NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:45.8k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Raden Mas Soedarsono

Malam telah jauh larut ketika Raden Ayu Sumi melangkah keluar dari pondok Ki Jayengrana. 

Tubuhnya masih lemah dan gemetar setelah mengalami ritual yang menguras tenaga dan mentalnya. 

Sensasi aneh di perutnya terus terasa—seperti ada sesuatu yang menggelitik, berputar pelan namun pasti.

Di luar pondok, cahaya lampu minyak menyambut kedatangannya. Mbok Sinem dan Pak Karto, sepasang suami istri yang telah mengabdi pada keluarga Prawiratama selama dua generasi, berdiri dengan patuh. 

Wajah mereka yang sudah berkeriput menunjukkan kekhawatiran melihat kondisi majikan mereka.

Mbok Sinem bergegas menghampiri, membawa selendang halus untuk menutupi bahu Sumi yang tampak lelah. "Ndoro Ayu, baik-baik saja?"

"Tidak apa-apa, Mbok," jawab Sumi pelan, suaranya masih serak. "Ayo kita pulang."

Pak Karto, pria tua dengan tubuh yang masih tegap meski usianya hampir enam puluh tahun, mengangguk dan mengangkat lampu minyak lebih tinggi untuk menerangi jalan setapak yang gelap. Ia berjalan di depan.

"Ngampunten, Ndoro. Biar saya bantu. Ndoro sakit?" tanya Mbok Sinem pelan, matanya yang sudah rabun memerhatikan wajah pucat majikannya.

Dengan hati-hati ia memapah majikannya yang berjalan sempoyongan, meski ia tahu bahwa seorang abdi tidak seharusnya menyentuh tubuh bangsawan sembarangan. Namun kekhawatirannya mengalahkan rasa sungkan.

"Tidak, Mbok. Hanya lelah," jawab Sumi singkat, tak ingin membahas apa yang baru saja terjadi.

Kereta kuda sudah menunggu di ujung jalan setapak, tersembunyi di balik pepohonan bambu agar tidak menarik perhatian penduduk desa yang mungkin melintas. 

Kusir yang juga merupakan abdi Prawiratama buru-buru turun, memastikan tangga kereta terpasang benar.

Tanpa banyak bicara, Sumi masuk ke dalam kereta, dibantu oleh Mbok Sinem yang masih mengawasi dengan cemas, sedang Pak Karto duduk di sisi kusir.

Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi. Sumi menyandarkan kepalanya pada bantalan kursi kereta, matanya terpejam, namun tidak bisa tidur. 

Rasa aneh di perutnya terus mengganggu—kini sudah sedikit mereda–hanya gelitikan lembut yang sesekali mengirimkan gelenyar ke seluruh tubuhnya.

Satu jam kemudian, kereta kuda memasuki kompleks Dalem Prawirataman, kediaman keluarga Prawiratama yang megah. 

Berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya yang sudah banyak terpengaruh arsitektur Belanda, Dalem Prawirataman masih mempertahankan gaya Jawa klasik.

Pendopo besar dengan delapan tiang utama menyambut setiap tamu yang datang. Di belakangnya terdapat pringgitan—ruang sebelum masuk ke area dalam rumah. 

Bagian dalam rumah atau dalem ageng dilengkapi dengan emperan yang luas dan beberapa gandok sebagai ruang tambahan. Semuanya dikelilingi oleh pekarangan luas yang ditanami berbagai tanaman hias dan pohon buah.

Semua lampu di rumah utama sudah dimatikan, kecuali beberapa lampu minyak yang dinyalakan oleh para abdi untuk menerangi jalan. 

Namun, Sumi melihat cahaya masih menyala terang dari arah gandok kulon—paviliun barat yang menjadi kediaman Pariyem, istri muda Raden Mas Soedarsono yang baru dinikahi enam bulan lalu.

Saat kereta berhenti di depan pendopo, telinga Sumi menangkap suara tawa perempuan yang melengking dari arah paviliun tersebut. Tawa yang diikuti oleh suara berat yang sangat dikenalnya—suara suaminya.

"Simbok langsung istirahat saja," ujar Sumi pada Mbok Sinem yang masih membantunya turun dari kereta.

"Sendika, Ndoro," jawab Mbok Sinem dengan mengangguk patuh, meski matanya melirik ke arah gandok kulon dengan tatapan tidak senang.

Dengan langkah pelan, Sumi berjalan menuju kamarnya di bagian tengah dalem ageng. Untuk mencapai kamarnya, ia memilih melewati area taman yang memisahkan rumah utama dan paviliun–gandok kulon yang ditinggali Pariyem.

Suara-suara dari kamar Pariyem semakin terdengar jelas—tawa riang, bisikan manja, dan sesekali suara berat suaminya yang diikuti kikikan Pariyem.

"Ndoro betul-betul kuat …."

"Kau memang pintar memuji, Yem."

"Tapi memang benar, Ndoro ... Bagaimana mungkin Ndoro Ayu dan Yu Lastri belum juga hamil kalau Ndoro sekuat ini … pasti mereka yang tidak bisa punya anak."

