NovelToon NovelToon
Gadis Centil Milik CEO Dingin

Gadis Centil Milik CEO Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: siti musleha

Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.

Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.

Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 Antara Bisnis dan Cemburu

Pagi di rumah Adrian dan Alira dimulai dengan suara burung dari taman belakang. Matahari menyelinap melalui tirai tipis, menerangi ruang makan yang rapi dengan gaya modern minimalis. Adrian sudah duduk di kursi, seperti biasa: kemeja putih rapi, rambut klimis, wajah dingin. Ia sedang membaca laporan di tablet sambil menyesap kopi hitam.

Alira muncul dengan rambut masih sedikit berantakan, mengenakan piyama satin warna pink dengan motif hati. Dia menguap lebar sambil menyeret sandal rumah, langsung duduk di kursi seberang Adrian.

“Mas… pagi,” sapanya dengan suara manja, sambil menopang dagu.

Adrian hanya menoleh sekilas. “Pagi.”

Alira mendengus. “Pagi kok dingin banget jawabnya. Aku kan istrimu, Mas. Harusnya lebih hangat.”

“Pagi adalah pagi. Tidak ada variasi lain,” jawab Adrian tenang, kembali menatap tabletnya.

“Heh! Kalau begitu mulai besok aku akan jawab: ‘pagi, suamiku yang dingin.’ Biar Mas sadar aku perhatian.”

Adrian mendesah pelan, menekan pelipisnya. “Kau ini benar-benar…”

“Lucu, ya kan?” potong Alira cepat sambil nyengir.

Adrian memilih diam. Ia tahu, semakin ditanggapi, semakin panjang ocehan Alira. Tapi diam pun ternyata bukan solusi, karena Alira menatapnya dengan pandangan penuh arti, seolah menunggu sesuatu.

“Mas…” panggilnya lagi.

“Ya?” Adrian masih tidak mengalihkan pandangan dari tablet.

“Kenapa semalam Mas…” Alira menggigit bibir, wajahnya memerah seketika. Ingatannya kembali ke momen Adrian menyentuh pinggang—bahkan sempat menyentuh pahanya. Detik itu juga, hatinya berdegup cepat.

Adrian menoleh perlahan, menatapnya dengan dingin tapi tajam. “Kenapa semalam apa?”

Alira buru-buru menunduk, menusuk roti di piringnya dengan garpu. “Nggak… nggak jadi.”

Adrian mengangkat alis, menyadari pipi Alira memerah. Ia menahan senyum tipis yang hampir muncul. “Kau salting.”

“Aku tidak!” Alira langsung bersuara keras, lalu salah tingkah menutup wajahnya dengan roti.

Adegan itu membuat Adrian kembali menatap tabletnya, tapi dalam hati ia merasakan sesuatu yang aneh: puas, karena bisa membuat gadis centil itu tak berkutik.

Tepat saat suasana mulai tenang, ponsel Adrian bergetar di meja. Notifikasi pesan masuk. Alira yang duduk di seberang langsung melongok.

“Dari siapa, Mas?” tanyanya kepo.

“Rekan bisnis,” jawab Adrian singkat, meraih ponselnya.

Alira berusaha melirik, tapi Adrian memiringkan layar, membuatnya tak bisa melihat. Meski begitu, Alira cukup cepat membaca nama yang sempat muncul Mr. Seto.

Adrian membuka pesannya.

“Selamat pagi. Hari ini saya ingin mengadakan pertemuan membahas kelanjutan proyek. Saya harap Anda bisa datang bersama istri. Saya rasa pendapatnya akan sangat berguna.”

Mata Adrian menyipit. Lagi-lagi nama Alira diseret. Lagi-lagi pria itu sengaja menyinggung istrinya.

Alira memperhatikan perubahan ekspresi Adrian. “Mas… itu dari Mr. Seto, ya?” tanyanya sambil menyeringai.

