Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 – Panggilan Gerbang
Arena Arcanum bergetar ketika tiruan Gerbang Bayangan terbuka perlahan, mengeluarkan cahaya hitam pekat yang seolah menelan semua warna di sekitarnya. Udara menjadi berat, dingin merambat ke tulang, dan suara-suara berbisik memenuhi arena, terdengar hanya oleh Kael.
“Kael… pulanglah. Kami menunggumu. Kekuatan ini adalah hakmu… warisanmu.”
Tangan-tangan bayangan meraih dari celah gerbang, berusaha menggenggam kaki Kael. Sorak ribuan penonton berubah menjadi bisikan cemas. Sebagian bersorak menantikan kejatuhan, sebagian lagi terdiam ngeri.
Di tribun atas, Archmage Deylon menyipitkan mata. “Ini momen penentu. Jika ia menyerah pada panggilan itu, kita tahu jawabannya.”
Kael terhuyung. Suara dalam kepalanya semakin keras—Umbra, bersama bisikan lain yang lebih tua, lebih dalam. Seolah semua bayangan dunia berbicara kepadanya sekaligus.
“Terimalah kami. Kau bukan manusia biasa. Kau adalah jembatan. Bersama kami, kau akan menjadi lebih dari raja, lebih dari dewa. Kau akan menjadi bayangan itu sendiri.”
Kael menutup telinga, berteriak, “Diam!!” tapi bisikan itu tak berhenti.
Lyra, yang berdiri di pinggir arena bersama Soren dan Elira, berteriak histeris. “Kael! Itu bukan kau! Jangan dengarkan mereka! Kau bukan hanya bayangan—kau Kael!”
Soren menabrak penjaga arena yang berusaha menghalangi, namun gagal mendekat. “Bocah itu tidak sendiri! Jangan biarkan mereka merenggutnya!”
Kael terjatuh berlutut. Tangannya hampir menyentuh energi hitam yang keluar dari gerbang. Sekejap, ia melihat visi aneh—dunia Eldoria hancur, langit diliputi kegelapan, dirinya duduk di atas singgasana bayangan dengan mata merah menyala.
Umbra tertawa di dalam pikirannya. “Lihatlah takdirmu. Dunia akan tunduk. Kau tak perlu lagi ditolak atau dibenci. Mereka akan berlutut. Kau hanya perlu… membuka pintu.”
Kael menggertakkan gigi. Tapi… kalau aku lakukan itu, semua orang akan menderita. Eldoria akan hilang.
Namun suara itu berbisik lembut, menggoda: “Eldoria selalu membencimu. Mereka tidak akan pernah menerimamu. Mengapa kau harus berkorban demi mereka?”
Air mata mengalir di wajah Kael. Di satu sisi, tawaran itu terasa seperti kebebasan; di sisi lain, ia tahu itu adalah jalan menuju kehancuran.
Tiba-tiba, suara lain masuk—bukan dari luar, melainkan dari ingatannya. Suara ibunya, samar, dari masa kecil. “Kael, ingat… kau tidak didefinisikan oleh darahmu, tapi oleh pilihanmu.”
Nafas Kael tercekat. Ia menggenggam pedang bayangan yang masih terbentuk di tangannya. Perlahan ia berdiri, meski tubuhnya gemetar.
“Aku… bukan boneka bayangan. Aku bukan dewa atau iblis. Aku Kael.” Ia menatap gerbang itu dengan tatapan membara. “Dan aku memilih… menutupmu!”
Dengan teriakan keras, Kael menancapkan pedang bayangan ke simbol di lantai arena. Cahaya hitam dari gerbang bergetar, tangan-tangan bayangan menjerit sebelum terhisap kembali. Gerbang itu berderak, retak, lalu runtuh menjadi debu cahaya hitam yang lenyap ditiup angin.
Arena terdiam. Hening begitu dalam, hanya terdengar napas Kael yang terengah.
Lalu, perlahan, sorak-sorai pecah. Rakyat berteriak kagum, sebagian penyihir saling menatap terkejut.
Archmage Deylon berdiri, matanya tajam menatap Kael. “Kau… berhasil. Kau menolak panggilan kegelapan. Itu berarti… kau memang bukan sekadar bayangan.”
Namun nada suaranya tidak sepenuhnya lega. Lebih seperti pengakuan pahit bahwa apa yang ia yakini mungkin salah.
Kael hampir roboh, namun Lyra berlari masuk dan menangkapnya. “Kau melakukannya,” bisiknya. “Aku tahu kau bisa.”
Soren menyeringai, menepuk bahu Kael dengan keras. “Kau anak gila… hampir membuat jantungku copot.”
Elira menatap Kael dengan sorot mata penuh harapan. “Itu baru permulaan. Kau membuktikan dirimu… tapi Eldoria masih belum aman. Gerbang asli masih menunggu di Drakthar.”
Deylon mengangkat tongkatnya, menghentikan sorak rakyat. “Dewan Arcanum telah menyaksikan. Mulai hari ini, Kael diakui sebagai… Penjaga Bayangan. Namun ingat, ujian ini hanya awal. Jika kau tergelincir, Eldoria sendiri yang akan menebusnya.”
Kael berdiri, meski tubuhnya gemetar. Dalam hatinya, ia tahu satu hal: kegelapan memang ada dalam dirinya, tapi pilihan tetap miliknya.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa… bebas.
---