Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Sisa seminggu liburan menjadi hari-hari yang paling tenang bagi Melina dan Erick. Sejak pengakuan jujur Melina tentang latar belakang keluarganya yang kelam di meja makan malam itu, Erick berubah.
Sifat posesifnya yang meledak-ledak perlahan melunak menjadi sebuah perlindungan yang lebih hangat. Ia tidak lagi menyinggung soal orang tua Melina, seolah topik itu adalah sesuatu cerita terlarang yang tak ingin ia injak agar luka dihati Melina tidak kembali.
Yang Erick lakukan hanyalah memastikan Melina bahagia. Ia memberikan Melina dengan perhatian yang lebih personal, meneleponnya setiap pagi untuk memastikan ia sudah bangun, mengirimkan makanan kesukaan Melina, seperti martabak manis yang tidak terlalu berminyak atau sushi dari gerai langganan mereka dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol melalui telepon tanpa membahas urusan akademik. Pikiran mereka tenang sejenak. Tak ada bayangan Devano, tak ada ketegangan soal IPK, hanya ada mereka berdua dalam gelembung rahasia yang indah.
Namun, kedekatan yang semakin intim itu tentu membawa hasrat lain bagi seorang pria dewasa seperti Erick.
Suatu malam, mereka sedang berada di dalam mobil Erick yang terparkir di sebuah bukit yang menghadap langsung ke arah kerlap-kerlip lampu kota itu dari kejauhan. Suasana di dalam mobil sangat sunyi, hanya diiringi alunan musik romantis lembut yang keluar dari speaker mobil. Suhu AC yang dingin membuat Melina sedikit merapatkan jaketnya.
Erick menatap Melina yang sedang melihat ke luar kaca mobil. Cahaya lampu kota terpantul di matanya, membuat Melina tampak begitu rapuh namun mempesona. Erick perlahan mendekat, ia meletakkan tangannya di sandaran kursi Melina, lalu tangannya dengan lembut mengelus pipi Melina yang halus.
Melina menoleh, dan saat itulah jarak mereka hanya tersisa beberapa sentimeter. Erick menatap bibir Melina yang sedikit terbuka, dorongan maskulin dalam dirinya memuncak. Ia ingin mencium gadis itu, ingin merasakan manisnya Melina sebagai penutup dari masa liburan mereka. Erick perlahan memajukan wajahnya, namun saat hidung mereka nyaris bersentuhan, Melina memalingkan wajahnya sedikit ke samping.
Tangan kecil Melina mendorong bahu Erick dengan sangat lembut, sebuah penolakan yang sopan namun tegas.
"Erick... maaf. Aku belum siap," bisik Melina pelan. Suaranya bergetar.
Erick terhenti. Ada rasa geram yang sempat melintas di benaknya, sebuah gejolak nafsu yang ingin sekali ia tuntaskan saat itu juga. Sebagai pria yang sudah matang, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, penolakan ini terasa seperti pukulan. Ia ingin sekali menerkam Melina, membuktikan bahwa ia memegang kendali atas hubungan ini.
Namun, tepat saat ia hendak memaksakan kehendaknya, ia teringat kejadian beberapa minggu lalu. Ia teringat bagaimana Melina tersudut ketakutan, dan yang paling membekas adalah tatapan mata Melina.
Mata yang begitu polos, tulus, dan penuh kepercayaan padanya. Melina tidak menolaknya karena benci, tapi karena ia sangat menghargai dirinya sendiri dan merasa tak pantas melewati batas itu sebagai seorang mahasiswi bahkan jika ia sangat mencintai dosennya.
Erick menghela napas panjang, mencoba membuang sisa-sisa nafsu yang sempat membakar pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri. Ia tidak tega. Ia tidak akan pernah sanggup merusak binar di mata polos itu hanya untuk kepuasan sesaat.
"Maafkan aku, Melina. Aku terlalu terbawa suasana," ujar Erick dengan suara serak. Ia menarik diri kembali ke kursinya.
Melina menunduk, merasa bersalah. "Bukan maksudku menolakmu karena aku tidak cinta, Erick. Aku hanya... aku ingin kita tetap seperti ini dulu. Aku takut jika kita melangkah terlalu jauh, semuanya akan berubah menjadi rumit."
