Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Luka Sheina Di Masa Lalu
Sheina masih merasa kesal, mood-nya sudah berantakan karena bertemu Davison hari ini. Ia membuka pintu rumahnya. Televisi menyala di ruang tengah, menampilkan sinetron yang entah sudah berapa lama ditonton sang ibu. Ayahnya duduk di sofa, satu tangan memegang gelas kopi, tangan lainnya sibuk menggulir layar ponsel. Sementara adik laki-lakinya belum juga pulang.
Sheina membuka ponsel, ada notifikasi dari mobile banking. Rp1.000.000 masuk ke rekeningnya, bagian dari hasil penjualan rumah depan. Rekeningnya kini berisikan nominal Rp12.980.000.
Dia tersenyum tipis. Kakinya melangkah pelan ke arah ruang tengah, duduk di sebelah ibunya.
“Pak, Bu,” katanya, suaranya datar tapi cukup jelas, “rumah di depan udah berhasil dijual.”
Kedua orang tuanya menoleh bersamaan.
“Loh, cepet banget,” kata ayahnya sambil memalingkan pandangan dari ponsel. “Padahal baru seminggu dijual. Harganya juga bapak denger dari pemilik lamanya itu satu miliar. Orang kaya pasti yang beli.”
Ibunya ikut nimbrung, “Ngapain ya orang kaya beli rumah di sini? Rawan maling yang ada.”
Sheina tidak menjawab. Dia hanya menatap layar televisi yang terus berganti adegan. Ibunya akhirnya melirik.
“Dapet berapa dari yang punya?”
“Sejuta."
Ibunya mengangguk pelan, “Bagus. Simpan buat kamu nikah nanti. Jangan diabisin buat jajan.”
Sheina menoleh pelan ke arah ibunya, lalu berdiri dan berjalan menaiki tangga. Terdengar hela nafas kecil dari dirinya.
“Sheina nggak menikah nggak apa-apa, yah Pak, Bu? Capek banget.”
Ibunya menoleh ke arah ayahnya, agak terkejut. Walau itu bukan pertama kalinya mendengar ucapan seperti itu dari putrinya, tetap saja rasanya mengganggu.
“Umurnya tu udah dua puluh lima tahun,” gumamnya ke suaminya. “Masih aja belum punya pacar. Nah sekarang udah mikir nggak mau nikah. Padahal cantik, kenapa tu anak?”
"Udah Bu, Sheina memang kebiasaan kayak gitu. Diemin aja," sanggah ayahnya.
Sheina mendengarnya dari atas tangga. Tapi dia tak menanggapi. Dia masuk ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Dunia di luar dia biarkan tertutup.
Di dalam lemari kecil, ada satu kotak yang selalu dia simpan di pojok paling belakang. Dia tarik perlahan, diletakkan di pangkuan. Tangannya membuka satu per satu isi kotak itu, surat-surat yang menguning, boneka kecil berdebu, gelang tangan kusam, dan beberapa foto masa putih abu-abu.
Wajahnya menegang saat melihat salah satu foto. Lalu ingatannya mulai muncul.
“Sheina, aku sayang banget sama kamu. Aku janji nggak akan ninggalin kamu. Kita akan bisa kuliah bareng, tamat, nikah, punya anak. Pasti lucu banget.”
Napas Sheina tercekat.
Potongan ingatan lain menyusun satu persatu di dalam kepalanya. Sheina kembali mengingat masa lalu yang sangat ingin dia lupakan.
“Aku capek berhubungan sama kamu, Sheina. Aku capek.”
“Kata kamu, kamu nggak akan ninggalin aku,” ucap Sheina pelan, menahan tangis.
"Aku mau egois sedikit. Aku mau mentingin diri aku. Sheina aku nggak mau hubungan ini lagi.”
Air mata Sheina tumpah begitu saja. Ia menutup kotak itu dengan tangan gemetar, tubuhnya terhuyung lalu tenggelam dalam tangis sesenggukan. Semua luka itu belum benar-benar sembuh.
“Udah lewat tujuh tahun, Sheina,” bisiknya lirih, “kenapa kamu nggak bisa lupain sakit itu? kenapa?”
