Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konfrontasi Awal
Elio menarik napas dalam, lalu melangkah masuk ke lobi Armand Tower.
“Selamat malam, Tuan. Ada janji temu?” tanya salah satu penjaga.
Elio berhenti satu langkah dari mereka, menatap lurus ke arah pintu kaca besar di belakang. “Tidak,” jawabnya tenang. “Tapi Nicholas Armand tahu aku datang.”
Nada suaranya rendah, tapi cukup tajam membuat penjaga itu menegakkan badan. Yang satunya segera menekan alat komunikasi di telinga.
“Pusat keamanan, ada tamu tanpa janji yang mencari Tuan Armand.”
Hujan menetes dari rambut Elio ke lehernya, tapi ia tidak bergerak atau menunjukkan ekspresi selain wajah datar. Matanya menatap tajam, tidak berpaling sedikit pun. Beberapa detik kemudian, penjaga itu mendengar instruksi dari telinga komunikasinya.
Ia menatap Elio lagi. “Tolong tunggu di sini, Tuan.”
Elio tidak menjawab, hanya menatap lift kaca yang berkilat di sisi lobi seperti tahu ke mana ia akan menuju.
Sementara itu di lantai empat puluh dua, Pierre berdiri di depan layar CCTV yang menampilkan wajah muda dengan sorot mata keras. Ia segera menegakkan tubuh dan bergegas ke ruang kerja Nicholas. Pria itu sedang berdiri di depan jendela, diam dan kedua tangan di saku.
Pierre masuk dengan langkah cepat. “Tuan, anak itu datang.”
Nicholas tidak berbalik. “Anak yang mana?”
“Elio Alesanders.”
Suara hujan di kaca menjadi satu-satunya bunyi di antara mereka.
Pierre melanjutkan, “Apakah saya perlu meminta mereka menahannya di lobi?”
“Tidak perlu.” sahut Nicholas cepat. Matanya menatap tajam, “Biarkan dia naik, Pierre.”
Pierre menunduk, tidak berani menatap. “Baik, Tuan.” Ia mundur, lalu menutup pintu perlahan dari luar.
Elio berdiri di dalam lift, menatap angka-angka digital yang mulai menyala.
Angka 17.
Angka 28.
Angka 36.
Setiap angka terasa seperti dentuman di dadanya. Saat angka 42 menyala, pintu lift terbuka perlahan. Elio menarik napas panjang, lalu melangkah keluar ke koridor berkarpet hitam yang panjang menuju ruangan di ujung. Tempat ia memukul Nicholas tempo hari.
Elio tidak sempat mendorong pintu, sebab Pierre sudah menunggunya di depan. Ruangan luas dengan dinding kaca tinggi terbentang di depannya, memantulkan bayangan lampu-lampu yang menyinari kota Paris. Nicholas duduk santai di kursi kulit hitam dengan kaki menyilang di tengah ruangan, tak tampak kaget dengan kehadirannya. Tatapannya tajam namun bibirnya tersenyum miring, senyum yang lebih mirip ejekan daripada sambutan.
“Bagaimana kejutanku?” katanya tenang, nada suaranya rendah tapi menyengat seperti lebah. “Kau senang?”
Elio menatapnya lama, matanya menyala seperti bara yang baru ditiup angin. “Bajingan…” gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat udara di ruangan itu bergetar.
Ia melangkah maju dengan geram, urat di lehernya menegang, hampir melayangkan tinjunya. Pierre yang berdiri di sisi kanan Nicholas langsung bergerak cepat, menahan bahu Elio sebelum anak itu sempat mendekat lebih jauh.
“Jaga sikap anda, Tuan,” katanya rendah tapi tegas.
“Lepaskan aku!” Elio memberontak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat itu. Suaranya pecah karena amarah yang terpendam. “Kau pikir aku takut pada bajingan tua itu?! Bersembunyi dibalik ketiak pengawal, memalukan.”
Pierre menahan napas, genggamannya sedikit mengendur karena terkejut oleh keberanian Elio. Ia menoleh cepat ke arah Nicholas.
Nicholas mengangkat alis, matanya mulai berkilat. “Hati-hati dengan kata-katamu, bocah.” Suaranya tidak setenang sebelumnya. “Lepaskan dia!” perintahnya pelan, tapi mengandung tekanan yang membuat udara terasa lebih berat.
“Tuan…”
“Aku bilang lepaskan, Pierre!”
