"Heh, anak sialan! Pergi kamu dari
rumah ini. Keluar!! Gak sudi aku
nampungmu lagi!!" usir Bu Elanor.
membuat Alvin yang sedang melamun
segera terperanjat.
"Berhenti bicara yang tidak-tidak
Ela!!" hardik pak Rohman.
"Kamu pilih aku dan anak anak yang
keluar apa anak sialanmu ini yang keluar
pak!?" teriak Bu Elanor membuat pak Rohman terkejut.
Beliau tak pernah berfikir akan
dihadapkan pada situasi se rumit ini.
"Alvin yang akan keluar pak buk"
ucap Alvin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fantastic World Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 Jenang Abang
POV Alvin
Suara ayam berkokok
membangunkanku. Gelap, itu yang
kulihat ketika membuka mata, hanya
setitik cahaya dari lampu penerangan
tetangga, yang kulihat dari celah jendela.
Rumah tanpa listrik ini yang akan ku
tinggali hingga setahun kedepan. Ya,
semoga saja listrik yang dibenarkan oleh
pak Rusdi kemarin lekas benar. Agar aku
tak terus tinggal di kegelapan seperti ini.
Tak lama aku terbangun, adzan subuh
samar ku dengar dari mushola terdekat,
bergegas aku mendatanginya, selain untuk
sholat, aku juga harus mandi. Ya,
meskipun nanti akan kotor lagi karena aku masih harus ngambil sampah.
Setelah mandi dan sholat, aku
memutuskan untuk kembali ke rumah.
Beberapa pasang mata tampak menatapku,
mungkin heran. Melihat tukang
sampahnya sholat di musholanya,
pasalnya tempat ini selisih 3 RT dengan
tempat tinggalnya sebelumnya, yang
berarti selisih 3 gang.
Hari ini masih libur, aku bisa
mengambil sampah sambil sedikit
bersantai, sebab tak diburu waktu untuk
sekolah seperti biasanya.
"Loh, masih pagi kok sudah sampai
sini mas, biasanya agak padang baru ke
daerah sini" sapa bapak-bapak yang dekat
dengan tempat tinggalku.
"Iya pak, sekarang saya tinggal disitu,
jadi jalannya lewat sini dulu, baru ke timur" jawabku seraya menunjuk rumah
yang baru ku tinggali dari kemarin.
"Loh iya tah mas, perasaan dari
kemarin rumahnya masih keliatan gelap
loh mas" ujar bapak tersebut sembari
mengernyit heran.
"Iya pak, emang listriknya belum
dibenerin. Insyaallah gak lama lagi
mungkin sudah nyala lagi" jawabku
sembari meletakkan tong sampah.
"Walah, ya sudah mas. Jangan lupa
dibancak paling enggak jenang Abanglah
sebagai syarat, karena kan rumah itu
sudah lama gak ditempati. Ya, bukannya
apa ya mas, cuma sebagai orang Jawa kan
kita biasanya gitu, kala nempati tempat
baru" ujar bapak tersebut
mengingatkanku.
"Wah, enggeh pak. Terimakasih banyak sudah di ingatkan ya pak, saya
permisi dulu, baru jalan ini soalnya" pamit
Alvin mengakhiri pembicaraannya
dengan bapak tersebut.
"Iya mas" jawab bapak tersebut.
Usai mendengar nasehat bapak tadi,
membuatku berfikir bagaimana caranya
aku membuat jenang abang, peralatannya
aja gak punya, belum bahannya.
Halah, tanya mak na ajalah nanti.
Bekerja tanpa diburu waktu nyatanya
memang lebih mudah, lebih santai karena
tak tergesa, juga sempat bercengkrama
dengan tetangga sekitar.
Apa aku berhenti sekolah aja ya? Tapi
bagaimana dengan masa depanku, apa iya
aku harus narik gerobak ini hingga tua.
Halah, pikiran apasih aku ini!! Pikiran
aneh ini harus pergi dari otakku, aku gak
boleh putus sekolah! Lulus, dapet kerja
yang lebih baik dari ini itu keharusan!!
Di rumah terakhir aku baru sadar jika
gerobak sampahku sudah penuh, melihat
jam dinding yang ada di warung saat aku
membeli minum barusan tak terasa
ternyata sudah jam 10.
Pantas saja, perut ini sudah mulai
keroncongan. Membuatku segera menarik
gerobak sampah yang sudah penuh ini, ke
warung Mak Na.
Tanpa bicara, aku segera membuka 3
bungkus nasi yang langsung ku jadikan 1
satu, segera ku makan dengan lahap. Tak
butuh waktu lama, makanan itu pun
berhasil melewati tenggorokan dan turun
ke dalam perutku, membuatku
kekenyangan.
"Luwe banget tah le" ucap Mak Na setelah aku menyelesaikan minumku.
"Hehe enggeh Mak, tadi cuma sempet
minum air putih tok' jawabku.
