilku kapan saja.
Ia mengembuskan napas panjang, setengah tak percaya, setengah ngeri. “Jadi yang semalam… bukan mimpi.”
Nyata. Dan kau akan merasakan banyak hal berbeda. Tapi jangan gegabah. Tubuhmu masih rapuh bila dipaksa.
Bau nasi goreng menyelinap dari dapur. Di meja makan, ibunya sudah duduk bersandar, bibirnya tersenyum kecil walau pucat. Nadia mondar-mandir mengambil piring, rambutnya disanggul seadanya.
“Pagi, Mas,” sapa Nadia. “Kok keliatan seger banget? Biasanya habis lembur mukamu kayak habis di-setrika.”
“Tidurnya lumayan,” jawabnya, menahan canggung.
Ibu menatap dalam-dalam, ada kehangatan sekaligus kekhawatiran di situ. “Kamu sehat, Nak? Jangan terlalu dipaksa kerja. Ibu—”
“Bu, tenang. Aku baik-baik aja.” Ia cepat memotong, takut nada suaranya bergetar dan membocorkan sesuatu yang bahkan ia sendiri belum paham.
Dalam kepalanya Nova berkomentar seperti catatan klinis: denyut nadi naik. Kau takut rahasiamu terbongkar.
“Mas?” Nadia mencondongkan tubuh. “Jangan-jangan jatuh cinta, ya?” Ia menyengir nakal.
“Ngaco.” Jagat pura-pura melotot. “Sarapan sana.”
Tawa ringan mengambang di ruang sempit itu. Nasi goreng sederhana, teh panas, dan bunyi sendok menyentuh piring mengisi kekosongan yang biasanya diisi kekhawatiran. Jagat memperhatikan dua orang yang paling ingin ia lindungi. Dalam hati ia berjanji, apa pun yang terjadi, rahasia ini akan ia jaga demi mereka.
Setelah sarapan, ia kembali ke kamar, menutup pintu pelan. Dada naik turun stabil, tapi ada kegaduhan kecil di balik ketenangan itu: rangkaian pertanyaan yang saling menyalip. “Nova, jawab jujur: aku ini… masih manusia?”
Secara biologis, ya. Nanobot hanya mengoptimalkan sistem. Kau bukan mesin. Tapi kau juga bukan manusia biasa lagi.
Ia menatap bayangannya di cermin: wajah yang sama, tapi tatapan yang lain. Ada fokus baru di sana, sesuatu yang mengunci dunia di satu titik dan menajamkan tepinya. “Kalau begini, aku harus tahu batasnya.”
Ia keluar ke halaman belakang yang sempit. Matahari belum tinggi. Ia berdiri tegak, menekuk lutut, lalu mengambil tiga langkah lari ringan. Tanah gang terasa memantul, sepatu bututnya menghantam permukaan dengan ritme yang membuatnya tersenyum—tubuhnya bergerak seperti musik yang tiba-tiba hafal notasi sendiri. Ia sprint pendek. Nafasnya stabil padahal biasanya di jarak segitu ia sudah menelan udara terburu-buru.
Coba lompatan vertikal, kata Nova. Jagat menelan ludah, menekuk lutut lebih dalam, dan melompat. Ujung jemarinya menyentuh puncak tembok semen yang tingginya nyaris dua meter. Ia mendarat; lututnya sedikit bergetar, tapi tak ada rasa perih seperti kebiasaan.
“Ini luar biasa,” gumamnya, antara kagum dan ngeri.
Bukan luar biasa. Terukur. Peningkatan efisiensi otot 18%, distribusi energi otot-otot besar 11%. Namun peringatan: jangan memaksa. Adaptasi organ internal perlu waktu.
“Kalau kupaksa?”
Risiko mikrorobekan jaringan, aritmia ringan, pusing. Kau ingin kuat, bukan tumbang.
Ia tertawa kecil—tegang. “Iya deh, dokter.”
Di sudut halaman ada batu bata retak. Iseng, ia menggenggamnya. Tekanan pelan bertambah… retakan melebar… “Jangan, jangan…” katanya pada diri sendiri, lalu melepaskan. Batu itu selamat. Ia meniup tangan, sedikit malu pada imajinasi yang barusan berharap bisa meremukkan sesuatu.
Ada suara sandal diseret dari depan. Nadia muncul di pintu belakang, mengangkat alis. “Mas ngapain ngelihatin bata kayak musuh bebuyutan?”
“Mediasi damai,” katanya enteng.
“Kalau bata bisa jawab, pasti dia minta ganti rugi,” Nadia cekikikan, lalu menuruni dua anak tangga.
“Mas, tadi Ibu batuknya lumayan. Nanti jam sepuluh aku dampingin ke puskesmas ya?”
“Iya. Aku antar sekalian sebelum kuliah.”
Mata Nadia mencari-cari sesuatu di wajah kakaknya. “Mas…”
“Hm?”
