Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di interogasi
Tristan tiba di Singapura.
Rumah adalah tempat yang asing baginya, sangat sulit membuat Tristan kembali dan bertemu ayahnya. Dalam 5 tahun terakhir, ini adalah kepulangan keduanya itupun karena ada masalah yang menyangkut sang asisten. Jika tidak, Tristan pasti lebih memilih untuk mengunjungi setiap cabang perusahaan dari pada menetap di negara itu.
"Ayah, aku di sini."
Tuan Bagaskara duduk di kursi roda. Dia menatap putranya dan tersenyum kecut.
"Bermasalah dengan satu wanita bisa membuatmu datang padaku, ini sungguh luar biasa."
Tristan tahu jika ayahnya akan mengatakan hal itu.
"Dia hanya seorang sekretaris."
Tuan Bagaskara melihat cincin di jari manisnya.
"Jadi, kamu benar telah melamar nya?"
Tristan menyadari arah tatapan sang ayah.
"Ini hanya cincin biasa, aku memang suka memakainya. Apa ayah baru lihat?"
"Yang model seperti itu baru aku lihat."
Daren menunggu di luar, dan Tristan tak bisa langsung meninggalkan tempat itu.
"Ayah menyelidikinya. Dia orang terbuang."
Ada nada sinis yang tersirat dalam pengucapannya.
"Jangan bicara seperti itu."
"Kenapa?" Tristan tidak mampu menjawabnya.
"Kamu peduli padanya, iyakan?"
Tristan diam
"Ayah tidak akan pernah mempersulit mu. Begini saja. Ajak dia ke sini atau ayah yang akan kesana."
Tristan panik. Meski demikian dia tetap mencoba tenang.
"Ayah, sungguh. Aku dan dia tidak memiliki hubungan apapun. Aku bersumpah."
"Ayah juga pernah muda Tristan, ayah tahu perasaanmu. Orang lama itu tak lagi di sana, bukan?"
Setiap ucapan Tuan Bagaskara membuat membuat putranya tak bisa mengelak.
"Kau tahu, Nak. Ayah ini sudah sangat tua, kamu ingin menunggu berapa lama lagi untuk melihat orangtua ini bertahan melihatmu menggendong anak."
"Ayah, tolong jangan bicara seperti itu. Aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu."
"Dia berbeda, dia tidak suka padaku."
"Apa kau bercanda, bagaimana bisa seorang gadis menolak putraku, apa yang kurang padamu, ayo katakan?"
"Ayah, dia hanya menganggap aku sebagai bosnya, hubungan kami memang hanya sebatas rekan kerja."
"Apa maksudmu, Nak?"
"Aku akan tetap di sini, jauh darinya."
"Tristan, jika kamu begini terus. Kamu benar-benar akan menua tanpa pasangan."
"Aku tidak takut. Aku menikmati hidupku ayah."
Tuan Bagaskara tersenyum. Lebih tepatnya menertawakan putranya.
"Lalu, bagaimana jika dia menemukan seseorang yang lain dan jatuh cinta, apa kau siap?"
"Tentu saja, sudah kubilang aku dan dia tak memiliki hubungan yang special."
"Oke, terserah saja." Tuan Bagaskara memberikan isyarat dan suster yang menjaganya segera membawanya kembali ke kamar.
Tristan diam terpaku merenungi ucapannya barusan. Sudah sangat lama, dan ayahnya memang telah menunggu berita baik datang darinya.
"Bro." Daren datang menghampiri.
"Lo suka Dinda kan? Gua bisa lihat itu."
"Kalau ngga suka, nggak mungkin dia jadi asisten, Ren."
"Maksud gua ngga gitu, Bro."
Daren menggelengkan kepala.
"Aku mencari sosok istri, aku ngga mau pacaran. Dinda bukan type perempuan yang siap berkeluarga. Jadi tolong jangan bahas ini lagi."
"Wah, itu terdengar sangat serius."
"Aku memang serius, Dinda itu tak melihatku sebagai pria makanya percuma membahasnya."
Daren bisa melihat jika Tristan sedang kesal.
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Aku penasaran dengan keluarga Duaji."
Daren menatapnya tak biasa.
"Tristan, jangan main-main. Lo mau ngapain?"
"Aku hanya ingin tahu siapa mereka, dan bagaimana pengaruhnya dalam dunia bisnis, aku bahkan sudah menyuruh orang untuk menyelidiki nya. Anggap saja untuk membantu Dinda di kemudian hari.
"Lu emang peduli berat sama dia, udah jauh begini aja, masih sempet mikirin tu anak."
"Aku hanya kasihan, apa kau tidak kasihan?"
Daren pun terdiam. Menjadi orang yang dilupakan adalah hal yang menyakitkan.
Dinda bukan hanya di buang, tapi juga di abaikan.
***
Di Jakarta.
Waktu terus berlalu dan Dinda benar-benar serius dengan tanggung jawabnya di perusahaan, gadis itu berhasil mendapatkan kontrak kerja membuat kepercayaan dirinya semakin meningkat.