"Lah apa gak sarapan dulu tadi,
biasanya kan kalau hari Minggu gini,
kamu sempet sarapan dirumah le, ada
bapakmu kan di rumah" ujar Mak Na
membuatku tersenyum kecut.
"Ndak sarapan tadi Mak, hehe"
jawabku.
"Oh ya mak, sampean bisa bikin jenang
abang kah?" tanyaku mengingat ucapan
tetanggaku tadi subuh.
"Yoh bisa toh, gampang itu. Kamu
mau tak buatin Tah?" tanya Mak Na.
"Iya Mak, kalau Ndak ngerepotin. Saya
pesen buat 10 orang aja Malk' ucapku
membuat Mak Na mengernyitkan dahi, sepertinya beliau heran.
"Buat apa kok banyak le?" tanya Mak
Na curiga.
"Aku sekarang pindah rumah Mak,
tinggal di Deket sungai itu loh, trus tadi
ada yang ngingetin, kalau pindah ke
tempat baru itu, baiknya Bancakan. Paling
enggak ya jenang abang gitu" jawabku
jujur. Aku tak mungkin berbohong, pada
orang yang beberapa bulan terakhir ini
sudah ku anggap seperti keluarga.
"Oalah, pindah kok gak bilang bilang
kamu ini le. Wes gak usah pesen, nanti sore
tak buatin dirumahmu gimana? Emang
ibumu mosok Ndak bisa bikin jenang
abang le?" tanya Mak Na lagi lagi
membuatku tersenyum kecut.
"Alvin tinggal sendirian Mak,
pingin mandiri aja" jawabku.
"Yawes nanti tak kerumahmu, tak
buatin disana, gak usah pesen" ucap Mak
Na membuatku tersenyum. Orang lain
yang sebelumnya tak ku kenal bisa berfikir
akan membantuku.
"Maaf Mak, rumahnya masih kosong,
Mak bikin disini aja, nanti sore tak ambil
ya Mak, cuma buat tetangga dekat aja Mak.
Gak usah bikin banyak banyak, kira kira
habis berapa ya Mak?" tanyaku ingin
memberi beliau uang.
"Halah wes gak usah bayar, tak buatin
tok. Kamu itu wes tak anggep cucuku, jadi
biar aku yang bancaki" tolak Mak Na.
"Eh jangan gitu Mak, ini tak kasih
dikit ya Mak, buat beli ketan, kalau kurang
aja samean yang nambahi hehe" ucapku
seraya meletakkan selembar uang
50ribuan ke meja. Sedangkan Mak Na,
masih asyik menggoreng pisang untuk dijual.
" Weh bocah gemblung!! Wes Ojo le, Ki
loh duite gowonen" ujar Mak Na, terdengar
sedikit berteriak dan keluar warung,
karena aku sudah berlalu.
"Hehe, itu sekalian buat bayar nasi
bungkus tadi kok Mak, sama minumnya
ya" ucapku tak kalah teriak sambari terus
tersenyum.
Sementara Mak Na, terlihat mengomel
sendiri sambil masuk kedalam warung.
Yang ku lihat tampak lucu.
Urusan Bancakan selesai, kini aku
masih harus memilah sampah, dan
membuang sisanya ke TPA.
Sebelum duhur, aku sudah sampai di
rumah lagi. Sarapan sekaligus makan
siang tadi membuatku masih kenyang,
lagi-lagi aku harus numpang mandi dan sholat di mushola terdekat. Meskipun
malu dengan tetangga, tapi ya mau
bagaimana lagi.
Sore harinya aku Ke tempat Mak Na
lagi, mengambil pesananku tadi siang,
dengan sepeda pancal yang sedikit
kesusahan karena harus membawa
sekresek besar jenang Abang, yang
langsung ku bagikan ke tetangga sekitar.
POV end
Keesokan harinya
Aktivitas Alvin tetap berlanjut
seperti biasa, hanya tempat tinggalnya saja
yang berpindah. Itu pun tak berpengaruh
banyak bagi sekitarnya, sebab sejak dulu
memang jarang ada yang memperdulikan
dirinya.
Mungkin hanya Mingyu, teman
sekolah yang kini dekat dengannya lah
yang sering memantau kondisi Alvin.
"Kamu jadi pindah kapan vin?" tanya
Mingyu saat di sekolah, Mingyu belum
tahu saja yang sebenarnya, bahwa kini
Alvin sudah pindah.
"Ngapain tanya tanya kapan pindah?"
sahut Alvin bercanda.
"Yah mau bantuin lah" jawab Mingyu.
"Tapi, aku udah pindah kok Ming.
Tenang aja" terang Alvin membuat
Mingyu sedikit terkejut.
"Lah kapan?" tanya Mingyu.
"Sabtu kemarin, waktu kita abis nyari
rumah itu. Sorenya aku pindah kesana"
jawab Alvin.