NovelToon NovelToon
Zone

Zone

Status: tamat
Genre:Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Daisyazkzz

Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?

"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-

Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.

pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.

#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

•Mood booster•

"Yo!"

Pak Galih langsung menoleh galak. Kesal melihat anak ini sembarangan masuk ke dalam kelas di jam pelajarannya tanpa rasa bersalah. Padahal jelas-jelas jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

"Santai aja ya?" Sarkas pak Galih.

Mentang-mentang ganteng, Nathan sama sekali tidak dapat tatapan sinis dari yang lain.

"Sori pak, gue lahiran dulu tadi."

"Heh, kamu itu cowok!!" Pak Galih berteriak jengkel, diikuti tawa anak-anak sekelas.

"Lahiran pup Lo mah!!" Celetuk Bryan, teman sebangku Nathan.

Dengan pede dan berani Nathan mengangguk. Sok keren.

"Yoi. Oke pak, gue duduk dulu ya."

Nathan berjalan santai melewati sosok pak Galih yang seolah hampir meledak saking jengkelnya. Guru satu ini paling sering menyaksikan sendiri aksi gila Nathan.

Pak Galih menarik nafas sambil melihat daftar absen kelas.

"Oh, hari ini Alana tidak masuk lagi ya?"

Ola mengangkat tangan, "iya pak! Sudah tiga hari! Saya hubungi tidak ada kabar."

"Oh, baik. Padahal dia ketua kelas. Harusnya harus selalu aktif komunikasi." Gumam Pak Galih.

Di bangkunya, Bryan menyikut Nathan yang malah tiduran padahal baru saja datang.

"Harusnya Lo aja yang jadi ketu. Kan Lo paling tua disini."

"Gue kan gara-gara gak naik kelas b*go!!"

Bryan nyengir.

Iya juga. Dia kan pernah hampir dikeluarin gara-gara ikut balap liar dan perkelahian di Deket rel kereta waktu itu.

Masih menjadi misteri kenapa Nathan tidak dikeluarkan setelah insiden besar yang terjadi saat ia kelas sebelas.

Jonathan ikut terkait dengan gerombolan motor yang sering mengadakan balap liar paling gila. Dia juga pernah hampir mati akibat luka bacok di punggungnya yang dia dapat saat perkelahian besar antar kelompok jalanan.

Anak-anak memang tidak ada yang tahu jelas tentang latar belakang kehidupannya. Tapi barang apapun yang dia kenakan selalu kelihatan bagus senada dengan visual wajah dan tubuhnya.

Sosok Nathan sangat mencolok dan berbeda. Cowok itu berkulit putih pucat bagaikan vampire dengan rambut yang dicat warna sama.

Percuma berkali-kali dia ditegur guru atau OSIS sekalipun, Nathan tidak pernah berubah.

Dia bermata agak sayu sedikit tajam di bagian ekor matanya. Yang unik, Nathan selalu memakai softlens berwarna merah menyala. Entah apa alasannya, tapi dengan itu dia semakin mencolok seperti mutiara di tengah-tengah batu.

Soal populer, jangan ditanya.

Dulu saat pertama kali dia datang ke sekolah ini, Nathan sampai disangka seleb karena penampilan dan gayanya.

Tapi karena dia tegas dengan cewek-cewek centil yang berusaha mendapatkan dirinya, alhasil mereka hanya bisa mengagumi diam-diam di belakang. Karena Nathan pernah sampai mendorong keras salah satu cewek yang berlaku seperti itu.

Menjijikkan.

Bagaikan visual yang hanya ada di dalam komik. Sosok Nathan benar-benar mempesona menggetarkan hati dalam sekali pandang. Dia seolah sempurna fisik maupun wajah.

Bryan sendiri yang paling akrab dengan Nathan, sebatas tahu bahwa Nathan berdarah campuran. Tidak lebih.

"Baik, ada pertanyaan?" Pak Galih hampir menutup pelajaran pertama. Nathan menggeliat sedikit.

"Pak..mana Alana?"

Hening. Semua mata tertuju pada sosoknya. Kaget, shock, entahlah, mendengar pertanyaan dari seorang Nathan yang bahkan tidak pernah berminat belajar.

Pak Galih melotot.

"Mana saya tahu! Dia gak ada kabar."

Selesai di kata terakhir, Nathan tiba-tiba berdiri berjalan mendekati pak Galih.