Adrian menghela napas. “Ya.”

“Dia ngajak aku juga? Wah, seru dong! Aku bisa ikutan rapat bisnis. Kayak cewek-cewek di drama-drama yang nemenin suaminya kerja.”

Adrian menatapnya dingin. “Ini bukan drama. Dan saya tidak berniat menjadikanmu hiasan dalam rapat.”

Alira manyun. “Huh, Mas pelit. Padahal aku bisa bikin suasana rapat jadi lebih menyenangkan, lho. Lagian, siapa tahu idemu buntu, aku bisa kasih masukan.”

“Masukanmu biasanya hanya bikin pusing,” sahut Adrian datar.

“Mas! Jahat banget.” Alira memukul pelan tangannya ke meja. Tapi kemudian ia menyunggingkan senyum nakal. “Ya udah, kalau Mas nggak mau aku ikut… aku bilang ke Mr. Seto sendiri kalau aku mau.”

Adrian menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Kau berani.”

Alira hanya cengengesan. “Aku istrimu, Mas. Aku bebas.”

Adrian meremas ponselnya dengan genggaman kuat, tapi akhirnya berkata, “Baik. Kau ikut. Tapi ingat, jangan berlebihan.”

“Siap, suamiku!” seru Alira dengan gaya sok hormat.

Perjalanan Menuju Kantor

Mobil hitam itu kembali melaju. Alira duduk sambil melihat keluar jendela, kagum dengan gedung-gedung tinggi yang berderet.

“Mas…” panggilnya lagi.

Adrian tidak menoleh. “Apa lagi?”

“Kalau aku masuk kantor Mas beneran, kira-kira aku bisa kerja di bagian apa? Receptionist? Atau sekretaris pribadi Mas?”

Adrian melirik sekilas. “Sekretaris pribadi saya tidak boleh cerewet. Jadi jelas bukan kau.”

Alira pura-pura tersinggung. “Huh! Padahal aku pasti bisa bikin Mas betah di kantor. Setiap pagi aku sapa: ‘selamat pagi, suamiku ganteng!’ Mas langsung semangat kerja deh.”

Adrian menahan napas, berusaha keras agar ekspresinya tetap datar. “Kau lebih cocok jadi pengacau rapat.”

Alira terkekeh. “Ya udah, aku jadi pengacau aja. Minimal Mas nggak bosan.”

Perdebatan kecil itu berakhir ketika mobil berhenti di depan gedung tinggi tempat pertemuan diadakan. Adrian turun lebih dulu, kemudian membuka pintu untuk Alira. Meski ekspresinya tetap dingin, tindakannya itu membuat Alira sempat terdiam.

“Mas…” panggilnya lirih, senyum tipis muncul. “Suamiku ternyata gentleman juga.”

Adrian hanya menatapnya sekilas. “Jangan berlebihan.”

Ballroom hotel mewah telah disulap menjadi ruang rapat elegan. Meja panjang dengan kursi kulit berjejer rapi. Para eksekutif duduk, sebagian sudah saling berbincang.

Begitu Adrian dan Alira masuk, semua kepala menoleh. Aura Adrian yang dingin langsung membuat ruangan hening. Sementara Alira, dengan gaun sederhana tapi anggun, justru membuat beberapa orang terpesona.

Dan di ujung meja, berdiri seseorang yang sudah menunggu: Mr. Seto. Tampan, tegap, senyumnya hangat—kontras total dengan Adrian.

“Selamat datang, Adrian. Dan tentu saja… Alira,” ucapnya ramah, menatap gadis itu dengan cara yang terlalu lama untuk disebut sekadar sopan.

Alira tersipu, tapi segera menyunggingkan senyum. “Halo, Pak—eh, maksudnya, halo, Mr. Seto.”

“Cukup panggil saya Seto saja,” katanya dengan tatapan lembut.

Adrian menatapnya tajam, lalu menarik kursi untuk Alira. “Duduk.”