Dengan ragu Pierre menuruti, tangan Elio langsung terbebas. Remaja itu berdiri tegak, dada naik turun dengan cepat. Mereka kini berhadapan tanpa penghalang. Dua sosok berbeda usia, tapi sama-sama menatap dengan bara di mata.
Elio menatapnya tajam, napasnya memburu. “Pengecut, kau tidak lebih dari pengecut yang bersembunyi di balik kekuasaan.”
Nicholas melihat lurus tepat di mata kelamnya, “Kalau aku pengecut, aku tidak akan berhadapan denganmu saat ini, bocah.” desisnya sama tajamnya. Ia menelusuri wajah Elio dengan pandangan menilai. Mencoba mencari kemiripan antara anak ini dengan William duval dan Eleanor.
Pierre yang berdiri di samping mereka menatap bergantian. Dua pasang mata kelam saling menatap tajam, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada garis samar di wajah Elio, tatapan tajam, yang mirip dengan… tuannya.
Elio melangkah selangkah lebih dekat. Suaranya rendah, tapi tajam seperti paku yang menghantam baja. “Kalau memang kau bukan pengecut,” katanya, “hadapi aku tanpa dia.” Dagunya terarah ke Pierre. “Suruh dia keluar.”
Pierre langsung menegakkan tubuh, menatap Elio dengan wajah tegang. “Tuan, anda tidak boleh…”
“Tutup mulutmu,” potong Elio cepat. Tatapannya tidak berpaling sedikit pun dari Nicholas. “Aku tidak bicara padamu.”
Udara di ruangan itu terasa berat. Nicholas memiringkan kepala sedikit, menatap Elio seperti seorang pria dewasa yang menilai remaja yang terlalu bernyali. Sesuatu dalam sorot matanya berubah, antara kesal dan tertarik. “Kau ingin menantangku?” tanyanya pelan, hampir seperti gumaman.
“Aku ingin melihat apakah semua yang mereka katakan tentangmu benar,” jawab Elio mantap. “Atau kau cuma pria tua yang bersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan dan pengawal.”
Senyum Nicholas menghilang seluruhnya kali ini. Ia menatap Pierre tanpa berkata-kata.
“Tuan…” Pierre menunduk sedikit, ragu.
“Keluar!” ujar Nicholas akhirnya, datar.
“Tapi…”
“Pierre.” Nada itu berubah menjadi perintah dingin yang tak bisa dibantah.
Pierre menatap Elio sekilas, seolah memperingatkannya untuk berhati-hati lalu melangkah ke luar, menutup pintu berat itu di belakangnya.Kini hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu. Udara di antara mereka seperti sumbu yang siap disulut api. Elio menegakkan bahunya, sementara Nicholas berdiri perlahan dari kursinya.
“Duduklah,” ujarnya datar, menunjuk kursi di seberang meja besar itu.
Elio tidak bergerak. Tatapannya tajam, dagunya terangkat sedikit. “Aku lebih suka berdiri.”
Senyum tipis muncul di bibir Nicholas. “Harga dirimu tinggi sekali, ya?” katanya, nada suaranya seperti mencemooh tapi juga seolah menikmati konfrontasi itu.
“Tentu,” jawab Elio cepat, tanpa ragu. “Aku bukan kau.”
Senyum Nicholas menegang sepersekian detik. “Oh?” ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dan apa maksudmu dengan itu?”
Elio menatap lurus ke arahnya. “Apa yang kau mau dari ibuku?”
Pertanyaan itu menghantam ruangan dengan keheningan tajam. Nicholas sempat membeku, tidak lama tapi cukup untuk menegaskan bahwa kata-kata itu mengenai sasaran. Matanya menyipit, menimbang kembali setiap ucapan Elio. Jadi benar dugaannya, anak ini… anak Eleanor. Hanya sebentar sebelum sebuah tawa kecil lolos dari tenggorokannya. Rendah, menekan, dan dingin. “Kau sangat to the point, rupanya. Harus kuakui keberanianmu diatas rata-rata.”
Kalimat itu terdengar bukan sebagai pujian melainkan ejekan yang disengaja di telinga Elio. Rahangnya mengeras. tangannya mengepal di kedua sisi. “Tidak usah basa-basi,” katanya tajam. “Katakan saja apa maumu.”
Nicholas menatapnya lama, sorot matanya melembut. Kenyataan bahwa Elio adalah putra Eleanor membuatnya lebih lega.