"Pak...gue..."

Nathan tersenyum smrik, detik selanjutnya dia berlari ke arah jendela dan Tanpa ragu main lompat ke bawah.

Semua murid heboh berteriak, pak Galih buru-buru melongok dari jendela melihat ke bawah.

Sial, Nathan sudah hilang.

"Bocah gila itu bisa-bisanya lompat dari lantai dua?!"

...***...

Apa gue mimpi?

Rasanya nyaman, bengkak di sekitar mata gue agak kempes. Kayanya gara-gara gue nangis dua hari.

Eh? Siapa....

Alana terbangun.

Mendengus lemah, haha, gue mimpi kan. Apalagi coba yang gue harapin.

Alana meringis, kepalanya sangat nyeri. Untung ada obat di meja dan segelas air.

Gadis itu menyeret langkah ke meja makan, meminum obat.

Sekali lagi ia menghembuskan nafas berat.

Hp di meja yang ia tidak buka selama tiga hari mendadak menyala karena beberapa notifikasi masuk di layar kunci.

Alana melihat semua pesan, jumlahnya nyaris puluhan. Ada juga belasan panggilan telfon tidak terjawab.

"Aduh Ola....gue lupa ngasi kabar. Semoga aja kelas gak rusuh selama gue gak ada." Gumam Alana.

Eh apa ini? Nathan lagi?! Dia kabur pas jam pelajaran?

Alana meremas rambutnya.

Awas aja dia, kebiasaan bikin susah gue.

Selalu begini. Alana semakin pening. Nathan itu tidak bisa dibiarkan sendiri, Lepas sedikit saja dari Alana di sekolah dia langsung buat masalah baru.

"Ah... dasar gila...."

"Padahal dia udah gue biarin punya rambut dicat gitu. Tapi makin ngelunjak aja.."

"Yah...emang tugas gue sih buat tertibin anak-anak kelas."

Alana tipe cewek yang sangat bisa diandalkan. Karena dari kecil hidupnya tidak semulus itu.

"Tapi.... mungkin karena dia juga gue jadi merasa masih ada tanggung jawab sebelum mati."

Mungkin hari ini gue coba cari kerjaan baru kali ya. Semoga aja gak sulit.

...***...

Alana tidak bilang apa-apa besoknya di kelas. Tapi Ola paham dia pasti masih terpukul soal kematian dua adiknya.

Sedangkan tentang kasus Raven dan pekerjaannya yang ikut hilang, Ola sama sekali tidak tahu.

Alana datang paling pagi seperti biasa dia mengomandoi anak piket, kebetulan hari ini jadwal Ola.

"Alana, nih aku bawain gorengan. Kalo masih sakit bilang ya." Ola menaruh kresek gorengan di hadapan Alana.

"Iya la. Thanks."

Sebenarnya ia malas makan, tapi karena Ola membeli ini untuknya jadi-

Tap!

"Eh, udah Dateng!!!"

Ini dia. Alana mengernyitkan dahi. Ujian dimulai.

"Nat, kalo Lo mau kan bisa ambil sendiri di plastik. Kenapa mesti gigit yang ada di tangan gue?"

Bukannya menjawab Nathan malah asyik lanjut makan bakwan yang dipegang Alana.

"Soalnya gue gak mau tangan gue kotor."

Ola tertawa kecil, "habisin dulu itu mulut. Baru ngomong."

Iseng banget. Pengen gue jadiin persembahan aja ni anak. Jual di pasar gelap pasti laku.

Alana masih berusaha sabar, memakai kembali earphonenya.

"Al, kalo gue copot trus gue buang earphone Lo boleh gak?"

"Gila, ini berharga brengs*k!"

Padahal baru hari pertama Alana masuk kembali, tapi Nathan seolah kesurupan jin pengganggu Alana.

Saat jam pelajaran pun dia melempar remahan penghapus, sesekali melempar permen ke Ola.

Apalagi lemparan Nathan itu sakit meski jaraknya lumayan.

Lama-lama Alana minta Nathan di hukum di luar di bawah pengawasannya, ia kelewat kesal. Daripada nanti ilmu beladirinya malah keluar.

Pak Galih paling setuju, Akhirnya Nathan dihukum berdiri hormat di depan tiang bendera yang ada di lapangan. Matahari sedang panas-panasnya.