Alira menurut, masih salah tingkah. Adrian duduk di sebelahnya, ekspresinya menutup rapat segala emosi.

Pertemuan dimulai. Seto memaparkan ide-ide proyek dengan suara percaya diri. Sesekali, ia sengaja menoleh ke arah Alira. “Bagaimana menurutmu, Alira? Kau kan punya cara pandang berbeda.”

Alira, meski awalnya kikuk, akhirnya menjawab dengan spontan. “Hmm… kalau menurut aku, desainnya bagus. Tapi terlalu kaku. Kalau dikasih sentuhan lebih manis, pasti lebih menarik.”

Para eksekutif lain tertawa kecil, merasa segar mendengar komentar jujur itu. Seto justru terlihat kagum. “Lihat? Itulah yang saya maksud. Sudut pandang segar.”

Adrian mengetukkan jarinya ke meja, wajahnya dingin. “Ini rapat bisnis, bukan kelas seni. Masukan seperti itu tidak relevan.”

“Justru relevan, Adrian,” sanggah Seto tenang. “Produk kita bukan hanya angka, tapi juga rasa. Dan Alira punya naluri yang jujur.”

Tatapan kedua pria itu bertemu. Tegang, tapi sama-sama menyembunyikan dalam balutan formalitas.

Sepanjang rapat, Seto beberapa kali melontarkan pertanyaan kecil ke Alira. Adrian semakin diam, tapi tatapannya jelas mengeras setiap kali Alira menjawab.

Alira sendiri mencoba menanggapi dengan biasa, tapi jantungnya berdebar. Ia sadar Adrian sedang mengawasi, dan itu membuat pipinya merona setiap kali membuka mulut.

Sampai akhirnya, saat sesi istirahat kopi, Seto mendekat. “Alira, kau benar-benar menarik. Jarang ada istri pengusaha yang mau ikut terlibat seperti ini.”

Alira tergelak kecil, gugup. “E-eh… terima kasih. Aku cuma istri biasa, kok.”

“Tapi kau luar biasa,” balas Seto. Tatapannya jelas bukan sekadar sopan.

Alira menunduk, wajahnya panas. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Dan saat itu juga, Adrian muncul dari sisi kanan, berdiri sangat dekat. Tatapannya menusuk, dingin seperti pisau.

“Seto.” Suaranya rendah, penuh tekanan. “Saya harap kau ingat ini rapat bisnis, bukan kesempatan untuk merayu istri orang.”

Suasana mendadak sunyi. Beberapa eksekutif pura-pura sibuk dengan kopi mereka.

Seto hanya tersenyum tipis. “Saya tidak merayu. Hanya menghargai.”

Adrian mengepalkan tangan, menahan diri. Alira yang berdiri di antara mereka merasa jantungnya hampir copot.

Rapat berakhir dengan formalitas kaku. Saat semua orang mulai keluar, Seto mendekat sekali lagi. Ia menatap Adrian sebentar, lalu menoleh ke Alira.

“Besok ada gala dinner kecil. Saya ingin Alira hadir. Ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan.”

Adrian langsung menegang. Tatapannya tajam menusuk, hampir tak bisa disembunyikan lagi.

Alira terperangah, menoleh ke Adrian dengan gugup. “M-mas…”

Dan tepat sebelum Adrian bisa menjawab, Seto sudah melangkah pergi dengan senyum penuh arti.

Menyisakan Adrian yang berdiri kaku, rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah pintu keluar.

“Berani sekali dia…” gumamnya pelan.

Alira menggenggam tangannya gugup, wajahnya bingung sekaligus panik. “Mas… kita harus gimana?”

Adrian menoleh, tatapannya dingin bercampur api amarah.

Bab ini berakhir di sana, meninggalkan pertanyaan: apakah Adrian akan menolak undangan itu, atau justru mengiyakan demi menjaga harga diri?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!