Erick tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya meraih tangan kanan Melina, menggenggamnya erat lalu mencium punggung tangan itu dengan penuh cinta.
Ia kemudian menarik Melina ke dalam pelukannya sebuah pelukan yang murni, hangat, dan tanpa tuntutan. Ia mengelus rambut Melina, mencoba memberikan rasa aman yang paling dalam.
Malam itu, Erick memutuskan untuk membawa Melina ke sebuah tempat yang jauh dari ramainya kota. Sebuah taman privat yang penuh dengan lampu-lampu gantung kecil. Di sana, mereka menghabiskan waktu untuk mengabadikan momen bersama.
Untuk pertama kalinya, mereka berfoto bersama menggunakan ponsel Erick. Melina yang tersenyum lebar dan Erick yang menatapnya dengan tatapan penuh cinta. Foto-foto itu menjadi bukti bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar nafsu, itu adalah tentang kehadiran satu sama lain.
Erick yang awalnya memiliki pikiran untuk tancap gas dan menjadikan Melina miliknya sepenuhnya secara fisik, perlahan merasakan perasaan itu menghilang. Ia menyadari bahwa Melina adalah hidupnya, jantung hatinya. Ia harus sabar. Ia akan menunggu sampai tiba saatnya Melina sendiri yang memintanya.
"Melina, kamu haus?" tanya Erick
"Kita bisa singgah sebentar di cafe yang ada disudut sana." tunjuk Erick
Melina lalu mengangguk.
"Mas, teh hangat 2 ya." pesan Erick langsung.
Erick melihat Melina yang semakin lama makin Ia cintai. Ia pikir ia tak akan salah memilih pasangan.
Tak lama, teh hangat itu pun datang
"Melina, minum." ujar Erick
Melina lalu nenyerput teh hangat itu. Rasanya enak, manis dan menenangkan. Erick lalu merangkul Melina dan mereka menikmati malam terakhir itu sebagai kencan mereka disemester dua.
Setelah selesai singgah di cafe, Erick lalu membayar minuman itu dan mengajak Melina ke dalam mobilnya.
"Ada lagi yang mau kamu beli?" tanya Erick sambil memasang sabuk pengaman.
"Enggak. Kita pulang aja." jawab Melina
Erick lalu menghidupkan mesin mobil dan melaju pelan. Ia ingin jalan malam ini terasa lambat dan santai. Setelah ini, mereka tidak akan bisa berkencan lagi. Mereka harus menunggu lima bulan lagi supaya bisa bersama lagi.
Seketika, pikiran Erick menjadi kacau. Ia jadi teringat Devano. Sebentar lagi akan masuk kuliah dan pastinya Devano akan mengejar Melina lagi. Erick melirik Melina dan ingin berkata...
"Aku tahu Erick..." ujar Melina tiba-tiba
"Aku akan menjaga jarak dengan Devano. Aku hanya memilikimu dalam hidupku. Jika memang Devano memiliki perasaan padaku, mau tidak mau Devano harus siap dengan penolakanku. Tapi..."
Erick menyentuh pelan kepala Melina sambil tangan kanannya memegang setir
"Tapi apa?" tanya Erick
"Aku juga tidak ingin Devano sakit hati. Aku tidak ingin menyakiti siapapun. Aku hanya tidak menyangka ini semua." ujar Melina.
Hingga malam itu, tiba-tiba Devano menjadi topik pembicaraan mereka. Melina tak ingin Devano, Ia sudah mencintai Erick sepenuhnya. Tapi Ia juga tidak ingin ada yang curiga dan Ia tidak ingin menyakiti Devano.
Setelah perjalanan yang lambat, dua jam kemudian, Erick sampai mengantar Melina ke apartemennya.
"Makasih Erick." ujar Melina lalu memeluk Erick.
Erick langsung membalas pelukan itu dan menghirup wangi shampo dirambut Melina.
Waktu seolah berlalu begitu cepat saat mereka sedang bahagia. Sisa seminggu liburan itu berakhir tanpa ada gangguan berarti.
Dan hari yang paling ditakuti sekaligus dinanti pun tiba.
Semester 3 dimulai.