Alana sih enak duduk di pinggir lapangan di bawah kanopi payung.

"Panas ya? Gitu terus ya sampe jam dua belas."

Nathan malah tertawa mengejek. Mentang-mentang kulitnya yang kelewat putih itu tidak mudah hitam, yang ada berubah kemerahan.

Alana makin kesal.

"Udahlah. Lo bisa gak sehari aja gak bikin masalah gitu? Gue kan capek. Masalahnya gue ini ketua kelas!"

Nathan diam, tidak menjawab. Karena suasana mendadak berubah suram.

Ia memandangi Alana yang duduk, berkali-kali menghela nafas.

"Alana, gue janji gak bikin masalah lagi deh. Tapi Lo kenapa?"

Gue? Gue mau nyerah aja, kalau tuhan mengizinkan.

"Yang ada Lo cuma ngetawain gue kan?" Sarkas Alana. Ia masih ingat wajah Nathan yang senang mendengar ceritanya ditinggal kedua orang tuanya dulu.

"Pengen gue peluk dulu baru percaya?" Nathan nyengir, gigi taringnya yang agak meruncing terlihat di pinggir bibirnya.

Alana mendengus. Nathan bukan pendengar yang baik, dia dari dulu selalu tidak bisa diam kalau Alana bercerita panjang.

Tapi, keadaan ini hanya membuatnya tambah frustasi. Alana akhirnya membuka mulut.

"Gue gak ada kerjaan sekarang. Dan adek gue dua-duanya meninggal."

Setelah mengeluarkan suara, Alana langsung membuang muka ke arah lain sambil menahan tangis.

"Gue..."

Sekuat apapun, Alana tetap wanita yang kesepian.

"Al, obat kemarin udah diminum?" Nathan tiba-tiba meletakkan tangan diatas kepala Alana.

"Kalo nangis Lo jadi jelek."

"Jadi- kemarin Lo asal masuk aja ke rumah gue? Gak sopan!!" Mendadak Alana jadi emosi, lupa dengan kesedihannya.

"Kan Lo yang bolehin gue. Gue tanya pas di pintu, trus Lo masih setengah sadar gitu, bilang masuk aja." Ucap Nathan mencibir.

Alana berdehem, malu.

"S-sono Lo diri lagi di bawah bendera! Ngapain malah kesini!!"

Nathan buru-buru kembali di posisi awal. Tapi bibirnya tersenyum tipis.

"Oh iya, ntar pulang sekolah ikut ke rumah gue yok!"

"Ngapain? Gue sibuk ah."

"Pokoknya ikut aja. Gue tahu kerjaan yang cucok buat Lo."

Seketika Alana menoleh antusias, kedua matanya berbinar.

"Oke!"

Gak apa-apa kan? Gue juga udah jarang main sama dia. Terakhir pas berapa tahun lalu.

...***...

Alana tidak begitu kaget sebenarnya. Tapi ia baru tahu, Nathan pindah ke penthouse.

Harganya saja sekitar milyaran. Alana mulai membayangkan bisa apa saja ia dengan uang sebanyak itu.

Dari kecil, Alana sudah tahu fakta ini. Keluarga Nathan yang sukses dan dibanjiri harta kemewahan.

Ia masih ingat jelas dulu Nathan pernah dirayakan hari kelahirannya dengan biaya hingga ratusan juta. Banyak para artis dan seleb yang ikut diundang.

Walaupun sudah tidak punya ayah, Nathan tetap hidup berkecukupan karena ibunya punya bisnis startup yang berpenghasilan hingga triliunan perbulan disamping beberapa bisnis cabang lainnya seperti robotik dan technology.

Hanya Alana yang tahu banyak tentang Nathan, tentang kehidupan, tentang semuanya.

Gadis itu tahu Nathan adalah tipe orang yang tidak peduli dengan kekayaan, dia sama sekali tidak ingin terlihat tambah menonjol diantara orang-orang.

Nathan benci perhatian dari orang lain. Dia hanya ingin hidup seperti remaja lainnya yang bebas tanpa kekangan.

"Enak ya Lo Nat." Alana bergumam pelan sambil memandangi sekeliling ruangan megah ini.

Barang-barang mahal dimana-mana.

Seandainya gue jadi kayak dia...

