NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Lobi hotel sore itu ramai oleh lalu-lalang tamu yang baru turun dari kapal feri Singapura. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer, bercampur dengan dering telepon di meja resepsionis.

Nindya berdiri tegak di balik meja, seragam putih dan blazer hitamnya rapi, senyumnya profesional—senyum yang sudah terlatih bertahun-tahun, bahkan ketika hatinya masih penuh dengan sisa luka perceraian.

Ia baru saja menyelesaikan proses check-in untuk sepasang turis ketika seorang pria tinggi dengan langkah mantap masuk. Dari cara ia melangkah, dari potongan jasnya yang pas badan, jelas ia bukan wisatawan biasa. Aura eksekutif terpancar dari tiap geraknya. Mata Nindya sempat menangkap siluetnya sekilas, sebelum ia kembali menunduk pada komputer di depannya.

“Good evening, sir. May I help you?” suara salah satu staf resepsionis junior terdengar sopan.

Pria itu—Andrew—menyodorkan paspor dan konfirmasi pemesanan. Nindya tidak berniat ikut campur, sampai ia melihat ekspresi ragu staf junior yang tampak kebingungan.

Ada masalah di layar sistem reservasi atas nama Andrew tampak ganda, satu untuk single room, satu lagi suite, dengan tanggal berbeda. Jika salah ditangani, bisa berakibat buruk—terlebih untuk tamu seperti ini.

“Kenapa Nir, boleh saya ambil alih sebentar?”

"Reservasinya ganda Kak."

Nindya mendekat, suaranya tenang. Ia menoleh sekilas pada Andrew dan memberi senyum profesional.

“Mohon maaf, ada sedikit kendala di sistem. Saya akan bantu pastikan kamar Anda tersedia sesuai pesanan.”

Andrew mengangguk singkat. Ia menatap Nindya sekilas, seperti menilai seseorang yang baru ditemuinya. Ada sorot waspada di matanya, tapi juga rasa ingin tahu.

Jari-jari Nindya lincah menari di atas keyboard. Sambil memeriksa, ia menjelaskan dengan tenang,

“Sepertinya ada duplikasi data dari sistem online. Bapak memesan untuk tanggal berbeda, tapi sudah kami pastikan suite yang Bapak inginkan malam ini tersedia.”

Andrew memperhatikan cara Nindya bicara jelas, tanpa bertele-tele, tidak seperti banyak staf yang sering terdengar gugup di hadapan tamu penting. “Efficient,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.

Nindya hanya tersenyum tipis, melanjutkan pekerjaannya. Tak ada alasan untuk larut dalam komentar. Baginya, tamu tetap tamu. Ada aturan tak tertulis di dunia hospitality jangan biarkan jarak profesional itu runtuh.

Setelah beberapa menit, masalah selesai.

“All set, Pak Ini kunci kamar Anda ada kebutuhan khusus yang ingin kami siapkan?.”

Andrew menerima keycard itu, matanya kembali menatap Nindya. Bukan tatapan genit, bukan pula tatapan sekadar basa-basi. Lebih seperti tatapan seseorang yang sedang mengukur siapa perempuan di balik seragam ini, yang bisa tetap tenang bahkan ketika situasi berantakan?.

“Terima kasih… Nindya,Swardhani?” Ia sempat melirik name tag di blazer hitamnya.

"Nama yang indah."

“Terimakasih Selamat beristirahat,” jawab Nindya singkat, tetap dengan senyum formal.

Andrew mengangguk, lalu beranjak pergi bersama bellboy yang membantunya membawa koper.

Bagi Nindya, itu hanya satu dari sekian banyak interaksi hari itu. Ia tidak menaruh hati, tidak memberi makna apa-apa.

Tapi Andrew, di kamarnya malam itu, sempat mengulang namanya dalam hati. Nindya. Nama yang terdengar sederhana, tapi entah kenapa meninggalkan jejak.

Beberapa hari berikutnya, Andrew sering terlihat di lobi hotel, keluar-masuk untuk urusan bisnisnya dengan klien lokal.

Nindya tetap menjaga sikap: menyapa sekadarnya, memastikan layanan berjalan mulus, tidak lebih.

Tapi justru jarak profesional itulah yang membuat Andrew memperhatikannya lebih jauh. Ia terbiasa dengan wanita yang terlalu berusaha mendekat, entah karena rupanya, jabatannya, atau dompetnya. Nindya berbeda—ada dinding yang tidak mudah ditembus.