“Entah kenapa, rasanya Mas beda. Bukan cuma segar. Kayak… fokus banget.”
“Banyak pikiran.” Ia mengangkat bahu. “Tugas, kerjaan, tagihan.”
Nadia menghela napas. “Kapan ya hidup kita santai?”
“Suatu hari,” kata Jagat, pelan tapi yakin—lebih yakin daripada yang ia maksudkan—karena ada suara lain yang, anehnya, membuat keyakinan itu terdengar wajar.
Saat mengantar ibu ke puskesmas, ia memeriksa kecepatan langkahnya, cara tubuhnya menyeimbangkan beban saat memapah. Semua terasa presisi—sebuah koreografi yang kemarin tak ada. Di meja pendaftaran, ia bicara sopan, mengurus antrean, sementara Nadia memijat punggung ibu. Ketika giliran masuk, ia menunggu di kursi dengan kaki gelisah, menatap daftar biaya di papan: angka-angka yang selama ini menjadi musuh tak terlihat.
Kau bisa memperbaiki cara dudukmu, bisik Nova. Beban punggung bawah kurang baik. Ia bergeser sedikit—dan rasa pegal kronis yang biasanya menempel tiba-tiba mengendur. Ia melirik ke kiri-kanan, merasa lucu karena dirinya “disetir” oleh sesuatu yang tak bisa dilihat siapa pun.
Dalam perjalanan pulang, Nadia memeluk lengan ibu. “Mas, nanti aku masak sup. Buat tenaga.”
“Boleh,” kata Jagat. “Nanti aku bantu potong bawang.”
“Jangan banyak gaya. Nanti bawangnya protes.”
“Bawang nggak punya serikat buruh,” Jagat membalas. Mereka bertiga tertawa kecil; itu bukan humor besar, tapi cukup untuk mengusir pagi yang terlalu serius.
Setelah makan siang sederhana—sup yang terlalu banyak air tapi hangat di perut—Jagat duduk di depan meja kerja ayahnya. Laci, kertas-kertas, goresan pensil tua: semuanya seperti jejak yang sengaja dibiarkan untuk seseorang yang seharusnya mengerti. Ia mengusapi permukaan kayu, membayangkan tangan ayahnya menulis rumus, menggambar sambungan, menimbang keputusan yang akhirnya membuat mereka jatuh miskin.
“Kalau kau di sini, Ayah… apa kau setuju?” bisiknya. “Anakmu berubah jadi sesuatu yang belum ia pahami.”
Tidak ada jawaban selain bunyi kipas tua. Nova yang menanggapi: ayahmu memahami risiko. Ia menyiapkan banyak hal, tapi beberapa hanya bisa diakses olehmu. Kau kunci terakhir.
Jagat bersandar. “Kunci yang belum mengerti pintu.”
Pintu itu ada. Dan kita akan ke sana.
Ia menutup mata sebentar, mendengar detak jantungnya yang tenang. Saat membuka mata, jam dinding sudah melewati angka dua. Kuliah sore menunggu. “Nova,” katanya pelan, “kalau di kampus nanti ada yang cari gara-gara… apa aku harus diam?”
Gunakan kekuatanmu seperlunya. Tujuan kita bukan membuktikan otot, melainkan membuka jalan. Dan ingat, ada indikator pengawasan di radius lingkungan ini.
“Pengawasan?”
Pola komunikasi tak lazim. Bukan warga biasa. Kemungkinan—mata yang memantau.
“Sejak kapan?”
Beberapa hari. Intensitas berubah sejak penggabungan.
Ia berdiri, menelan ludah. Ada rasa ingin menantang, tapi juga rasa ingin menutup semua tirai dan menghilang. “Kalau mereka mengawasi,” katanya, “berarti aku harus bertingkah normal.”
Itu strategi yang baik. Normal adalah penyamaran terbaik.
Ia mengganti baju, merapikan rambut, memeriksa tas kuliah yang selalu terasa terlalu ringan untuk menanggung harapan keluarga. Sebelum keluar, ia menengok kamar ibu. Ratna tertidur, napasnya berat namun ritmenya stabil. Nadia duduk di lantai dengan buku catatan, menulis sesuatu—mungkin tugas sekolah, mungkin daftar belanja.
“Mas berangkat dulu,” katanya.
Nadia mengangkat tangan, tersenyum. “Pelan di jalan.”
Di ujung gang, ia menyalakan motor. Mesin tua itu protes dulu sebelum akhirnya pasrah hidup. Jagat menarik gas, menyeberang jalan, dan di kaca spion ia melihat pantulan seorang lelaki berkacamata duduk di warung kecil, menatap ponsel, pura-pura tidak melihat ke arah rumahnya. Jagat menahan pandang. Normal adalah penyamaran terbaik, ulangnya dalam hati, dan motor pun meluncur.