"Ha? Lo ngomong apa? Gak denger." Nathan tersenyum meledek, menyodorkan kaleng kopi dingin yang baru diambil dari dalam kulkas.

"Enggak kok, makasih ya." Alana buru-buru menggeleng.

"Terus mana lowongan kerja yang Lo bilang?"

"Oh iya."

"Sini ikut." Nathan seenaknya menarik ujung rambut Alana yang diikat buntut kuda.

Sabar Alana. Kalo gue sampe kelepasan nendang dia ntar gue gak jadi dapet kerja.

Batin Alana jengkel.

Nathan membuka salah satu pintu ruangan. Di dalamnya sangat gelap, hanya ada sedikit cahaya suram dari lampu kecil.

Begitu menginjak lantainya, Alana merasakan keberadaan manusia di sana.

"Nat, tempat apa ini?"

Nathan tidak menjawab. Dia spontan menyalakan lampu.

"Eden....ini kakak."

Alana menoleh heran.

Tapi setelah dilihat-lihat lagi, ternyata ada sosok bocah yang meringkuk sendirian di sofa.

Bocah itu agak unik. Sekilas seperti boneka.

"Ini adek gue. Namanya Lex Rayden. Panggil aja sesuka Lo."

Semakin didekati, Alana tambah terpesona. Anak ini sangat unik, walaupun wajahnya ditutupi bantal, tapi detail tubuhnya membuat Alana terpana.

"Adek? Lo kok gak pernah bilang?"

"Gue cuma-"

'Plak!'

Tangan Nathan benar-benar ditepis kencang, seketika Alana berkedip kaget.

"Al, jangan kaget sama kelakuannya. Dia ini beda." Kata Nathan dengan tatapan mata pasrah.

Iya, secara fisik jelas beda.

Kulitnya putih total, bahkan rambut, semuanya, Alana sudah menduga dia mengidap kelainan kulit Albino.

"Nat, boleh gue pegang gak?"

Nathan mengangguk pelan.

"Nama kamu Eden ya? Halo, aku Alana. Boleh kenalan gak?" Alana berusaha bicara seramah mungkin. Sambil perlahan menjawil punggung anak kecil ini.

Eden tidak bergerak. Dia tetap meringkuk.

"Al, pelan-pelan kalo mau interaksi sama dia. Emang agak susah. Karena Eden punya tekanan mental." Nathan berbisik.

"Tapi....gue bingung. Kenapa dia sendirian di ruangan gelap? Dan meringkuk begini?"

"Nanti aja gue cerita." Nathan mendekat lagi, kali ini jongkok persis di hadapan Punggung Eden.

"Oi, kamu lupain kakak ya? Masa ngambek?"

Alana terkekeh.

Cuma sama Eden ya Nathan jadi kalem gini. Kalo begini, dia jadi kelihatan lebih oke.

"Ini kakak bawa temen baru buat kamu." Tambah Nathan, asal.

Alana menyeringai.

Setau gue... anak-anak paling suka kalo dikasih...mainan?

Alana baru kepikiran, kalau tidak salah ada mainan robot bekas Arga yang terbawa di dalam ranselnya.

"Eden...aku bawa ini lho, coba liat deh. Bagus banget!"

Alana melihat sekeliling. Kalau diperhatikan di ruangan ini tidak ada mainan sama sekali, yang ada hanya buku-buku anak dan balok kayu.

Nathan malah tertawa cekikikan.

"Lo ngapain bawa mainan bocah?"

"Suka-suka gue."

Diluar prediksi Nathan, entah kenapa, tiba-tiba adiknya duduk dan balik menatap wajah Alana lekat.

Alana sama sekali tidak bisa berkata-kata. Di hadapannya Seorang bocah laki-laki dengan paras paling indah yang pernah ia lihat, layaknya sesosok malaikat kecil.

Bulu matanya lentik berwarna putih dengan bola mata merah menyala seolah zamrud, rambutnya yang terkulai di dahi seperti bulu lembut.

"K-kamu....ganteng banget.." mulut Alana reflek mengatakan itu.

Nathan menoleh, demi melihat wajah sayu Eden, dia ikut tersenyum mengikuti Alana.

"Kamu siapa?" Eden bersuara, membuat Alana hampir menangis saking terharunya.

Secara feeling, dia bisa paham rasanya menjadi berbeda seperti Eden.