Tangis Sheina perlahan mereda. Dia duduk bersandar di sisi ranjang, menatap dinding kamarnya yang penuh tempelan mimpi-mimpi lama, foto kampus impian, catatan kecil tentang cita-cita, bahkan tempelan bertuliskan “jangan menyerah” yang sekarang terasa seperti ironi. Semua itu tampak jauh. Seolah bukan lagi miliknya.
Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di lantai. Beberapa notifikasi masuk dari grup keluarga, iklan marketplace, dan satu pesan dari nomor yang tak dikenal.
“Terima kasih, Sheina, telah membantu menemani hidup cucuku," ujar Sheina membaca isi pesannya.
Sheina membaca pesan itu tanpa menunjukkan reaksi apa pun. Nama pengirim tidak muncul, hanya nomor asing yang ia yakini bukan dari Davison, melainkan dari perempuan tua yang tadi sempat bicara padanya. Nenek itu terlalu halus, terlalu ramah. Berbanding terbalik dengan cucunya yang dingin dan sinis.
Ia meletakkan kembali ponselnya di meja tanpa membalas. Ia tak sedang ingin sopan, atau menunjukkan rasa hormat. Hari ini terlalu melelahkan.
Dia menatap bayangannya lagi di cermin, mata sembap, napas berat.
“Aku ngga kenal cucumu, Nek,” gumamnya pelan, “dan aku juga ngga pengen kenal. Aku nggak mau kenal siapapun, nggak mau."
Dengan tubuh berat, Sheina mandi dan berganti pakaian, lalu duduk di rias. Pikirannya tetap menyala, mengenang luka, menghindari harapan, dan berusaha bertahan dengan sisa-sisa logika yang masih ia genggam.
Langit mulai meremang jingga, senja pelan-pelan turun di atas atap-atap rumah. Angin sore membawa bau tanah yang lembap dan sisa suara burung yang belum sepenuhnya diam.
Sheina membuka pintu balkon kamarnya, membiarkan cahaya oranye menyapu wajahnya. Dengan tangan kiri menggenggam cangkir teh yang sudah mulai dingin, ia melangkah ke kursi di sudut balkon dan duduk. Pandangannya iseng mengarah ke rumah seberang. Matanya membelalak pelan.
Mobil hitam itu masih ada. Mobil mewah Davison ada di depan garasi rumah itu. Pagar masih tertutup.
Masih di situ? Jangan bilang dia tidur di dalam rumah kosong itu?
Sheina menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Rumah itu gelap, tak ada lampu yang menyala. Tapi jelas mobil itu tidak pernah bergerak sejak tadi sore.
Sementara itu, di dalam rumah sebelah, Davison sedang berdiri di ruang tengah. Tangan kirinya menggenggam tablet, matanya fokus pada laporan singkat yang muncul di layar, hasil pemantauan cepat terhadap kondisi rumah.
Pintu dapur rusak. Cat dinding mulai kusam. Tapi selain itu, aman. Tidak ada kerusakan besar. AC belum terpasang.
Ia berjalan ke depan rumah, duduk sebentar di kap mobilnya. Langit senja memantulkan cahaya ke rambutnya yang sedikit berantakan. Ia menekan nomor di ponsel.
"Besok pagi jam delapan. Ganti pintu dapur, cat ulang seluruh ruang tengah dan ruang tidur. Putih semua. Pasang AC sekitar tiga Ac. Uang sudah saya transfer."
Setelah memutus telepon, Davison menatap layar ponselnya sejenak sebelum menyelipkannya ke saku. Tapi langkahnya terhenti saat merasa seolah sedang diawasi. Ia mendongak pelan. Melihat Sheina yang tengah berdiri di balkon dan mengawasinya.
Matanya langsung bertemu dengan pandangan dari atas.
Sheina.
Gadis itu berdiri di balkon dengan raut wajah yang sedikit kaget. Mata mereka saling bertemu hanya beberapa detik, cukup untuk membuat jantung Sheina terasa tak nyaman. Dengan canggung, Sheina buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura meminum tehnya sambil menoleh ke arah lain.
Davison hanya memandangi sejenak, sebelum akhirnya berbalik menuju mobil dan pergi tanpa berkata apa pun.
Sheina menghela napas keras.
"Ganteng si, tapi terlalu sombong dan menyebalkan."
Sheina memutarkan bola matanya, kesal dengan yang terjadi. "Istrinya? Wah, dia sudah gila. Aku nggak mau jadi istrinya!"