Mendengar namanya disebut, langkah Sumi terhenti. Tubuhnya menegang.

"Kalau begitu, saya yang akan melahirkan pewaris Prawiratama," suara Pariyem terdengar bersemangat. "Ndoro tidak perlu khawatir. Keluarga saya terkenal subur. Ibu saya melahirkan sembilan anak ...."

"Kita lihat saja nanti," jawab suaminya, diikuti tawa ringan. "Kalau kau bisa memberiku putra dalam satu tahun, aku akan memberikan tanah itu untukmu."

"Benarkah, Ndoro?" suara Pariyem meninggi penuh kegembiraan. "Tanah luas itu? Yang dekat dengan perkebunan tebu milik Belanda?"

"Ya, tapi harus putra, bukan putri."

"Tentu saja akan putra, Ndoro ... Saya akan memastikannya ..."

Tangan Sumi mencengkeram dinding kayu di sampingnya hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya yang lelah kini terasa panas. 

Tanah yang dimaksud adalah tanah pribadinya—warisan dari mendiang ayahnya, bukan milik keluarga Prawiratama. Dan kini suaminya dengan enteng menjanjikannya pada istri muda yang licik.

Dengan langkah gontai, ia bergegas menuju kamarnya, tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Begitu pintu kamar tertutup, Sumi merosot ke lantai, tubuhnya bergetar menahan amarah dan kesedihan.

Pagi datang dengan cepat. Cahaya matahari menembus celah-celah jendela berukir di kamar Raden Ayu Sumi. 

Suara kesibukan para abdi terdengar dari arah dapur—persiapan sarapan dan berbagai aktivitas rumah tangga telah dimulai sejak ayam pertama berkokok.

Sumi membuka mata, merasa sedikit lebih baik meski sensasi aneh di perutnya masih samar terasa. 

Ia bangkit perlahan, memandang ke luar jendela. Dari kamarnya, ia bisa melihat sebagian halaman belakang dalem yang luas, dengan kolam kecil dan berbagai tanaman bunga.

Mbok Sinem masuk setelah mengetuk pintu, membawa sebaskom air hangat untuk cuci muka dan secangkir teh jahe yang masih mengepul.

"Ndoro Ayu sudah bangun," ucapnya dengan senyum lega. "Saya kira Ndoro masih lelah dari semalam."

"Saya tidak apa-apa, Mbok," jawab Sumi, menerima teh yang disodorkan. "Hari ini ada banyak yang harus diurus."

Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi—mengenakan kebaya sutra berwarna biru langit dengan motif bunga kecil dan kain batik parang rusak—Sumi melangkah menuju ruang tengah. 

Seorang abdi dalem mendekat sambil membungkuk. "Ndoro Ayu, Ndoro Mas menunggu untuk sarapan bersama."

Di ruang makan, Raden Mas Soedarsono duduk dengan tenang, membaca surat kabar berbahasa Belanda. 

Usianya empat puluh tahun, tubuhnya tegap dengan kumis yang terawat rapi. Sebagai salah satu priyayi terpandang, ia mengenakan beskap hitam yang rapi, seperti hendak menghadiri pertemuan penting.

"Selamat pagi, Kangmas," sapa Sumi, duduk di kursi yang berseberangan dengan suaminya.

"Pagi, Diajeng," balas Soedarsono sambil melipat korannya. "Semalam pulang larut?"

Terdengar seperti pertanyaan biasa, namun Sumi bisa menangkap nada menyelidik di dalamnya.

"Ya, perjalanan pulang dari undangan puputan bayi tidak bagus, roda rusak," jawabnya dengan santai. "Hari ini Kangmas ada pertemuan di kadipaten?"

"Ya, dengan Bupati dan beberapa priyayi lain. Ada rencana pembangunan jalan baru dari arah selatan."

Percakapan mereka berlanjut seperti biasa, membahas politik kadipaten dan beberapa skandal bangsawan Jawa.

"Kangmas," Sumi memulai dengan hati-hati, setelah beberapa saat mereka menikmati sarapan, "saya dengar tanah di dekat Kedung Wulan masih milik keluarga Van der Spoel?"

Soedarsono mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan topik yang dibawa istrinya. "Benar. Kenapa tiba-tiba bertanya tentang tanah itu?"

"Saya ingin membelinya," jawab Sumi langsung. "Sebagai simpanan pribadi. Tanah warisan dari Romo sudah menghasilkan cukup banyak, saya ingin menggunakan uangnya untuk membeli tanah baru."

Kata-kata "tanah warisan" dan "simpanan pribadi" sengaja ditekankan, mengingatkan suaminya bahwa Sumi memiliki kekayaan pribadi di luar kekayaan keluarga Prawiratama. 

Sebagai perempuan bangsawan dari keluarga berada, Sumi memang membawa banyak harta ketika menikah—harta yang secara hukum adat tetap menjadi miliknya pribadi.

Soedarsono tampak memikirkan permintaan istrinya. "Area itu sudah lama tidak didatangi orang, Diajeng. Jalur ke sana tidak bagus."