"Aku Alana."

Eden menatap robot mainan di tangan lentik Alana.

"Itu buat Eden?" Tanyanya pelan dengan suara sedikit parau.

Alana mengangguk kencang-kencang, "simpen ya."

Eden menerimanya, tapi kedua mata kecilnya masih menatap Alana ragu-ragu.

"Apa kak Alana tidak takut?"

"Takut?" Alana menatap Nathan. Maksudnya apa?

"Kan Eden ganteng, kenapa aku takut?"

Nathan diam-diam tersenyum.

Untung dia paham.

Alana nyengir. Dia bisa menyimpulkan sendiri, bahwa orang seperti Eden sering dianggap aneh dan dijauhi. Makanya Alana berusaha membangkitkan lagi kepercayaan dirinya.

Pipi Eden memerah, malu. Meskipun dia menunduk.

Melihat mata Eden, Alana mulai mengerti mengapa Nathan selalu memakai softlens berwarna merah dan mengecat rambut putih. Semuanya ia lakukan agar Eden tidak merasa sendiri melihat Nathan juga sama seperti dirinya.

"Eden, umur kamu berapa?"

"Tujuh tahun."

Sama seperti Arga, ya. Gue jadi keinget dia lagi.

"Eden, kenapa kamu sendirian disini?"

Kali ini Eden hanya diam, bola mata merahnya mengerjap gelisah.

Seandainya ia hanya berdua dengan Eden saat ini, Alana ingin sekali memeluknya untuk menghibur.

Dari sorot mata dan cara Eden menatap Alana, sangat kelihatan dia menyimpan suatu kenangan buruk. Entah apa itu, tapi Alana sangat penasaran.

Di tengah keheningan, hp Nathan berdering. Panggilan telfon masuk.

"Ya, Mama?"

Ibunya?

Alana fokus mendengarkan.

"Iya. Er udah dapat pengganti bibi suster." Nathan tersenyum melirik Alana yang jelas-jelas nguping.

Ia sengaja menyalakan speaker.

Suara ibu Nathan terdengar.

"Umur berapa? Ada pengalaman ngurus anak? Atau lulusan kuliah pendidikan?"

Mendengar suaranya saja, Alana merinding. Kesan pertama kali adalah, beliau sangat berwibawa.

"Ad- eh, ada kok. Er langsung lulusin aja ya? Dia masih kenalan Er."

Alana menatap bingung. Maksudnya lulus apa?

"Mama harap tidak mengecewakan ya. Nanti saat mama pulang dia harus menghadap mama." Kata ibu Nathan lagi.

"Untuk gajinya buatkan dia rekening bank baru, nanti Mama tinggal transfer."

Nathan mengangguk.

"Oke Ma. Thanks for you." Telfon ditutup, Nathan langsung mendekati Alana dan menepuk keras punggungnya.

"Nah, beres. Kerjaan Lo udah dapet."

Alana mencubit lengan Nathan, "dari tadi Lo ya. Maksudnya apa?!"

Masih aja iseng, heran.

Eden ikut menatap Nathan.

"Al, Lo mau kan jadi guru private sekaligus temen buat adek gue? Semacam suster anak gitu ceritanya." Ujar Nathan lugas.

"H-hah? Emang gue bisa?"

Sebenarnya Nathan sudah tahu soal Alana yang pernah menjadi guru private Raven, tapi ia sengaja pura-pura tidak tahu apa-apa, siapa tahu Alana memang tidak suka hal itu diketahui orang lain. Buktinya Ola saja tidak tahu.

"Bisa. Gue percaya. Soalnya Lo kan pernah ngurus anak kecil kan? Adek Lo, Arga dan Aysa."

Semudah itu? Gue takut mengecewakan. Gue kan cuma anak SMA.

"Makasih Nat. Tapi gue harus pikirkan dulu, mungkin besok gue baru bisa putuskan." Ucap Alana tegas, sambil mengusap rambut putih Eden yang sok serius mendengarkan.

Nathan tersenyum miring.

"No problem, gue selalu disamping Lo."

Baru mau senang, Tiba-tiba Nathan dengan kurang ajarnya sengaja benar menarik lepas ikat rambut Alana.

"Jangan marah ya, kan gue udah bantuin."

Dia langsung kabur.

"Kampret!!! Sini Lo!!!"

...***...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!