Laporan-laporan penting dia kirimkan ke Daren setiap akhir jam kerja. Sengaja menetapkan waktu agar tak mendapatkan komplenan saat malam hari karena waktu singkat hanya di persiapkan untuk istirahat.
"Da pulang woi?" Siska menyapa dari teras rumah.
Dinda mengangguk dengan semangat yang tersisa. Dia berjalan dalam keheningan dan menaiki tangga satu per satu.
"Udah."
"Gimana kerjaan lo? Lancar?"
"Lancar banget, walau sebenarnya ada beberapa masalah sepele yang kadang bikin bad mood."
"Soal?" Dinda diam tak berniat untuk terbuka pada gadis itu.
"Soal pekerjaan, ada aja yang komplen soal ini itu, capek banget sebenarnya."
Siska duduk di anak tangga, Dinda ikut bergabung di sana dan menoleh ke belakang.
"Nenek gimana?" tanyanya.
"Udah tidur. Tadi sempet cerewet nyariin lo, tapi gua bilang lo udah di jalan."
Dinda sangat bersukur dengan adanya Siska di sana. Meski hanya sekedar mengawasi, tapi Siska mampu membuat Dinda merasa lega.
"Thank you ya, hari ini berat banget bagiku, tapi karena ada teman mengobrol sepertimu, rasanya capekku ngga terlalu berat."
"Alaaah, gombal banget lu."
"Aku serius, Sis. Kalau aku dapat bonus nanti, aku akan ajak kamu beli baju, gimana?"
"Janji?" Siska seketika bersemangat.
"Iya, aku berjanji."
"Oke, kalau gitu gua balik. Udah malam nih. Lu juga pasti capek banget kan."
"Iya, thank you ya, Sis." Dinda melambaikan tangan.
"Oke!"
Dinda masuk dan mengunci pintu, hal pertama yang dia lakukan adalah melihat keadaan neneknya.
Bu Layla telah lelap di atas ranjang, Dinda bersukur melihat orangtua itu baik-baik saja.
Kenangan kelam 18 tahun yang lalu kembali terbayang.
Saat itu.
Seorang anak kecil dengan gaun putih, dan rambut kepang dua menangis di pinggir jalan, dia tidak tahu harus kemana. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia tak punya uang, sedang kedua orangtuanya telah pergi membawa saudara kembarnya menuju ke rumah sakit.
Wahana bermain telah tutup dari tadi, gadis itu menunggu, siapa tahu keluarganya akan kembali dan menjemputnya. Sayangnya, sampai tengah malam begini tak ada siapapun yang datang kecuali seorang wanita tua.
"Hey anak manis, mengapa menangis sendirian di sini?"
Gadis kecil itu menatapnya. Dia takut tapi tak ada siapa-siapa lagi di sana.
"Namamu siapa?"
"Rumahmu di mana?"
Gadis kecil itu hanya bisa menatap waspada.
"Mau nenek antar ke kantor polisi?"
Beberapa jam berlalu dan gadis itu menyaksikan darah keluar dari kepala kembaran nya. Dia sontak menggelengkan kepala karena takut.
"Namamu siapa? Ayo Nenek antar ke kantor polisi."
"Aku ngga mau, aku ngga mau ke polisi."
Gadis kecil itu menangis jejeritan, suaranya pun hampir habis karena terus berteriak.
"Tolong aku, orangtuaku meninggalkan aku di sini. Mereka tidak suka padaku."
"Hey, kamu bicara apa? Tidak ada orangtua yang tak sayang pada anaknya."
Gadis kecil itu memeluk kedua lututnya, airmatanya luruh dan bingung harus bagaimana.
"Namamu siapa? Nama nenek, adalah Layla."
"Namaku Dinda."
"Dinda, apa kamu sudah makan?"
Gadis kecil itu menggelengkan kepala.
Karena merasa kasihan, nenek Layla pun membawanya pulang.
"Kalau begitu, maukah kamu ikut sama nenek makan semangkuk sup di rumah?"
Dinda mengangguk.
Tangan gadis kecil itupun terulur.
"Anak pintar."
"Setelah dari rumah nenek nanti kita ke kantor polisi, bagaimana?"
"Aku ngga mau ke kantor polisi, aku ngga mau!!"
Nenek Layla cemas melihatnya.
"Baiklah, kalau begitu kita tidak usah ke kantor polisi."
Selama Dinda tinggal bersamanya, tak sekalipun dia menceritakan siapa kedua orangtuanya.
Dinda cukup merasa bersyukur karena nenek Layla mau menampungnya dan mengadopsinya.
Melihat wanita tua itu berbaring seperti ini, Dinda pun naik di samping tempat tidurnya.
"Dinda, kamu sudah pulang?"
Airmata Dinda jatuh tanpa suara.
"Sudah, Nek." Hanya wanita tua itu yang perduli padanya dan menanyakan keadaannya tiap waktu.
"Apa kau sudah makan?"
Dinda mengangguk dalam tangisnya.
"Sudah, Nek."