Sampai suatu sore, Andrew kembali ke meja resepsionis, wajahnya agak tegang. Ada dokumen penting yang ia butuhkan untuk meeting mendadak, tapi koper yang membawanya tertinggal di pelabuhan. Timnya terlambat mengurus.

“Apakah Anda bisa bantu kontak agen pelabuhan untuk mempercepat pengiriman barang saya?” tanyanya pada staf.

Staf lain tampak bingung. Nindya akhirnya melangkah maju.

“Boleh saya yang bantu,Pak.saya punya kenalan dipelabuhan mungkin bisa lebih cepat kalau langsung dihubungi.”

Andrew menatapnya lagi. Kali ini ada secercah lega di wajahnya.

“Saya akan berterima kasih sekali jika itu bisa diatur.”

Nindya mengangkat telepon, bicara dengan suara tegas tapi sopan. Sepuluh menit kemudian, masalah selesai: koper Andrew dijamin sampai ke hotel dalam satu jam.

“Done, Pak tidak perlu cemas.”

Andrew terdiam sejenak, lalu mengangguk. “You’re… impressive.” Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa basa-basi.

Nindya hanya tersenyum tipis, menunduk sedikit.

“Itu memang bagian dari pekerjaan saya.”

Andrew tahu batas itu, dan tidak mencoba melewatinya. Tapi dalam diam, benih kecil sudah tertanam.

Malamnya, ketika lobi hotel mulai lengang, Nindya berjalan pulang dengan langkah letih. Ia tidak menyadari bahwa dari balkon lounge lantai dua, Andrew sempat memperhatikannya sekilas.

Bagi Andrew, ia hanyalah perempuan dengan seragam hotel. Namun sesuatu dalam keteguhan cara berjalan, dan ketenangan saat menghadapi masalah, membuatnya ingin tahu lebih jauh.

Sedangkan bagi Nindya, hari itu sama saja dengan hari-hari lain. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak menyadari bahwa hidupnya baru saja bersentuhan dengan arah baru.

Keesokan paginya, Andrew kembali melewati meja resepsionis, hendak keluar untuk pertemuan bisnis. Kali ini ia tidak buru-buru. Ia berhenti sebentar, menoleh pada Nindya.

“Selamat pagi,” sapanya dalam bahasa Indonesia yang terdengar fasih, meski dengan sedikit aksen inggris.

Nindya mengangguk sopan.

“Selamat pagi, Pak.”

Andrew menambahkan,

“Batam panas ya,”

"Betul Batam panas sekali."

Ucapan sederhana, tapi bagi Nindya, jarang ada tamu yang repot-repot memedulikan staf hotel. Ia hanya menjawab singkat,”

Andrew tersenyum, lalu melangkah keluar.

Nindya menatap punggungnya sebentar sebelum kembali pada layar komputer. Ia tahu batas, ia tahu aturan. Tapi di balik profesionalitas itu, ada sesuatu yang bergerak pelan dalam dirinya—sebuah rasa ingin tahu yang tak bisa ia tolak.

Andrew, di sisi lain, sudah terbiasa melihat orang menunduk hormat padanya, atau berusaha mengambil perhatiannya dengan cara murahan. Nindya berbeda. Ia dingin, menjaga jarak, tapi justru itulah yang membuatnya semakin penasaran.

Perempuan itu… siapa sebenarnya? pikir Andrew, saat mobil kantor membawanya menuju pertemuan di shipyard.

Siang di Batam selalu sibuk. Kapal feri keluar-masuk pelabuhan, mengangkut pekerja dan turis dari Singapura. Dari jendela kamarnya,

Andrew menatap laut yang berkilau diterpa cahaya matahari. Ia berdiri lama, memikirkan rapat dengan klien galangan kapal sore nanti, tapi pikirannya terus kembali ke meja resepsionis di lantai bawah.

Perempuan itu… Nindya.

Ia menekan pelipisnya, sedikit kesal pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia membiarkan pikiran bercabang hanya karena seorang staf hotel? Tapi justru karena itu, ia semakin penasaran.

Di lobi, Nindya sibuk dengan antrean tamu. Ia memeriksa paspor, menggesek kartu kredit, memberi instruksi pada bellboy. Semua berjalan biasa sampai Andrew muncul. Ia tidak tergesa, hanya berdiri menunggu gilirannya meski jelas ia bisa saja langsung diprioritaskan.

Ketika akhirnya tiba di depan meja, ia meletakkan selembar kertas.

“Saya butuh bantuan, Nindya. Ada perubahan jadwal meeting dengan klien. Bisa tolong cetakkan ulang itinerary saya? Saya tidak terlalu paham dengan sistem cetak di sini.”

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!