"Tidak masalah, Kangmas," Sumi tersenyum tipis. "Nanti pelan-pelan bisa dibenahi. Saya ingin membuat kolam ikan di sana. Di sini jauh dari laut, harga ikan mahal. Air yang selalu ada akan sangat menguntungkan."

Tentu saja ini hanya alasan. Sumi tidak benar-benar berniat membuat kolam ikan. Yang ia butuhkan adalah akses ke sendang Kedung Wulan untuk ritual yang dianjurkan Ki Jayengrana.

"Baiklah," jawab Soedarsono akhirnya. "Terserah Diajeng saja kalau begitu."

"Terima kasih, Kangmas," Sumi tersenyum. "Kalau bisa, saya ingin melihat tanah itu hari ini. Sekadar meninjau."

"Pergilah dengan pengawal," Soedarsono menyetujui. "Tempat itu sudah lama tidak didatangi orang. Bawa Karto dan Mbah Joyo."

Begitu sarapan usai, seorang abdi mendekati dengan sopan, memberi tahu bahwa kereta Raden Mas sudah siap untuk membawanya ke kadipaten. 

Soedarsono bangkit sambil menatap istrinya, sejak tadi memperhatikan, rasanya ada yang berbeda dengan perempuan itu, tampak lebih menggoda.

Sumi memang cantik, tapi entah apa yang membuatnya berbeda kali ini. Soedarsono masih memandangi parasnya yang ayu dan kemudian sedikit membungkuk untuk berbisik, “Diajeng, atur ulang jadwal gilir nanti malam. Kangmas ingin Diajeng yang menemani. Diajeng cantik sekali pagi ini.”

Sumi terkejut dengan keinginan mendadak sang suami, sedang janji temunya dengan Ki Jayengrana tentu saja tidak bisa diundur–harus tujuh malam berturut-turut.

“Tapi Kangmas, nanti malam jatah untuk Lastri.”

1
❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈
bagus sumi
itu lebih baik
dr pada jd istri slm 15 th patuh dpt madu tp masih aja di ejek krn blm punya keturunan
skrg bebas kan yaaa 🤣🤣🤣
soedarsono 😝😝😝😝 kau terlambat
Rani
kapok😅di cuekin...tp memang pasti 22 nya sakit banget itu..
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
terlambat sdh Raden mas ,
hatimu terlanjur di tutupi amarah ,
cinta 15 th yang di jalani kandas akibat kecerobohanmu , ke egoisan mu,
saat cinta menguasai ..tutur katamu lembut merayu ,
di saat sihir Ki jayengrana datang menghasut semua tindakan yang hendak menghancurkan Martin dan Sumi ,sdh terpatri di benakmu ,
salahmu sendiri tdk memperjuangkan ndoro ayu Sumi
Amara
Kasihannya dirimu "Raden Mas Soedarsono"
nanti pas hilang kesabaranmu , timbul kekejaman yang tidak terduga..
meski kau rayu dengan tutur kata yang halus, benteng itu telah kokoh dia terbuat dari cercaan dan hinaan.

topengmu mulai kau kenakan, dan kau turut hawa amarah yang konon atas dasar nama cinta...
mbok e Gemoy
walapun menyesekkan tapi itu yang terbaik.Ketika pengorbanannmu tak di hargai lebih baik pergi
Yulis Setiyawati
bagus Ny Sumi..
Zia Zee
sesek juga baca part ini...
Anggita 2019
good job Sumi
Mini Safitri
Raden Mas yah bukan kangmas lagi....
mbok e Gemoy
menantikan pertemuan sumi dengan sang mantan
Darwati Zian
haduh haduh Thor bolak balik blm up juga 😭😭😭
Mami Eni
17:28
Tati st🍒🍒🍒
💗💗
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
wah mantan datang tapi sudah dengan jiwa dikendalikan Ki jayengrana 😔
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
aduh musuhnya tambah banyak ini,, orang terdekat yg menjadi musuh dalam selimut dan mantan suami yg sekarang jauh lebih berbahaya
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
kok nyata banget ini wejangan padre,, memang kalo sudah penyakit hati tak akan bisa di usir karena dendam itu mengakar, semoga Sumi dan Martin bisa menghadapi cobaan yg akan menghadang mereka lewat Soedarsono yg dikendalikan oleh Ki jayengrana
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
wahhh Ki jayengrana betul betul gak ada capeknya dengan misi balas dendam atas kematian bapaknya dulu, wahh Soedarsono sekarang yang dikendalikan oleh Ki jayengrana untuk menghancurkan keluarga martin
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
penyesalan memang datang nya sll terlambat Soedarsono 🤭🤭 rasakan penyesalan mu sampe ibumu menyusul bapakmu ya, karena ibumu terlalu kejam sama sumi🤭🤣🤣🤣🤣
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
asss ikut terharuuu semoga Sumi bahagia bersama martin
ᴳᴿ🐅🍁🥑⃟𝙉AƁίĻԼል❣️ˢ⍣⃟ₛ❤️⃟Wᵃf
akhirnya Sumi bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ibu, semoga setelah menikah dengan Martin kamu bahagia Sumi, karena ibu mertuamu begitu perhatian dan baiknya sama kamu beda jauh sama mantan mertuamu itu🤭🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!